Monday, 25 August 2025

Tetangga Sebelah Kehilangan Sinyal (Puisi)

Karya: Verry Kusral
________

Malam itu, bukan nyawa yang melayang,
tapi sinyal tetangga sebelah mendadak hilang.
Bukan mati, tapi layar Zoom tiba-tiba macet,
wajahnya tersangkut dalam ekspresi aneh yang tak bisa ditebak siapa.

Orang-orang panik:
“Apakah ini kutukan simetri?”
Bukan yang duduk di tengah rapat,
tapi yang duduk sebelah kiri router langsung terlempar keluar.

Seorang menteri masih aman,
tapi staf ahlinya - yang kebetulan nebeng WiFI - lenyap dari grup WhatsApp selamanya.

Dan sejak malam itu,
rakyat berbaris bukan lagi karena takut mati,
tapi karena takut
dapat password yang salah.

Mereka menyebutnya: Kutukan Modem.
Bukan horor, tapi buffering.
Bukan kuburan, tapi ruang tunggu virtual.

Dan siapa pun yang bersebelahan dengan presiden saat login,
pasti terseret jadi “user not found.”

---

Saturday, 23 August 2025

Korupsi: Rayap yang Menggerogoti Mimpi Indonesia Maju


Dipercayai atau tidak dan diakui atau tidak, satu kebenaran pahit: selama korupsi masih marak, Indonesia tak akan pernah menjadi negara berpenghasilan tinggi yang disebut negara maju. 

Semua mimpi besar itu — revolusi industri, lompatan teknologi, transformasi pendidikan, layanan kesehatan modern, dan lain-lain — hanya akan jadi wacana di atas kertas. Sebab dana untuk mewujudkannya sudah digerogoti lebih dulu, secara diam-diam, oleh mereka yang rakus dan tak tahu diri.

Negara berpenghasilan tinggi hanya bisa dicapai jika uang negara benar-benar sampai ke rakyat, bukan nyangkut di kantong pejabat. Jika korupsi tetap menjadi budaya, maka apa pun investasi, pembangunan, dan program besar hanya akan berakhir sebagai proyek bancakan.

Bangsa ini akan terus dibebani utang, rakyat akan terus disuruh sabar. Sementara para elit tetap bersenang-senang dengan hasil jarahan.

Maka jangan heran jika kemiskinan tetap menghantui, pendidikan tetap timpang dan fasilitas publik jauh dari layak. Ibarat kita sedang mencoba membangun gedung pencakar langit, tapi fondasinya terus digali dari bawah oleh korupsi yang tidak pernah berhenti.

Ah! Korupsinya cuma kecil kok. 'Jamak!', istilah remaja zaman dahulu. 

Korupsi tidak bisa ditawar-tawar. Entah satu juta atau miliaran bahkan triliunan, semuanya sama-sama merusak negara. Soal dosa, biarlah itu urusan dirinya dengan Tuhan. Tapi yakinlah tidak semua rakyat merelakan dan memaafkan pejabatnya korupsi uang negara.

Korupsi kecil itu seperti rayap. Sekilas tak terlihat, tapi pelan-pelan, habis juga satu tiang milik negara.

Kalau maling kecil dibiarkan, besok dia naik pangkat dan sampai ke puncak. Dari nyolong amplop, jadi nyolong dana proyek.

Yang lain kerja banting tulang, mereka tinggal bongkar brankas negara sambil bilang: demi pembangunan.

Thursday, 21 August 2025

Mengapa Pembangunan IKN Layak Dibatalkan? (Bagian 1)

Pembangunan IKN Justru Menjauhkan Indonesia dari Mimpi Indonesia Emas

Jika Indonesia masih memaksakan pembangunan IKN di Kalimantan sekarang, maka sudah dapat dipastikan bahwa mimpi “Indonesia Emas” pada 2045 akan tetap menjadi mimpi selamanya. 

Mengapa?

Karena “Indonesia Emas” hanya akan tercapai jika:
__________
Rakyat memiliki pendidikan berkualitas dan gratis.

Anak-anak mendapatkan gizi yang cukup agar tumbuh cerdas.

Lapangan kerja terbuka luas dengan upah layak.

Rakyat mendapatkan akses kesehatan gratis.

Korupsi diberantas hingga ke akar-akarnya.

Infrastruktur publik (non berbayar) yang menyentuh rakyat dibangun secara merata.
__________

Pembangunan IKN tidak menjawab semua itu.

Sebaliknya:
_________
Pembangunan IKN menguras ratusan triliun rupiah anggaran negara yang seharusnya bisa untuk pendidikan, kesehatan, pangan, dan riset teknologi.

Hanya segelintir orang yang akan menikmati keuntungan dari projek IKN ini. Sementara rakyat masih bergelut dengan harga sembako mahal dan pengangguran.

Risiko gagal dan mangkrak akan menambah beban utang negara.
________

Rakyat butuh pemimpin yang berpihak kepada mereka, bukan pencitraan.

Mimpi Indonesia Emas bukan dibangun dengan kota mewah yang hanya bisa dinikmati segelintir orang, melainkan dengan keadilan sosial, pemerataan pendidikan, dan pemerataan kesejahteraan.

Jika pemerintah tetap memaksakan pembangunan IKN demi ambisi politik dan pencitraan, maka:
_________
Impian menjadi negara maju hanya akan menjadi slogan di atas panggung perayaan.

Indonesia akan terjebak dalam krisis fiskal.

Generasi muda akan menanggung beban utang dari projek ini di masa depan.
____________

Jika pemerintah sungguh serius ingin mewujudkan Indonesia Emas, langkah pertama adalah membatalkan pembangunan IKN dan mengalihkan anggaran untuk pembangunan yang benar-benar dibutuhkan rakyat.

Negara berkembang seperti Indonesia mestinya bisa lebih cerdas dengan meniru pelajaran dari negara maju seperti Jepang, Korea Selatan dan Saudi Arabia. Tidak perlu riset mahal. Cukup dengan menimba pengalaman negara-negara lain. Tapi jika pelajaran itu diabaikan, maka kita bukan sedang mengejar ‘Indonesia Emas’, tapi sedang menyiapkan ‘Indonesia Gagal Bayar'.

Menghentikan projek IKN mungkin dianggap sebagai pengakuan atas kegagalan visi, dengan risiko dampak politis dan psikologis bagi para elit yang mengusungnya. 

Namun, mempertahankan projek tersebut demi gengsi justru bisa menjadi beban besar bagi generasi mendatang. Lebih bijak berhenti lebih awal, daripada melanjutkan sesuatu yang jelas-jelas menuju jalan buntu.

Atau jangan-jangan Indonesia Emas hanya jargon yang dibuat untuk membius rakyat demi mempertahankan kekuasaan kroni status quo. Bukan benar-benar visi jangka panjang pembagunan.
___________

Rabu, 6 Agustus 2025

Thursday, 14 August 2025

Politisasi Simbol di Balik Pakaian Presiden Saat Upacara 17 Agustus


Salah satu indikator yang bisa disimak apakah presiden sekarang berada di bawah bayang-bayang, tepatnya berada di bawah kendali presiden sebelumnya atau tidak, bisa dilihat saat penyelenggaraan Upacara HUT RI - 17 Agustus 2025 mendatang di Istana Negara atau Istana Merdeka.

Protokol sejak era Soekarno hingga era Yudhoyono, pakaian resmi Presiden dan Wakil Presiden bersama para pejabat tinggi lainnya lainnya adalah wajib Pakaian Sipil Lengkap (PSL) di upacara bendera HUT RI di Istana Merdeka 

Tidak pernah ada tradisi pakaian adat di upacara pengibaran bendera pagi atau penurunan bendera petang. Pakaian adat hanya untuk acara adat, resepsi malam (semi adat), atau saat kunjungan daerah.

Kemudian pada 2017, protokol sejak 1945 tersebut dirusak tepatnya dilanggar oleh Joko Widodo sebagai inspektur upacara dengan mengenakan pakaian adat daerah. Alasannya untuk menunjukkan keberagaman budaya Indonesia.

Baru pada 2018, perubahan protokol tersebut dituangkan secara resmi lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2018 tentang Tata Pakaian pada Acara Kenegaraan dan Acara Resmi.

Dalam Perpres itu disebutkan bahwa pakaian nasional merupakan  salah satu pilihan pakaian yang dapat digunakan dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi. Pakaian nasional yang dimaksud adalah pakaian yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. 

Rejim Jokowi entah disengaja sebagai gimmick politik atau karena ketidaktahuannya bahwa stelan pakaian adat lengkap di daerah-daerah hanya digunakan saat upacara-upacara adat. Ada juga digunakan oleh para raja atau jajarannya jika mewakili diri mereka sebagai tokoh-tokoh adat dalam acara apapun. Kadang juga dikenakan pada perlombaan atau pertunjukan yang mewakili sanggar adat. Tapi hanya kostum ornamen adat, bukan pakaian kebesaran adat. Ada pula pakaian khas daerah saat acara karnaval.

Says kulik berita-berita relevan, saya tidak menemukan sama sekali ada raja-raja dari kesultanan termasuk kepala-kepala suku pedalaman di Nusantara yang diundang dalam Upacara HUT RI di Istana Merdeka selama 2017- 2024 - yang sebenarnya hanya mereka yang berhak mengenakan pakaian kebesaran adat dimaksud.

Akan ada bantahan bahwa pakaian khas daerah yang dikenakan selama sebelumnya bukan pakaian adat, melainkan pakaian daerah desain temporer. Ya. Betul. Tapi tetap saja pakaian kreasi tersebut merupakan simbol pakaian adat tradisional di daerah masing-masing. 

Pakaian adat itu hakikatnya adalah pakaian resmi keluarga raja-raja dan jajaran atau bawahannya atau keluarga kepala suku, termasuk pakaian yang dikenakan oleh masyarakat biasa pada acara tertentu seperti pesta sunatan dan pernikahan - atas seizin raja atau kesepakatan para tokoh adat. Jadi pakai adat lengkap bukan pakaian resmi pemerintah provinsi atau kabupaten atau kecamatan.

Ini akan berbeda jika hanya aksesoris dalam pakaian resmi formal seperti sehelai tapis, ulos, kain batik, kain tenun ikat, dan lainnya yang biasanya diselempangkan di leher atau disampirkan di pundak. Ada pula sarung sulaman motif daerah yang dikenakan di bawah - dalam jas pria atau pakaian atasan wanita. Juga ada yang mengenakan peci atau tutup kepala motif-motif daerah. 

Singkatnya, jika pada Upacara HUT RI mendatang masih melakukan tradisi seperti pada 2017 - 2024, maka fixed sudah Presiden Prabowo Subianto memang benar-benar merupakan kelanjutan presiden sebelumnya. Yakni Joko Widodo, yang terbukti merupakan presiden paling banyak melakukan pelanggaran undang-undang dan protokol kenegaraan. Entah kerena minimnya ilmu pengetahuan atau unsur kesengajaan sebagai akrobat politik, tidak tahu juga.

Akan kita lihat, pakaian khas adat daerah mana yang akan dikenakan oleh Presiden Prabowo Subianto nanti atau apakah akan mengenakan pakaian resmi stelan jas lengkap seperti keenam presiden masa sebelumnya. 
______

Gambar atas adalah foto Upacara HUT RI di Istana Merdeka pada 17 Agustus 1950.
_________
Ahad, 10 Agustus 2025

Wednesday, 13 August 2025

Pilkada Pura-Pura Demokrasi

Efisiensi politik, katanya. Tapi yang hemat itu justru demokrasi rakyatnya, bukan anggarannya.

Balik ke DPRD, tapi ogah balik ke UUD 1945 (asli). Kembali setengah hati, demokrasi pun disunat separuh nyawa.

Usulan pilkada hemat adalah refleksi dari keengganan elit politik untuk mempertanggungjawabkan kekuasaan kepada rakyat. Mereka ingin kemudahan kontrol melalui DPRD, tapi menolak tunduk pada kedaulatan rakyat sebagaimana digariskan dalam UUD 1945 (asli).

Begitulah bentuk kemunduran konstitusional yang dibungkus retorika efisiensi.

Mereka bilang: demi hemat anggaran, kepala daerah dipilih DPRD. Tapi diam-diam, yang dihemat justru suara rakyat.
--------------
Konstitusi? Hanya topeng. Kekuasaan? Itu tujuannya.
--------------
Panggung demokrasi mereka gelar, tapi lakonnya tetap sama: oligarki berjubah undang-undang.

Katanya demokrasi mahal. Padahal yang bikin mahal itu ongkos jual-beli suara.

Solusinya? Bukan perbaiki sistem, tapi balik ke zaman lama: semua lewat ruang tertutup DPRD. Rakyat cuma jadi penonton.

Mereka berteriak 'konstitusional'. Padahal sedang membajak konstitusi. Dicomot pasal demi pasal untuk jadi alat tipu daya. Mengkhianati konstitusi dan menghias pelanggaran dengan menyulap hukum menjadi tirai kekuasaan.

Mereka tidak mau kembali ke UUD 1945 (asli) karena terlalu jujur. Lebih enak pakai UUD tambal sulam: bisa disesuaikan dengan kepentingan.
------------
Sekarang, kepala daerah mau dipilih DPRD lagi.
------------
Itu bukan hemat, tapi hemat-hamatan untuk mengamankan kawan. Akal-akalan demi menyelamatkan kursi dan jaringan kroni. Demokrasi dipangkas, oligarki dipoles.

Ular itu masih ada, tapi kini berbicara dengan bahasa hukum. Begitulah ular berjubah undang-undang.

Sebagian rakyat sering menyaksikan eksperimen politik dan kini sedang menyaksikan eksperimen bagaimana caranya mundur ke masa lalu tanpa merasa malu.

DPRD disulap jadi alat pemilihan.
Rakyat didongengkan soal efisiensi.
Sementara mereka sibuk mengatur kursi dan amplop.

Friday, 1 August 2025

Tetangga Sebelah Mati Mendadak (Bagian 3: Mereka yang Berdiri di Depan)


Karya: Verry Kusral

Sejak rakyat berbaris, tidak ada yang mati mendadak lagi.

Tidak di sebelah. Tidak di seberang.
Tapi tetap saja… kematian belum berhenti.

Kini, yang mati adalah yang berdiri diam di belakang.
Yang ikut-ikutan.
Yang bersorak tanpa mengerti.
Yang setia tanpa tahu mengapa.

Dan mereka yang di depan tetap hidup—tapi rambut mereka mulai memutih lebih cepat.
Wajah mereka menua bukan karena usia, tapi karena beban yang tidak pernah dijelaskan.


Lalu orang mulai sadar...

Yang selamat bukan yang paling dekat,
bukan yang paling pintar,
bukan yang paling setia,
tapi yang paling siap menanggung beban kebenaran.


Di tengah hiruk-pikuk kekuasaan,
muncul seorang jurnalis tua, dipecat karena terlalu jujur.
Ia menulis di koran bawah tanah:

“Presiden ini bukan pembunuh, tapi dia cermin.
Siapa pun yang bercermin padanya,
akan melihat bayangan sendiri yang selama ini mereka sembunyikan.
Dan kadang, bayangan itu yang membunuh mereka sendiri.”


Lalu teori konspirasi bergeser...
Bukan lagi “siapa yang dia bunuh,”
tapi:
“Apa yang dia bangkitkan dalam diri orang lain?”


Dan rakyat mulai paham,
barisannya bukan sekadar formasi,
tapi ujian.
Apakah mereka berdiri karena tahu,
atau hanya agar tidak mati duluan?


Di hari ke-100 pemerintahannya,
presiden itu berdiri sendiri di alun-alun.
Tak ada pengawal.
Tak ada podium.
Hanya satu mikrofon.

Dan ia berkata:

“Negara ini tidak dibangun dari para penyintas.
Tapi dari mereka yang berani mati demi hidup yang benar.
Jika saya membuat kalian takut, maka jangan pilih saya.
Tapi jika saya membuat kalian jujur, maka biarkan saya memimpin…
meski hanya sebentar.”

Dan setelah kalimat itu...
TV mati serentak.
Sinyal hilang satu jam penuh.
Ketika siaran kembali, ia tak lagi ada di alun-alun.
Tapi semua layar menampilkan satu kalimat:

“Berdirilah, atau bersembunyilah selamanya.”



Saturday, 26 July 2025

Puisi: Tetangga Sebelah Mati Mendadak (Bagian 2: Cerita fiksi yang terlalu mirip kenyataan)



Karya: Verry Kusral

___________

Setelah ia jadi presiden, tak ada ledakan besar. Tak ada pidato lantang.

Ia tetap seperti dulu. Senyumnya sama. Langkahnya tetap ringan.
Tapi satu hal tak berubah:

Kematian tetap terjadi.
Tak di pusat. Tapi di samping.
Tak di target. Tapi di sekitar target.

Seorang gubernur wafat setelah rapat koordinasi. Bukan yang duduk di seberang meja — melainkan yang duduk sebelah kiri.

Seorang taipan besar tersedak di restoran—bukan karena hidangan presiden, tapi karena tertawa mendengar candanya.

Seorang tokoh oposisi ditemukan tak sadarkan diri. Ia tinggal bersebelahan dengan tempat presiden singgah semalam.

Dan rakyat mulai gelisah.. bukan karena takut padanya,
tapi takut jadi 'sebelah' dari siapa pun yang sedang dekat dengannya.


Mereka menyebutnya “Kutukan Simetri.”
Selalu simetris. Selalu tak langsung.
Seperti gelombang kejut dari pusat gempa yang tak menghancurkan episentrum, tapi memecah yang ada di pinggir.


Para ilmuwan politik menyebutnya “Efek Kolateral Sistemik.”
Para spiritualis menyebutnya “Bayangan Karmika.”
Rakyat biasa hanya menyebutnya:
"Pokoknya, jangan tinggal di sebelah."


Sampai suatu hari...
Ia bicara di depan layar TV.
Tak pidato. Tak kampanye.

Hanya sebuah kalimat:

“Kalau kalian masih takut jadi tetangga sebelah...
maka, berdirilah di hadapan saya.
Karena yang berdiri di depan, tak akan mati sia-sia.
Tapi yang bersembunyi di samping, akan dilupakan bersama rumor dan dosa masa lalu mereka.”

Dan sejak hari itu,
rakyat tak lagi saling menghindari...
mereka berbaris.
Bukan karena cinta. Tapi karena ingin tetap hidup.



Thursday, 24 July 2025

Puisi: Tetangga Sebelah Mati Mendadak (Bagian 1: Cerita Fiksi yang terlalu dekat dengan kenyataan)


Karya: Verry Kusral

_________

Orang-orang tak pernah takut kalau dia datang.

Orangnya tenang. Ramah. Tidak bersenjata. Bahkan sering tersenyum.

Tapi entah mengapa, setiap kali dia mampir ke rumah warga — siapapun itu — tetangganya yang meninggal;
bukan orang yang dikunjunginya. Justru yang serumah aman-aman saja.

Yang tinggal di sebelah, yang mendadak jatuh, tersedak, stroke, atau sekadar tak bangun lagi.

Awalnya orang mengira kebetulan.
Lalu jadi gumaman.
Lalu mitos.
Lalu legenda.

"Kalau dia mampir ke rumahmu, pastikan kamu bukan tetangga sebelah."

Kalimat itu jadi lelucon gelap, disampaikan dengan gugup sambil melirik jendela.

Ada yang menyebut dia pembawa kutuk.

Ada pula yang lebih sinis: "jangan-jangan dia pembunuh bayaran paling licin — korbannya tak pernah yang ditarget, tapi yang di sampingnya."

Tapi tuduhan itu tak pernah terbukti. Tak ada sidik jari. Tak ada motif. Tak ada racun. Hanya kematian... yang selalu berulang.

Hingga akhirnya, dia benar-benar jadi presiden.

Oang-orang yang sebelumnya merasa aman — justru kini mulai menghitung rumah mereka... dari pagar rumah kekuasaan. Karena istana bukan tempat tinggal satu orang, tapi meminjam alamat satu bangsa, dengan garis tak kasat mata yang menjalar ke setiap kota. 

Dan semua orang, tanpa kecuali, tinggal di sebelah seseorang — entah siapa, entah kapan — pada malam itu, giliran bisa mengetuk tanpa suara, tak pernah memberi aba-aba.

Monday, 21 July 2025

Meme AI, Norma dan Standar Ganda: Saat Pemerintah Tak Siap Menyambut Era AI


Penangkapan mahasiswa ITB baru-baru ini karena mengunggah gambar buatan AI (Artificial intelligence) yang menggambarkan dua orang pria (maaf) sedang berciuman telah menjadi sorotan warganet. 

Sebagian warganet menafsirkannya sebagai presiden dan mantan presiden. Saya yakin sebagian lagi warganet yang awam tidak tahu siapa kedua orang tersebut. Sebab memang begitu konsep AI. 

Tidak ada penggambaran objek wajah manusia yang dibuat sama persis dengan wajah aslinya di dunia nyata. Ini berbeda dengan objek foto yang disunting menggunakan perangkat lunak seperti Photoshop. Bahkan berbeda juga dengan gembar karikatur yang setiap orang tentu bisa menebaknya jika pernah melihat wajah aslinya. 

Bareskrim Polri telah menjerat mahasiswa tersebut dengan UU ITE.  Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan tafsir penghinaan dalam UU ITE tersebut. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan ketentuan dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang mengatur tentang pencemaran nama baik melalui sistem elektronik, harus dimaknai secara sempit untuk menghindari penyalahgunaan. 

Ketika dikonfirmasi ke pihak istana, pejabat istana mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak pernah memerintahkan penangkapan mahasiswa tersebut. Maka sudah bisa ditebak siapa yang berkepentingan.

Lebih dari sekadar soal hukum, kasus ini mengungkap ketidaksiapan negara dalam menghadapi era AI, serta potensi standar ganda yang merusak legitimasi pemerintah sendiri.

Pihak yang mendukung penangkapan mungkin berdalih bahwa unggahan tersebut tidak sesuai norma agama dan budaya Indonesia. Namun, jika pelanggaran norma langsung dijatuhi pidana, maka Indonesia bukan lagi negara hukum, melainkan negara moralistik otoriter.

Norma sosial dan budaya seharusnya dijawab dengan dialog, edukasi, atau teguran proporsional—bukan jeruji besi. Dalam negara demokrasi, tidak semua yang dianggap "tidak pantas" bisa dipidana, apalagi jika menyangkut ekspresi, satire, atau bentuk kritik terhadap pejabat publik.

Pemerintah Gembar-gembor AI, Tapi Tak Siap dengan Risikonya

Pemerintah gencar mendorong masyarakat—khususnya pelajar dan mahasiswa—untuk menggunakan teknologi AI. Namun saat muncul konsekuensi yang tidak disukai, seperti karya satir atau gambar provokatif, responnya justru represif.

Inilah yang menunjukkan bahwa pemerintah belum siap secara etis maupun struktural menghadapi era AI.

Jika ingin mendorong AI, maka seyogyanya:
1. Perlu ada regulasi AI yang adil dan transparan, agar masyarakat tahu batasan dan pelanggaran bisa dinilai objektif.
2. Perlu ada sosialisasi etika digital secara nasional;
3. Tidak boleh menggunakan hukum sebagai alat sensor sepihak.

Pemerintah seharusnya merespons dengan bijak dan proporsional, misalnya melalui klarifikasi publik atau dialog, bukan kriminalisasi langsung.

Amerika Serikat, sebagai negara pelopor dalam pengembangan teknologi AI, telah menunjukkan bahwa teknologi tak selalu berarti represi terhadap ekspresi.

Di sana, hanya penyebaran konten 'deepfake' untuk penipuan dan disinformasi berbahaya atau ancaman kekerasan secara nyata yang akan berujung penangkapan. 

Contoh kongret disinformasi adalah 
Presiden Donald Trump telah mengumumkan perang padahal tidak.

Contoh ancaman kekerasan secara nyata adalah unggahan gambar Trump dengan senapan dibidikkan ke kepalanya disertai teks ancaman langsung.

Visualisasi tersebut bisa dikategorikan “true threat” dan berujung penangkapan karena menimbulkan rasa takut atau niat nyata untuk melukai.

AI Adalah Ruang Eksperimen, Bukan Hanya Etalase Publik

Di era teknologi generatif seperti saat ini, para pegiat online—terutama dari kalangan muda—memiliki kebebasan bereksperimen dengan AI dalam berbagai bentuk: dari visual, suara, hingga teks. 

Tidak semua hasil eksperimen itu diunggah ke ruang publik di dunia maya. Banyak yang hanya disimpan di galeri ponsel atau komputer pribadi, sebagai bagian dari uji coba atau karya seni digital. Itu berarti bukan tidak mungkin ada lebih banyak lagi beragam meme serupa yang tersimpan di galeri perangkat bahkan beredar di komunitas terbatas. Meme-meme yang dihasilkan oleh mesin AI. 

Jika negara mulai mengkriminalisasi konten berbasis AI hanya karena sifatnya kontroversial, maka ini akan memicu ketakutan dan menyuburkan sensor diri (self-censorship) yang berbahaya bagi perkembangan kreativitas, kebebasan berpikir dan keterbukaan.

Sebagai alat, AI tak memiliki moral. Justru manusialah yang harus dibekali etika digital, bukan diberi ancaman pidana. 

Negara seharusnya membangun kebijakan yang membedakan dengan tegas antara ruang privat, ruang publik, dan ruang ekspresi kreatif. Jika tidak, maka ekspresi yang seharusnya menjadi bagian dari perkembangan teknologi bisa berubah menjadi delik pidana, hanya karena tafsir sepihak dari norma atau kekuasaan.

Penipuan Online Masih Marak, Tapi Tak Pernah Ditangkap

Ironisnya, pelaku penipuan online yang nyata-nyata melanggar UU ITE—khususnya bagian transaksi elektronik—jarang ditindak tegas bahkan tidak ditangkap. Padahal korban penipuan online bisa kehilangan uang, data pribadi, bahkan kehormatan.

Bandingkan dengan kasus mahasiswa ini: tidak ada korban langsung, tidak ada kerugian materiil, tidak ada niat jahat untuk melukai, namun langsung dijadikan tersangka. Ini jelas menunjukkan penerapan hukum yang tidak adil dan pilih-pilih. 

UU ITE telah disalahgunakan untuk membungkam kritik, bukan untuk mencegah dan mengatasi kejahatan transaksi elektronik. 

Standar Ganda: Dari "Penghina Prabowo" ke Kursi Kabinet

Yang lebih ironis lagi, beberapa pejabat yang kini duduk di lingkaran kekuasaan justru dikenal sebagai penghina Prabowo di masa lalu, baik secara verbal maupun dalam bentuk unggahan media sosial. 

Nama-nama seperti Tukang Sayur (yang konon pemiliknya adalah Hasan Nasbi) dan Rudi Valinka (Rudi Susanto, Staf Khusus Menteri Komdigi) di Twitter (sekarang X) dan lainnya pernah membuat pernyataan kasar, menghina, bahkan merendahkan Prabowo Subianto secara terbuka. Namun hingga kini, mereka tidak pernah disentuh hukum, bahkan mendapat jabatan. 

Bahkan fufufafa - yang dipastikan tanpa ragu adalah Gibran Rakabuming Raka - di Kaskus lebih barbar lagi dalam postingan komentarnya sejak 2014 hingga 2023. Mulai dari menghina Prabowo Subianto dan keluarganya, menghina mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga orientasi seksual terhadap seorang selebritas. 

Bandingkan dengan seorang mahasiswa yang hanya mengunggah meme hasil AI tanpa maksud menyebarkan informasi palsu atau ancaman kekerasan—langsung dijerat pasal. 

Meme yang sebenarnya bagi sebagian masyarakat kebanyakan tidak tahu siapa sebenarnya kedua orang tersebut. Jika gambar tersebut diperlihatkan dan ditanyakan kepada orang-orang perkotaan hingga di kampung pelosok siapa kedua orang itu, saya yakin banyak yang menjawab tidak tahu. Sebab memang begitu visualisasi AI.

Preseden Buruk di Mata Dunia

Jika tren kriminalisasi ini berlanjut, Indonesia akan dicap sebagai negara yang mendukung teknologi, tapi represif terhadap kreativitas. Mendorong AI, tapi menindas pengguna AI. Menciptakan aturan, tapi menegakkannya secara diskriminatif.

Preseden buruk seperti ini bisa mencoreng reputasi Indonesia di mata internasional, terutama dalam isu demokrasi digital dan kebebasan berkreasi.

Demokrasi Butuh Etika, Bukan Ketakutan

Karya satire, betapapun kontroversialnya, adalah bagian dari dinamika masyarakat modern. AI hanyalah alat; manusialah yang perlu dibekali pemahaman. Maka, negara seharusnya hadir sebagai pembimbing dan pelindung, bukan sebagai algojo.

Sudah saatnya pemerintah menyusun regulasi AI yang berpijak pada etika dan akal sehat, bukan pada sensitivitas politik sesaat.

Kalau pemerintah belum siap dengan risiko teknologi AI, maka sebaiknya stop omong kosong tentang "revolusi AI" di sekolah-sekolah atau kampus yang justru menciptakan ketakutan dan membunuh kreativitas generasi muda.
------------------
Senin, 12 Mei 2025

Monday, 7 July 2025

Pencawapresan Gibran Sebagai Rekayasa Politik Berbalut Demokrasi


Di balik retorika demokrasi, rekayasa politik berjalan mulus. Kasus pencawapresan Gibran hanyalah salah satu cermin betapa mudahnya hukum disalahgunakan demi melanggengkan kekuasaan.

Lalu kini, desakan sejumlah tokoh purnawirawan TNI untuk mencopot Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden memicu polemik nasional. Tak lama kemudian, muncul tandingan berupa dukungan dari kelompok purnawirawan TNI lainnya yang dimotori oleh Wiranto dan Agum Gumelar.

Publik pun menyaksikan bagaimana perbedaan tajam dalam tubuh para mantan perwira negara kembali muncul ke permukaan. Namun, di balik dinamika ini, ada satu hal yang tak boleh diabaikan: pencawapresan Gibran sendiri merupakan kesalahan kolektif dari banyak lembaga dan elite politik.

Pertanyaan mendasarnya adalah: mengapa Gibran bisa menjadi calon wakil presiden sejak awal?

Bukan Wajah Otentik Kaum Muda

Gibran kerap dijual sebagai simbol anak muda dalam kontestasi Pilpres 2024. Namun, faktanya, pencalonannya tidak lahir dari proses yang organik. Ia bukan representasi dari gerakan atau aspirasi pemuda, melainkan produk dari intervensi politik tingkat tinggi. 

Peran pamannya, Anwar Usman, yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, menjadi kunci pembuka jalan bagi Gibran melalui putusan kontroversial yang membuka celah hukum batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan yang kemudian menuai kritik luas dan dinilai mencederai marwah MK sebagai lembaga penjaga konstitusi.

Putusan itulah yang membuka jalan bagi Gibran—bukan karena dorongan gerakan anak muda, apalagi seleksi meritokrasi.

Gibran bukan simbol perjuangan anak muda. Ia tidak lahir secara alamiah dari ruang publik, tapi dari jalur istimewa yang penuh rekayasa hukum. Bahkan pencalonan Gibran sebagai Wali Kota Surakarta pun tidak lepas dari intervensi politik yang penuh karpet merah.

Anak muda yang sejati lahir dari ruang perjuangan, bukan dari rekayasa hukum dan dinasti kekuasaan. Oleh arena itu, klaim bahwa Gibran mewakili kaum muda adalah narasi semu yang bertujuan membungkus kepentingan politik lama dalam wajah baru.

Kesalahan Kolektif Para Elit dan Lembaga

Gibran bisa maju bukan hanya karena keputusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga karena persetujuan oleh KPU, Bawaslu, hingga partai politik yang seharusnya menjadi penjaga etika demokrasi. Bahkan sebagian masyarakat dan media ikut terlibat dalam membangun narasi normalisasi politik dinasti. 

Jika hari ini muncul gerakan menuntut pencopotannya, maka itu tidak bisa dilihat secara terpisah dari kesalahan kolektif elit yang sebelumnya membiarkannya melenggang ke panggung kekuasaan.

Dan di sini penting untuk menyebut nama-nama besar seperti Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Kedua capres ini tidak pernah menyatakan penolakan tegas terhadap pencalonan Gibran saat proses pendaftaran capres-cawapres di KPU berlangsung. Bahkan, sejumlah informasi menyebut bahwa Gibran sempat dijajaki untuk dipasangkan dengan mereka sebagai cawapres. Artinya, tidak hanya Prabowo yang menganggap Gibran sebagai opsi potensial.

PDIP pun pernah menyebut Gibran sebagai salah satu nama yang masuk radar bacawapres. Ketika arah politik berubah dan Gibran memilih bergabung ke kubu Prabowo, barulah muncul suara kecewa. Tidak ada satu pun partai besar yang sejak awal menggugat atau menolak proses hukum yang membuka jalan bagi Gibran tersebut.
Gugatan hukum baru muncul setelah Pilpres 2024 dimenangkan Prabowo-Gibran. Kritik terhadap keputusan MK dan dugaan cawe-cawe kekuasaan baru ramai setelah hasilnya tak menguntungkan. Ini menunjukkan banyak elit politik memilih diam saat peluang masih terbuka bagi mereka

Perbedaan pandangan purnawirawan TNI bukan hal baru. 

Sejarah mencatat munculnya Petisi 50 pada 1980-an yang ditandatangani oleh sejumlah tokoh militer dan sipil sebagai bentuk kritik terhadap Presiden Soeharto. 

Kini, ketegangan serupa muncul kembali. Tapi yang jadi sasaran adalah wakil presiden terpilih, Gibran, yang bersama Prabowo belum setahun menjabat sebagai pimpinan eksekutif negara. Perbedaannya, legitimasi politik sudah didapat, tapi legitimasi moral masih dipertanyakan.

Namun, satu hal yang sama: suara purnawirawan TNI selalu mencerminkan kegelisahan atas arah bangsa. Dan dalam situasi sekarang, kegelisahan itu tidak bisa disederhanakan hanya sebagai "pro atau kontra" terhadap satu sosok, melainkan sebagai refleksi atas krisis legitimasi sistemik yang lebih dalam.

Polemik Gibran bukan sekadar drama politik elit. Ini adalah refleksi dari krisis sistemik: krisis kepemimpinan, krisis integritas lembaga, dan krisis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Kita sedang berhadapan dengan kondisi di mana hukum bisa ditekuk dan elit politik dari berbagai kubu bisa menerima itu selama mereka punya peluang menang. Dan ketika kalah, barulah sistem dipersoalkan. Ini bukan demokrasi, ini kompetisi penuh kepura-puraan.

Pencawapresan Gibran tidak lahir dari demokrasi sehat, tetapi dari rekayasa hukum dan kompromi politik. Kini, ketika sejumlah pihak mulai menyuarakan penolakan, termasuk dari kalangan yang dulu menjaga republik dengan senjata, kita harus merenung lebih dalam: ini bukan sekadar soal Gibran, tetapi soal arah bangsa yang sedang kehilangan pijakan etik dan akal sehat.

Jika bangsa ini ingin keluar dari lingkaran krisis, maka langkah pertama adalah mengakui bahwa kita semua—baik elit maupun rakyat— pernah membiarkan penyimpangan terjadi. Selama kita tidak mau jujur tentang itu, polemik seperti ini hanya akan berulang dan terus berulang setiap lima tahun dalam bentuk yang berbeda.
----------------

Senin, 05 Mei 2025

Saturday, 25 May 2019

Sekadar Mengamati Video Sadis 23 Mei 2019

Oleh: Asyari Usman (Wartawan Senior)

Hampir tidak ada bedanya dengan keberingasan tentara Israel ketiga mengejar anak-anak remaja yang melakukan ‘intifada’. Bahkan, mungkin yang ini lebih sadis lagi. Jangan-jangan mereka telah dikursuskan bagaimana cara melakukan kesadisan. Cara menyiksa dengan keroyokan.

Begitulah kesimpulan saya setelah memutar beberapa kali video yang menunjukkan seseorang yang tak lagi berbaju, sedang dikeroyok oleh sekitar 8-10 para petugas yang berseragam gelap. Mereka ada yang memegang senjata laras dan alat-alat proteksi tubuh yang cukup lengkap. Beberapa orang menyandang tameng (perisai). Rata-rata mereka memegang semacam kayu panjang (diperkirakan potongan rotan).




Video ini direkan dari posisi gedung bertingkat. Lokasi kejadiannya tampak seperti halaman masjid. Perekam video itu berkomentar bahwa seseorang yang dikeroyok itu kemungkinan anak remaja.

Para pengeroyok itu beringas bagaikan sudah lama tidak berjumpa mangsa. Yang dikeroyok tampak tidak lagi bergerak. Apalagi melawan. Ada sesekali dia terlihat menggerakkan kakinya. Mungkin, itulah gerakan terakhir anak tsb.

Metode penyiksaan itu tidak tanggung-tanggung. Para petugas yang memegang senjata laras memukulkan popor dan batang senjata mereka dengan ‘full force’ (sekuat tenaga). Yang lain-lainnya memukulkan rotan ke tubuh yang tampak telah lembik terkulai-kulai itu.

Dengan kaki yang terbungkus sepatu ‘riot gear’ (sepatu keras), salah seorang petugas berseragam gelap itu menendang bagian dada atau kepala anak itu. Sekuat tenaga juga. Bayangan saya, seandainya pun badan anak itu sedang dibalut alat alat proteksi, hampir pasti dia akan mengalami luka berat. Luar-dalam. Tak mungkin selamat dengan tendangan yang diayunkan sepenuh hati itu.

Dalam keadaan yang sudah tak bergerak lagi, masih sanggup para pengeroyok bersenjata lengkap itu memukuli si anak malang tsb. Luar biasa hebat aparat seragam gelap.

Setelah puas mengeroyok anak itu, dua orang petugas menyeret tubuh yang ‘telah diam’ itu ke satu tempat. Rekaman video pun selesai.

Setelah melihat video itu, saya bertanya-tanya apa gerangan yang menyebabkan aparat seragam gelap menjadi begitu sadis, beringas, kalap dan lupa diri? Pendidikan atau pelatihan macam apa yang diberikan kepada mereka? Indoktrinasi seperti apa yang disuntikkan ke kepala mereka?

Terus, apakah ada SOP untuk mengeroyok target yang sudah tak berkutik, yang telah terkulai-kulai? Apakah ada materi pelatihan yang khusus menghilangkan rasa kasihan terhadap korban yang sudah tak berdaya?

Apakah tidak ada materi tentang kemanusiaan dan keberadaban? Apakah mereka sengaja dilatih untuk menjadi seperti, maaf, srigala kelaparan? Yaitu, srigala yang akan mengeroyok mangsanya sampai mati?

Aparat seragam gelap di video itu bagaikan tidak pernah tahu Pancasila. Bagaikan tak kenal Tuhan. Seperti orang yang tak beragama. Bagaikan tak punya anak-kemenakan remaja.

Ingin rasanya mendapatkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Tapi, ada video lain yang bisa “menghibur”. Yaitu, rekaman yang menunjukkan ratusan seragam gelap berjoget gembira di jalanan. Mereka tampak senang. Melompat-lompat kegirangan. Kurang jelas apakah mereka berjoget-ria setelah berhasil mengeroyok sampai tuntas anak remaja itu.

Saya teringat dengan nasib rakyat Palestina yang dikejami terus-menerus oleh polisi dan tentara Israel. Teringat dalam konteks begini: mengapa tidak kita salurkan saja kehebatan seregam gelap itu untuk melindungi warga Palestina?

Saya bayangkan, ketangkasan keroyok seragam gelap itu mungkin bisa menghalau tentara Israel dari tanah Palestina. Barangkali perlu kita coba. Siapa tahu!

Thursday, 23 May 2019

Pilpres 2019 Yang Menentukan

Oleh: Prof. Dr. Moeflich Hasbullah (Pakar Sejarah Islam, Dosen UIN Sunan Gunung Djati)

Mengapa pilpres yang hanya soal pergantian presiden dan kita sudah pengalaman menyelenggarakannya beberapa kali tapi sekarang ini demikian panas, tegang, sulit saling mengalah, kecurangan masif berani terang-terangan? Petahana akan menangkap siapa saja yang dianggapnya provokator bahkan sekarang dibuatkan hukum oleh Wiranto untuk menangkap siapa saja yang menghina Jokowi. Sisi lain, oposan akan mengerahkan gerakan rakyat yang disebut people power walaupun sebuah gerakan damai.

Kata "kalah" sekarang ini, nampaknya tidak akan diterima oleh kedua belah pihak. Apakah kekalahan tidak akan diterima hanya oleh kubu 02? Tidak. Kubu 01 juga sama, suasananya tidak akan menerima kekalahan untuk pilpres kali ini.

Bagi kubu 02, pemilu kali ini penuh rekayasa, karena itulah kecurangan struktural dan masif disiapkan sejak awal, catatannya di tim BPN mencapai ribuan, termasuk membangun opini melalui quick count yang diyakini hanya pesanan semata, hanya konstruksi untuk mempengaruhi pikiran dan mental masyarakat agar hasil pemilu bisa diterima dari hasil quick count dan perhitungan KPU.

Bagi kubu 01, pemilu kali tampaknya tidak bisa terima kekalahan karena diyakininya kelompok Islam radikal menyatu pada kubu 02 yang dituduhkannya akan merubah NKRI dan Pancasila. Prabowo iya nasionalis tapi dia didompleng oleh elemen Islam radikal dan ini membahayakan kelangsungan NKRI. Itulah pikiran di kubu 01. Maka, bagaimana pun caranya, 02 tidak boleh menang walaupun itu kekuatan rakyat.

Kalau soal pemilu biasa yang jurdil dan kondisi negara normal, kubu Jokowi dan kubu Prabowo pasti akan menerima kalah dan menang sebagai hal yang biasa. 
Tapi mengapa kondisi jadi rumit, panas, tegang dan gawat? Mengapa ada ribuan kecurangan yang dibaca masyarakat dari berita-berita media dan ditonton langsung dari banyak sekali video yang beredar? 

Mengapa survei dan quick count yang fungsinya membantu menghitung cepat tapi kali ini kontroversial dan tak diterima oleh satu paslon?

Berarti ada sesuatu. Itu jawabannya.......?

Bukankah pada banyak pemilu sebelumnya, 'kwikkoun'p- tidak jadi masalah? Karena tidak ada nuansa kecurangan apalagi masif. Di pilpres 2019 ini, masalahnya jelas karena pemilunya tidak wajar. Bukankah sepanjang sejarah pemilu Indonesia baru kali ini begitu banyak kecurangan yang disaksikan masyarakat? Mengapa ada korban kematian panitia begitu banyak hingga 550 lebih? Ada apa? Apa artinya? Sekali lagi, artinya ada sesuatu, ada yang tidak wajar, ada misteri yang besar yang sekarang jadi kontroversi. Bukankah mudah saja memahami itu? Diagnosis Ikatan Dokter Indonesia sudah membuktikan mereka bukan mati oleh kelelahan. Kelelahan bukan penyebab langsung kematian. Bila kematian massal itu diautopsi, sebabnya akan terbuka.

Mana mungkin sebuah hasil pemilu akan diterima oleh peserta bila kecurangan begitu banyak?

Di negara manapun pasti akan jadi masalah, yang kalah pasti akan protes karena permainan tidak fair, karena pemilu tidak jujur. Ada apa dengan kematian panitia KPPS hingga 500 orang lebih? Apakah ini pemilu yang biasa? Pemilu yg normal dan wajar? Tentu tidak. Semua masyarakat tahu dan merasakan ini pemilu yang tidak biasa, tidak wajar. Kematian massal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Jadi, sekali lagi, ada apa dengan pemilu pilpres 2019?

Mengamati dan merasakan ketidakwajaran Pilpres 2019

Sebenarnya bukan soal Jokowi lawan Prabowo, bukan hanya soal pergantian presiden, bukan soal Islam moderat dan Islam radikal, bukan soal Pancasila vs Khilafah, bukan soal nasionalisme religius vs nasionalisme sekuler. Bukan soal rebutan kekuasaan antar anak bangsa. Kalau hanya itu semua, pemilu tidak akan segawat dan segenting ini. Dalam banyak hal masyarakat kita sudah terbiasa dan menerima perbedaan.

Maka, jawabannya tidak lain adalah sesuatu yang lebih besar dari sekedar pemilu. Yang lebih besar dari sekedar pergantian presiden yaitu masalah kedaulatan negara dan masa depan bangsa. Hanya, yang satu kubu seperti tidak perduli, tidak menyadari, karena lebih memandang aspirasi politik kelompoknya. Kubu lain tahu, sangat peduli dan melihat urusan yang lebih besar, yaitu soal kedaulatan bangsa dan negara yang sedang tergadaikan. Soal ancaman kepada rakyat yang akan jadi kacung di negerinya sendiri.

Ini era global. Negara-negara besar mencaplok negara-negara lain tidak melalui penjajahan langsung tapi melalui neo-kolonialisme, melalui imperialisme politik yang gejalanya sudah banyak di Indonesia tapi masih juga sulit diyakinkan kepada sebagian masyarakatnya.

Samuel Huntington menjelaskan secara rasional dalam bukunya "The Clash of Civilization and Remaking New Order," bahwa negara-negara raksasa dengan ledakan penduduknya yang sudah tak terkendali di negerinya karena sudah lewat batas, pasti akan mencari sumber-sumber alam dan penghidupan dengan membanjiri negara-negara tetangganya dan menganeksisasi secara ekonomi dan politik. Kolonialisme dulu karena kerakusan, sekarang kolonialisme karena mempertahankan hidup dari negara yang terlalu besar.

Penduduk Cina sekrang sudah sekitar 1,4 miliar yang sumber alamnya sudah tak bisa diandalkan.

Bagaimana ia harus mempertahankan hidup? Seperti air, dengan meluber keluar, menganeksasi bangsa-bangsa lain. Dan Cina sudah membuktikan itu dengan jebakan-jebakan utang yang besar yang membuat negara lain tidak berdaya: Tibet sudah jadi negara Cina, Malaysia sudah terlambat untuk bisa lepas dari hegemoni Cina.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman mengungkapkan, Zimbabwe memiliki utang sebesar 40 juta dollar AS kepada China dan tak mampu membayar sehingga harus mengganti mata uangnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang sejak 1 Januari 2016. Nigeria yang disebabkan oleh model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan dalam jangka panjang membuat China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur di Negeria.

Sri Lanka yang juga tidak mampu membayarkan utang luar negerinya untuk pembangunan infrastruktur dan harus melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China. Angola mengganti nilai mata uangnya. Zimbabwe juga.

Kapan Indonesia sadar?

Hutang Indonesia sudah mencapai 5000an Triliun dan Indonesia akan kesulitan membayarnya. Satu-satunya cara adalah intervensi Cina harus diterima menghegemoni Indonesia dengan dikte-dikte ekonomi dan politiknya yang kini semakin kuat.

Melalui konglomerasi raksasa, Indonesia harus di bawah kendali mereka. Jokowi dan petahana adalah akses yang bisa diintervensi yang selama menambah terus utangnya hingga titik kritis. Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang sangat berkuasa, sudah menandatangi 23 kontrak proyek dengan Cina untuk memperkuat dan semakin mengunci Indonesia dengan utang.

Liputan Kompas dan banyak media lain mengkhawatir bahaya jebakan utang ini dan banyak tokoh mengkritiknya. Tapi Wiranto malah menyambutnya dengan membentuk Tim Hukum Nasional yang bernuansa dihidupkannya politik otoriter Orde Baru.

Kesadaran ancaman atas kedaulatan negara disikapi berbeda oleh kedua kubu capres dan masing-masing pendukungnya. Petahana menganggapnya bukan masalah karena mungkin sudah akrab tanpa melihat dampak dan akibatnya, kubu oposisi sangat merasakan ini berbahaya bagi kelangsungan bangsa dan negara.

Kapan keduanya akan menyadari bersama? Mungkin kelak kalau bangsa ini, tanpa sadar dan tidak berdaya, sudah menjadi bagian dari negeri asing. Kita baru akan menyadari ketika kedaulatan sudah hilang di negeri yang dimerdekakan oleh hasil keringat darah rakyat, para pejuang dan para ulama dari 350 tahun kolonialisme.

Maka, ..............
siapa pemenang pilpres 2019 akan menentukan apakah Indonesia akan menjadi bangsa kacung dan kekayaan negerinya habis milik asing yang sekarang sebagiannya sudah terbukti atau menjadi negara dan bangsa "baru" yang berdaulat sebagai amanat Pancasila dan UUD 1945. Wallahu a'lam bisshowab.

Wednesday, 22 May 2019

Surat Terbuka Rizal Ramli: Korban Sudah Terlalu Banyak, Apakah Akan Kita Biarkan?

SAUDARA-saudara, bangsa kita di persimpangan jalan. Apakah kita meneruskan cara-cara curang, cara-cara yang tidak adil dan cara-cara yang semakin otoriter?

Kita semua berjuang dengan susah payah,agar negara kita menjadi negara demokratis yang bertanggung jawab dan ngayomi rakyatnya. Saya pada waktu muda, umur 22 tahun diadili dan ditangkap, dipenjarakan di Suka Miskin karena ingin Indonesia yang demokratis, Indonesia yang adil.

Tapi saya sedih sekali, hari ini kita kembali ke zaman otoriter, aparat digunakan untuk menangkap orang sembarangan. Menggunakan undang-undang anti makar. Saya mohon maaf, makar itu kalau dalam bahasa inggris, itu kudeta. Kudeta itu hanya bisa dilakukan oleh organisasi bersenjata. Tidak bisa rakyat biasa tanpa senjata dengan damai melakukan kudeta.

Padahal, hak untuk berkumpul, untuk menyatakan pendapat, untuk mengekspresikan ketidakpuasan itu dijamin oleh UUD 1945. Artinya apa? Kita berkumpul menyatakan pendapat asal dengan damai, asal dengan tanpa kekerasan, itu dijamin oleh UUD 1945. Siapapun yang memberangus untuk menyatakan pendapat, untuk berkumpul, pada dasarnya melanggar UUD 1945.

Pasal 28 E UUD 1945
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya 

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Apakah akan kita biarkan? Korbannya sudah terlalu banyak. Saya tidak percaya tujuh ratusan itu meninggal hanya karena kelelahan. Karena kalau orang hanya kelelahan itu biasanya jatuh tertidur, kecuali dia penyakit gawat sebelumnya. Nah kami minta di buat tim pencari Fakta (TPF), kenapa sampai terjadi ini, yang independen.

Yang kedua, tahun 2014 sebetulnya sudah ada kecurangan, cuma 1-2 %, iya. Pak Prabowo waktu itu legowo, nrimo. Udahlah daripada rame-rame, iya kan? Dukung aja presiden yang terpilih. Tapi hari ini kecurangannya luar biasa besarnya. Ada 17,5 juta pemilih yang abal-abal, iya. Ada 13,5% dari total TPS yang diinput yang salah.

Nah menurut saya, standar apapun di seluruh dunia, ini sudah keterlaluan. Kita tidak ingin pemerintah yang curang ini, dan juga ternyata tidak berpihak kepada rakyat. Ini bukan soal menang kalah lagi, ini bukan soal Prabowo-Jokowi lagi. Yang kita lawan ini adalah kecurangan, yang kita lawan ini adalah ketidakadilan.

Saudar-saudara, dengan izin Allah yang mahakuasa, insha Allah kebenaran akan ditegakkan. Pada akhirnnya akan ada perubahan untuk dan bagi rakyat kita semua. 

Terima kasih. Salam


Tuesday, 21 May 2019

Konflik Hubungan TNI dan Polri, Grand Design Pelemahan NKRI

Oleh Letjen Marinir (Pur) Suharto

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya. Pada kesempatan ini apa yang akan saya sampaikan adalah pendapat pribadi saya. Jangan dianggap ini sebagai pendapat TNI. Apa yang akan saya sampaikan pada kesempatan ini adalah hasil analisa saya terutama menyangkut persoalan skema pelemahan internal NKRI, yang kini muncul kepermukaan menjadi skema konflik TNI-Polri.

Kalau boleh saya katakan, apa yang dihasilkan oleh Reformasi 1998, menurut saya adalah sebuah penyimpangan. Karena reformasi itu hadir begitu cepat, sedang kita sendiri belum siap. Sehingga perjalanan reformasi ini kemudian “dibajak” oleh orang-orang yang telah siap finance dan programnya. Mereka adalah empat belas menteri yang mengkhianati Pak Harto. Merekalah yang kemudian menjadi “lokomotif” yang menyalip di tengah jalan.

Kembali kepada TNI dan Polri. Saya merasakan ini memang suatu kesengajaan. Kalau mau jujur saya katakan bahwa TNI dan Polri merupakan suatu badan yang berbeda. TNI itu adalah suatu institusi kombatan (tempur). Sedangkan Polri itu bukan institusi kombatan. Polri adalah non kombatan

Polri itu sebetulnya hanya menangani apa yang disebut dengan crime justice system, atau yang lebih kita kenal dengan Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat (Tramtibmas). Tapi apa lacur pikiran kita dibelokkan sehingga dengan serta merta kita ikut latah dengan istilah pertahanan dan keamanannya TNI, seakan sama dengan istilah keamanannya Polri. Itu tidak betul. Keamanan ini security. Security as a whole include di dalamnya.

Dahulu masalah itu diributkan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan, itu sudah betul. Ironisnya sekarang setelah institusi TNI-Polri dipisah kok seakan semua setuju. TNI sebagai kombatan sudah kembali ke barak, dan meninggalkan sosial politiknya. Tapi ketika saya tanya, apakah Polisi Back to barrack? Tidak. Bahkan Polisi dipersenjatai seperti kombatan.

Ketika saya masih menjadi Irjen Dephan, saya habis-habisan menentang ini. Kenapa minta senjata AK? AK 97 adalah senjata kombatan bukan senjata Polisi. Senjata Polisi hanyalah untuk memberikan peringatan dan untuk membela diri. Makanya Polisi di Inggris senjatanya pakainya pentungan. Di Indonesia, Polisi malah dipersenjatai, pangkatnya persis pangkat tentara. Jenderal itu pangkat tentara bukan pangkat polisi. Kalau pangkat Polisi yang betul ya Inspektur, Komisaris, Ajun, sampai dengan Super Intendan. Tapi kita tidak, kita perkuat pangkat sama dengan Jenderal. Brimob disusun sampai susunan tempur, dulu saya sampai terkejut ketika hendak diberikan tank.

Jadi kita tidak tahu lagi mana yang kombatan dan mana yang non kombatan. Pada waktu acara di Kampus UNAIR, yang dihadiri pula oleh beberapa petinggi Polisi, saya sampaikan kalau nanti sistemnya seperti ini, polisi yang tidak back to barrack. Kalau tidak back to barrack nanti kewenangan Polisi melampaui kapasitasnya. Siap tidak siap, mau tidak mau, nanti akan jadi tirani baru. Nah apa yang sekarang kita rasakan ini harus diwaspadai. Apalagi DPR sekarang tidak mengerti mana ketahanan mana keamanan sehingga secara membabi buta menyatakan keamanan tugas polisi, pertahanan tugas TNI, ini yang saya kira harus kita pelajari lebih mendalam.

Kalau kita belum bisa mendefinisikan dengan benar fungsi dan peran TNI-POLRI, maka sulit bagi kita mengandalkan keterlibatan mereka untuk memperkuat NKRI.

Kenapa saya katakan polisi kewenangannya melampaui kapasitasnya? Pertama, polisi di bawah presiden melampaui kapasitasnya, di negara yang paling maju dimanapun tidak ada polisi di bawah presiden. Ini kewenangan melampaui kapasitasnya. Apalagi sekarang kita melihat kalau sidang kabinet, Polri hadir, panglima TNI juga hadir. Bagaimana kita tidak mengatakan bahwa TNI dan Polri tidak terlibat dalam politik?!

Sekali lagi saya katakan pendapat saya, kalau salah dibuang, kalau benar saya kira bisa kita lanjutkan.

Untuk itu, sekarang bagaimana solusi untuk mendinginkan ini. Sulit. Kalau kita berkaca pada sistem yang ada ini memang sulit. Belum lagi ada kata kecemburuan sosial, anak-anak saya itu kalau cerita diam-diam dan dibelakang. Saya tanya, “Le, kenapa kamu tidak akur dengan polisi? Bagaimana ndan, kita itu gajian satu bulan sekali dia gajian tiap hari.” ini guyonan tapi menyengat. Karena masalah itu, kita paten-patenan.

Tahun 1998 yang kita selamatkan mereka. Ditahun itu kalau Polisi diuber-uber, kita yang selamatkan. Sampai Brimob yang ada di perempatan, bila tidak ada Marinir, sudah habis itu.

Jadi, itu yang saya terus ingat. Itu salah satu kelebihan. Ada satu kapasitas lagi, Polisi mengurus mobil, BPKB, STNK, itu kan pajak-pajak mobil. Itu sebetulnya sektor keuangan, ranahnya Depkeu, bukan ranahnya polisi.

Waktu saya Irjen ditahun 2000, ada lima (persoalan, red) yang diribut-ributkan, ada di Tempo. Lucu kalau saya ingat itu.

Pertama, gedung PTIK, lahan PTIK yang akan diruilslah. Padahal menurut peraturan pemerintah harus izin ada izin Presiden, Sekeu, Departemen Keuangan. Dia mau rislah, dananya mau diambil sebagian untuk membuat Markas Besar Polisi, yang waktu itu terbakar.

Kedua, masalah mobil Timor. Mereka membeli mobil Timor 1033 dengan harga 60 juta, padahal saya marinir membeli mobil timor dari Mas Bambang 24,550 juta

Ketiga, masalah senjata. Dia mengajukan kepada Dephan, Pak Yuwono, minta 16.000 membeli senjata AK 97 dengan harga 63 juta. Beliau minta disposisi kepada saya. Saya lalu menghadap. Saya katakan, bahwa Senjata AK 97 ini dengan harga 7 juta.

Lebih aneh lagi kok minta 16 ribu (pucuk). Seingat saya, Marinir, anak buah saya cuma 16 ribu. Dan seingat saya Brimob itu tidak sampai sepertiga Marinir. Selebihnya senjata untuk siapa? Padahal proses pengajuan senjata itu dilihat dari klasifikasi senjatanya. Klasifikasi dilihat mana yang rusak berat, sedang, ringan. Keuangan kita hanya mencapai itu. Untuk rusak berat yang dibeli, itu yang rusak berat. Rusak ringan maupun rusak sedang masih dikalibrasi dengan depo senjata, yang ada di angkatan masing-masing.

Keempat, dana operasional SIM dan STNK. Dana ini adalah dana publik, uang rakyat. Polisi tidak boleh mengatur itu. Seharusnya SIM dan STNK ini dikerjakan oleh Depkeu dan Sekeu Departemen Perhubungan. Bukan oleh polisi. Ini yang harus diluruskan. Harus di reformasi. Kalau Mabes Polri perlu anggaran, dia harus mengajukan daftar usulan pembangunan kepada pemerintah. Pemerintah kemudian mengalokasikan dana sesuai kemampuan, dana harus masuk pemerintah dulu tidak boleh langsung dikelola hartanya sampai angka 45-46 Miliar. Saya kemudian cek ke Singapura alat komunikasi dengan spesifikasi dan merek ini berapa harganya untuk sekian unit. Saya dapatkan harga tidak sampai 5 M. Lalu terjadi kehebohan. Bahkan sampai bocor ke media. Saya lalu bilang kepada Pak Yuwono, “Kalau kebocoran itu berasal dari saya, hari ini saya siap untuk dipecat.”

Bagaimana mengetahui bocor atau tidaknya di wartawan. Oh gampang Pak, saya kalau membuat laporan tebusannya itu ada nomornya. Jadi nomor 1 adalah bapak Menhan, nomor 2 ini, lihat saja di wartawan pak itu jatuh dicopy nomor berapa. Kalau itu copy ada di dalam lingkungan Dephan, saat itu saya berhenti. Dan ternyata kebocoran itu ada di pihak Polisi sendiri, karena saat itu ada persaingan tahta kepolisian.

Ini ilustrasi saya yang bisa disampaikan terkait hubungan antara TNI dan polisi. Dan hal ini memang harus diselesaikan. Polisi kita sudah diciptakan seperti TNI. Unit non kombatan sudah kita jadikan seperti kombatan. Dan mereka sendiri sudah nikmat dan sulit untuk bisa kita ubah.

Tampaknya Polisi sudah merasa nyaman dengan Sistem ini. Saya kira satu-satunya jalan adalah merangkul kembali Polisi dan TNI dalam satu badan dan harus kita pikirkan kemana larinya? Atau posisi yang kedua mereka dikembalikan kepada Departemen Dalam Negeri seperti yang diwacanakan oleh Jokowi-JK.

Mereka dulu paparan di Dephan, pokoknya kalau Mas Harto sudah pindah dari Dephan, kita akan paparan ulang di Dephan. Setelah saya tidak di Dephan lagi, konsep itu diterima oleh DPR. Itu yang saya takutkan

Makanya sistem ini terus berjalan. Apakah ini merupakan skema pelemahan NKRI? Menurut saya ya. Sulit kita pungkiri kalau hal ini bukan merupakan bagian dari grand desain untuk pelemahan Republik ini.

Saya melihat bahwa pelemahan Republik ini sudah sejak tahun 1955. Sejak maklumat wakil presiden nomor 50. Disitulah saat Indonesia dimasuki oleh alam liberal. One man one vote.

Disinilah awal kita meninggalkan amanah founding fathers kita yang terdiri dari berbagai suku. Maaf kalau saya katakan, terserah mau dinilai apa saya nanti. Maklumat Wapres itu wujud daripada pengkhianatan. Seperti kami di TNI, dalam kesatuan Batalyon, ada keluar perintah Wakil Komandan Batalyon. Wadanyon baru bisa memberikan perintah pada pasukan saat Komandan Batalyon mati. Begitu juga di Republik ini, maklumat Presiden harusnya baru bisa keluar bila Presiden sudah mati.

Kita sudah meninggalkan kebersamaan. Kita sudah meninggalkan semangat gotong royong. Kalau kita bicara gotong royong, bukan hanya sekedar pilar bangsa kita tapi juga dasar bangsa. Dimana dari dasar negara tersebut, ditegakkanlah pilar-pilar tersebut. UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Disitulah tiga pilar itu berdiri. Jadi bukan empat pilar berdiri disitu.

Sekarang kita sudah tahu kelemahan-kelemahan kita? Seperti pelajaran budi pekerti apakah masih diajarkan di sekolah? Sayang sudah dihapus. Padahal budi pekerti itu adalah bagian yang paling dasar dari Pancasila. Kita sudah tidak mengenal lagi gotong royong. Termasuk pelajaran ilmu bumi sudah tidak diajarkan lagi. Supaya apa? Supaya warga negara kita, anak bangsa kita tidak mengenal lagi tanah airnya.

Saya terperangah pada saat ada perlombaan di televisi, dimana pelajar-pelajar SMA sebagai pesertanya tidak tahu Pontianak itu ada dimana. Ya Allah, Ya Rabbi. Itu juga bagian dari pelemahan.

Seperti halnya Puan Maharani, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, masa dia katakan Banjarnegara di Jawa Barat. Nah itu adalah produk. Kalau dia katakan, dia adalah tokoh Pancasila, rasanya tidak percaya saya. Saya kira itu pelemahan.

Apakah nanti TNI dan Polri bersatu lagi dalam rangka penguatan NKRI, kita bisa kaji lagi. Yang jelas, seperti kita saksikan sekarang ini mereka sudah memberikan kontribusi kepada pelemahan NKRI. Karena memang sudah samar wilayahnya. Samar sektornya. Ini kombatan, non kombatan atau dua-duanya kombatan. Sehingga sekarang bisa gagah-gagahan, mau bedil-bedilan ayo mari. Selama belum mengerahkan tank, loe punya senjata, gue juga punya.

Inilah satu hal yang bisa saya sampaikan. Kedepan saya optimis mereka mampu secara internal menyelesaikan ini. Apabila semua pemimpin kita menyadari bagaimana problema kita dan yakin bisa kita atasi dengan sebaik-baiknya.

Saya melihat hanya ada dua jalan bagi Polisi, pertama kembali kepada Dephan, atau kembali kepada Depdagri. Yang pertama tidak populer, apalagi sekarang sedang didengungkan civil society itu bagian di luar ABRI. Padahal kalau kita gali lebih dalam, civil society itu include di dalamnya TNI. Karena TNI itu juga bagian dari rakyat. Rakyat yang bertugas untuk pertahanan namanya TNI. Bidang pemerintahan namanya Pamong, bidang hukum adalah Hakim dan Jaksa semua itu dalam rangka civil society. Itu yang kita tanamkan kepada anak-anak kita. Namun saya tetap memberikan suatu optimisme kepada kita semua, bahwasannya NKRI Insya Allah, jika kita sadar, kita tetap bisa mempertahankannya. Kita tetap memilih NKRI daripada kita memilih 47 negara bagian. Terima kasih.

Monday, 20 May 2019

Surat Terbuka Untuk Bapak Jokowi dan Bapak Prabowo dari Jumiarti Agus di Jepang

Bapak Jokowi, dan Bapak Prabowo semoga Bapak-Bapak sehat selalu. Saya Jumiarti Agus, warganegara Indonesia yang tinggal di Jepang, yang serius bekerja di Jepang untuk kemajuan Pendidikan di Indonesia.

Saya warga negara Indonesia yang tinggal di Jepang sejak masih single, kemudian menikah, hamil, melahirkan, membesarkan anak dan menyekolahkan mereka mulai dari tingkat hoikuen, SD, SMP dan SMA. Sekarang anak saya yang paling besar bersekolah di sekolah khusus perempuan. Sangat komplit masa yang saya lalui di Jepang, ketimbang di Indonesia. Tidak hanya saya, semua orang asing yang tinggal dan pernah datang ke Jepang, merasakan kenyamanan, tinggal dan hidup di negeri Sakura.

Kami merindukan semua kenyamanan itu bisa dirasakan oleh semua rakyat Indonesia. Selama tinggal di Jepang hak hidup dan berekspresi kami sama dengan mereka warga Jepang, anak-anak kami semuanya dapat subsidi dari pemerintah Jepang setiap bulan sejak lahir hingga mereka berusia 16 tahun. Anak anak bersekolah di SD dan SMP gratis, hanya untuk biaya ekstrakurikuler yang membayar. Biaya kesehatan, bahan makan, dan biaya hidup semuanya terjangkau. Suasana di lingkungan sungguh aman dan nyaman. Anak-anak hingga berusia 16 tahun mendapatkan tunjangan hidup 10-000 – 15,000 yen perbulan. Dan semua hal yang kami rasakan ini dirasakan sama oleh masyarakat di Jepang. Padahal negara Jepang tidak punya sumber daya alam apa pun, kecuali ikan di laut. Sementara kita negara kaya raya, semuanya kita punya, tapi rakyat yang miskin masih banyak. Sungguh sangat memilukan! Namun kalua kita bergiat tentu kita bisa membaik, InsyaAllah. (Tentang hal ini bisa dibaca di buku Menagapa Bertahan di Negeri Orang? ACIKITA Publising 2007).

Pak Jokowi dan Pak Prabowo Yth,
Saya ingin berbagi info tentang pemilu dan sikap pemimpin di Jepang. Pemilu di Jepang, berlangsung aman dan damai. Tanpa ada hiruk pikuk kampanye, apalagi bagi bagi sembako, uang, baju kaus dari pemimpinnya. Semua itu tidak pernah ada. Rakyat mereka juga tidak mau dibohongi oleh pemimpinnya. Mereka melihat kenyataan dan berfikir dengan logis, apakah seorang pemimpin bagus atau tidak. Mereka semua akan memilih sesuai dengan hati nuraninya. Biasanya pemilihan umum menggunakan lokasi sekolah milik pemerintah, rakyat disekitar pemukiman akan datang dan antrian tertib pada hari H, kemudian memilih calon yang disukai.

Pemilu di Jepang, tidak menghabiskan dana negara yang sangat besar, efisien, tertib, aman dan jujur. Semua pihak berlaku jujur, pemimpinnya jujur, penyelenggara pemilu jujur, dan rakyat juga jujur memilih pemimpin yang dia sukai. Sehingga pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang memang memenangkan suara rakyatnya, bukan pemimpin yang menang karena data yang dimanipulasi.

“Kenapa semua mereka bisa berlaku jujur?”

Jawabannya adalah sistem pendidikan mereka yang dikonsep dan dilaksanakan dengan baik, dimana moral dan karakter anak sangat fokus ditanamkan sejak dini. Sehingga saat dewasa mereka secara umum bersikap jujur.

Bila sikap jujur sudah dipunyai semua rakyat, maka semua program yang dicanangkan dapat berjalan dengan baik. Akhirnya semua rakyat dapat hidup, bersekolah, berkarya dan berprestasi yang membanggakan dunia. Mereka bahkan setiap tahun meraih hadiah Nobel, Pendidikan dan riset betul-betul sangat dahsyat majunya. Kita sangat jauuuuh ketinggalan. Kapan kita mau menorehkan sejarah di tingkat dunia di bidang pendidiakn dan riset, sementara masalah pokok saja, masalah pangan saja masih belum selesai?

“Sungguh teramat banyak PR kita Pak! Jangankan untuk meraih hadiah Nobel, untuk satu kata jujur saja, kurikulum nasional Indonesia kita belum mampu mencapainya. Buktinya korupsi dan KKN tumbuh subur, ini semuanya adalah musuh kemajuan bagi bangsa besar ini.!”

Pak Jokowi Yth, Legowolah, Pemilu 2019 Pak Prabowo Pemenangnya!

Saya tidak ikut dalam panitia pemilu apapun, tapi tetap dengan intensif memantau kondisi. Jujur, saya merasa capek, waktu saya sangat tersita. Saya yakin semua rakyat Indonesia mengalami hal yang sama. Mari kita sudahi dengan dewasa proses pemilu tahun ini, karena sudah jelas nyata bahwa Pak Prabowo adalah pemenangnya.

Buktinya apa?

1. Kampanye Bapak Prabowo dan pasangannya, selalu ramai di mana-mana. Rakyat datang dari keinginan pribadi, tanpa ada paksaan, tanpa nasi bungkus dan uang, dan tanpa mobilisasi dari pihak mana pun. Ada banyak rakyat yang menyumbangkan uang, padahal mereka hanya orang biasa. Suara yang datang dari hati rakyat, adalah murni dari Allah. Allah yang menggerakkan pribadi masing-masing mereka untuk memilih Bapak Prabowo. Untuk itu mari kita hargai Pak. Sementara kampanye pak Jokowi hampir selalu sepi, dan kadang rakyat didatangkan dari daerah lain, diberi nasi bungkus, uang, baju kaus, dan lain lain, artinya mereka memilih bukan karena murni dari hati nuraninya.

2. Data C1 yang banyak dilaporkan dari teman teman dan kolega di tanah air di dunia maya, mayoritasrakyat memilh 02. Ini data yang tidak bisa dibohongi. Dan inilah sebenarnya yang dijadikan acuan untuk menentukan angka persentase pemenang. Katanya server KPU kena hantam, artinya data sudah bukan yang sebenarnya. Quick Count memenangkan Bapak Jokowi, ini akan menyebabkan malapetaka, karena dari mana angka itu? Sementara rakyat punya data asli, dimana-mana Bapak Prabowo mayoritas menang.

Pak Jokowi Yth, mari mengakui kemenangan Pak Prabowo. Sebaiknya Bapak berpidato di depan rakyat Indonesia, dan menyatakan dengan fair bahwa pemenangnya adalah Bapak Prabowo Subianto. Sikap ini akan lebih terhormat ketimbang Bapak terus membiarkan kondisi yang berkembang di mayarakat. Saat ini karena rakyat sudah melihat nyata bahwa KPU memihak salah satu calon, dan ada indikasi banyak kecurangan pemilu, (kotak suara yang ditemukan sudah tercoblos untuk 01, banyak pemilih 02 yang tidak bisa mencoblos, dan data yang muncul memenangkan Bapak Jokowi), tentu rakyat protes.

“Sebagai perjuangan berjamaah, rakyat pendukung 02, sibuk meminta bantuan tim luar negeri dalam menghadapi pemilu yang penuh kecurangan ini. Ini adalah aib negara kita Pak Jokowi. Negara luar akan tahu bahwa kita tidak mampu mengurus negeri sendiri. Dan tentu yang jelek adalah Pak Jokowi, karena pemilu kali ini terjadi pada masa kepemimpinan Bapak.”

Terkait ketidakjujuran selama proses pemilu, ini semuanya bukan salah Bapak, tapi yang salah adalah sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Kita perlu merubah sistem pendidikan kita, dimana pelajaran moral, akhlak dan karakter anak harus sejak dini ditanamkan kuat, sehingga saat dewasa semuanya tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang jujur. Dan untuk hal ini Jepang adalah pionirnya di dunia.

Hiruk pikuk pemilu dan ketidakjujuran penghitungan suara, adalah tamparan hebat untuk bangsa Indonesia. Dunia tahu aib bangsa kita. Untuk itu kepada Bapak Jokowi tampillah untuk berpidato, untuk menyatakan bahwa Bapak Prabowo adalah pemenangnya. Karena hanya dengan sikap kenegarawan Bapak yang bisa menyelamatkan kondisi saat ini. Kami tidak ingin terjadi pertumpahan darah, pertikaian dan perseteruan hebat.

Saya mengucapkan terimakasih selama Bapak menjadi Presiden, selanjutnya pekerjaan atau janji jani kampanye Bapak pada tahun 2014 yang mayoritas tidak dilaksanakan, mari kita titipkan kepada Bapak Prabowo untuk membereskannya. Juga terkait pekerjaan yang belum beres kata Bapak pada saat debat presiden, maka insyaAllah akan dibereskan oleh Bapak Prabowo.

Mari Pak, kita tempatkan kepentingan bangsa dan keutuhan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Saya menunggu pidato resmi Pak Jokowi yang menyatakan legowo dan menerima kekalahan atas Pak Prabowo. Biasa saja Pak, dulu Bapak sudah dinyatakan menang, sekarang mari berikan kesempatan kepada Bapak Prabowo, karena mungkin KPU tampaknya sulit mengumumkan, karena servernya kena serangan. Sementara rakyat punya data original, dimana Bapak Prabowo unggul di banyak propinsi.

Untuk Bapak Prabowo Selamat, Bapak Sebagai Presiden RI 2019-2024

Selamat Pak, Bapak adalah pemenang pemilu tahun ini. Kami mohon Pak, bekerjalah untuk kemajuan dan kenyamanan hidup rakyat. Jangan berkuasa untuk kepentingan pribadi dan orang orang di sekitar Bapak. Ada banyak anak bangsa cemerlang di luar negeri yang Bapak berdayakan untuk mengejar ketertinggalan kita selama ini.

Saya mengusulkan kepada Bapak, poin pertama yang harus Bapak perbaiki adalah “Sistem pendidikan kita”. Jepang bisa maju dan punya karakter yang baik secara nasional karena sistem pendidikan yang ia jalankan. Tanamkan moral dan kepribadian sejak dini dengan metode action, kedua; mengggali potensi anak semaksimal mungkin sejak dini, potensi apa saja, di berbagai bidang. InsyaAllah bila kedua poin di atas diterapkan, maka kita bisa menjadi negara yang kuat kepribadiannya, dan mempunyai potensi diri yang baik di berbagai bidang. InsyaAllah akan ada peraih nobel dari Indonesia nantinya. Aamiin YRA

Karena kejujuran sangat mahal di Indonesia, maka untuk manusia dewasa yang sudah bekerja di berbagai bidang, saya menyarankan ada metode yang diterapkan untuk semuanya ditempa menjadi pribadi yang jujur. Tanpa kejujuran semuanya akan berantakan. Korupsi adalah berawal dari ketidakjujuran, korupsi adalah musuh negara, akan menghambat kemajuan negara. Tampaknya mayoritas kita bangsa Indonesia, wajib mengambil pelajaran moral setara dengan kurikulum di SD di Jepang, karena di negeri Oshin ini, pelajaran moral sudah khatam (tamat) di SD. Jadi sangat malu kita pada anak anak SD di Jepang, karena moral mereka lebih baik dari moral manusia dewasa Indonesia (mereka) yang tidak jujur.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jumiarti Agus
Ketua Internasional ACIKITA
Pejuang perubahan sistem pendidikan Indonesia
Pendidik, peneliti, penulis dan pemateri.
Anak bangsa yang ingn Indonesia maju.
Kobe, 19 April 2019