Friday, 1 August 2025

Tetangga Sebelah Mati Mendadak (Bagian 3: Mereka yang Berdiri di Depan)


Sejak rakyat berbaris, tidak ada yang mati mendadak lagi.

Tidak di sebelah. Tidak di seberang.
Tapi tetap saja… kematian belum berhenti.

Kini, yang mati adalah yang berdiri diam di belakang.
Yang ikut-ikutan.
Yang bersorak tanpa mengerti.
Yang setia tanpa tahu mengapa.

Dan mereka yang di depan tetap hidup—tapi rambut mereka mulai memutih lebih cepat.
Wajah mereka menua bukan karena usia, tapi karena beban yang tidak pernah dijelaskan.


Lalu orang mulai sadar...

Yang selamat bukan yang paling dekat,
bukan yang paling pintar,
bukan yang paling setia,
tapi yang paling siap menanggung beban kebenaran.


Di tengah hiruk-pikuk kekuasaan,
muncul seorang jurnalis tua, dipecat karena terlalu jujur.
Ia menulis di koran bawah tanah:

“Presiden ini bukan pembunuh, tapi dia cermin.
Siapa pun yang bercermin padanya,
akan melihat bayangan sendiri yang selama ini mereka sembunyikan.
Dan kadang, bayangan itu yang membunuh mereka sendiri.”


Lalu teori konspirasi bergeser...
Bukan lagi “siapa yang dia bunuh,”
tapi:
“Apa yang dia bangkitkan dalam diri orang lain?”


Dan rakyat mulai paham,
barisannya bukan sekadar formasi,
tapi ujian.
Apakah mereka berdiri karena tahu,
atau hanya agar tidak mati duluan?


Di hari ke-100 pemerintahannya,
presiden itu berdiri sendiri di alun-alun.
Tak ada pengawal.
Tak ada podium.
Hanya satu mikrofon.

Dan ia berkata:

“Negara ini tidak dibangun dari para penyintas.
Tapi dari mereka yang berani mati demi hidup yang benar.
Jika saya membuat kalian takut, maka jangan pilih saya.
Tapi jika saya membuat kalian jujur, maka biarkan saya memimpin…
meski hanya sebentar.”

Dan setelah kalimat itu...
TV mati serentak.
Sinyal hilang satu jam penuh.
Ketika siaran kembali, ia tak lagi ada di alun-alun.
Tapi semua layar menampilkan satu kalimat:

“Berdirilah, atau bersembunyilah selamanya.”



0 comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat!