Wednesday 26 December 2018

Dua Kesalahan Fatal Dalam Matematika dan Logika Jalan Tol

cnnindonesia/lewati-soeharto-pembangunan-tol-era-jokowi-sudah-671-km


Oleh: Dandhy Dwi Laksono

Pertama, jumlah kendaraan tahun 1980 baru 1,1 juta unit. Tahun 1990 naik menjadi 2,7 juta. Bahkan pengusaha merangkap pejabat seperti Luhut pun tidak akan mau melakukan investasi infrastruktur dengan populasi kendaraan (market) seperti ini.

Berapa tahun baru bisa balik modal? Bahkan yang sudah lama dibangun seperti tol Jagorawi atau Surabaya-Gempol pun tak kunjung digratiskan dan menjadi jalanan umum meskipun sudah balik modal.

Bandingkan ketika Jokowi berkuasa tahun 2014, jumlah kendaraan sudah melonjak hingga 21 juta unit. Investor jalan tol pun tumbuh subur seperti Tutut Soeharto, Aburizal Bakrie, Harry Tanoe, Sinar Mas, Astra, Kompas Gramedia Group, bahkan keluarga Jusuf Kalla dan Sandiaga Uno sendiri.

Rumus perhitungan seperti apa yang digunakan untuk membandingkan dua zaman yang berbeda volume permintaan dan penawarannya (demand and supply)?

Padahal ini bukan "rocket science".

Agar lebih dramatis, mengapa tidak sekalian membandingkan dengan 20 tahun Presiden Soekarno berkuasa dan tidak membangun satu meter pun jalan tol? Bukankah tahun 1949 - saat Konferensi Meja Bundar diteken - jumlah kendaraan "sudah mencapai" 34 ribu unit?

Negara model apa yang hendak dibangun Soekarno-Hatta jika tanpa jalan tol?

Ini sekaligus mengantarkan pada kesalahan yang kedua, yakni kesalahan logika. Ini sangat fatal.

Tugas negara adalah membangun infrastruktur publik dari pajak. Jalan tol adalah bukan infrastruktur publik, melainkan jalan swasta. Privat. Hanya yang sanggup bayar yang boleh lewat meskipun pembebasan tanahnya memakai dalih kepentingan umum dan mengerahkan para aparat. Aparat yang digaji dari pajak rakyat untuk menggusur paksa agar pemilik tanah mau pindah.

Bahkan jika jalan tol itu milik BUMN, saham yang dijualnya di pasar modal, tidak 100 persen milik NKRI. Bunga dari surat utangnya tidak mengalir dan berputar di urat nadi ekonomi nasional.

Komunikasi politik alias propaganda gaya Luhut ini bahkan bisa jadi bumerang jika dibaca begini:

"Soeharto membangun sedikit jalan berbayar, dan lebih banyak jalanan umum gratis untuk warganya yang sudah membayar pajak. Itulah tugas Presiden RI."

"Sementara Jokowi, pajak yang ditarik dari kendaraan jauh lebih besar, tapi yang dibangun justru jalanan berbayar. Itulah tugas Presiden Direktur Perusahaan Infrastruktur."

Tapi mengapa pejabat seperti Luhut Binsar Pandjaitan atau tim Jokowi lainnya percaya diri memakai propaganda seperti ini?

Karena lawan politiknya:

1. Hanya menjual ketakutan "Indonesia Punah", "Indonesia Bubar" dan sejenisnya.

2. Pendukungnya gampang dihasut dengan "isu PKI" atau "kriminalisasi ulama" (padahal jumlah rakyat yang dikriminalisasi jauh lebih banyak dan kasusnya lebih nyata).

3. Sumber logistik mereka dari oligarki yang sama. Dari bisnis infrastruktur, tambang emas, batubara, dan kelapa sawit yang sama. 


Beberapa perubahan terbatas hanya pada penulisan kata menyesuaikan dengan Tata Bahasa Indonesia.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat!