Saturday 29 December 2018

‘Jaenudin’ Salah Adegan



Oleh: Agi Betha | Pegiat Media Sosial 

Memang hanya Jaenudin yang cocok acting begini. Membayangkan jika hal yg sama ini dilakukan oleh SBY, PS, bahkan bu Mega sekalipun, kok rasanya tak mungkin.

Tontonan menggelikan. Di batas lokasi yang sudah ditetapkan, semua anggota rombongan berhenti berjalan. Lalu Jaenudin membetulkan poni dan memberikan lambaian tangan kecil, tanda dirinya mulai berjalan sendirian ke arah bibir pantai, di mana awak media atau para kameraman telah menunggu.

Di lokasi berikutnya, juru kamera telah bergerombol siap mengabadikan. Jaenudin harus terlihat berjarak dan terpisah dari pengawalan. Yaitu agar gambar ia terlihat sendirian berefek amat dramatis jika dipandang dari sudut kamera yang pas.


Kesan lonelysomehow dapat memberikan kesan seseorang itu tengah merenung. Sosok itu seolah sedang berpikir keras. Atau tampak menahan sedih. Atau justru hendak memperlihatkan kekuatan dirinya saat sendirian di tengah alam sekitar nan ganas. Begitu banyak nuansa yang ingin dihadirkan pemotretnya untuk mengaduk-aduk emosi penonton.

Tapi sayangnya, kesan itu hanya efektif sekali. Sang sutradara lupa bahwa ketika SATU ADEGAN YANG SAMA selalu diulang-ulang di banyak kesempatan, di berbagai lokasi bencana, maka orang akan tahu bahwa itu adalah adegan yang direncanakan. Diskenariokan dengan matang. Polanya sama. Modusnya serupa. Dilakukan untuk kebutuhan pencitraan.

Jaenudin tidak salah, dia hanya lugu. Atau selalu menurut saja, akibat malas berpikir. Yang keliru adalah tim kreatif yang tidak memperbaharui story board. Mereka menuntut masyarakat untuk terus bereaksi sama, yaitu rasa penuh simpati kepada Jaenudin. Berharap kepada reaksi yang polos. Mereka terlanjur merendahkan daya analisis penonton yang cerdas.

Tim branding berharap adegan-adegan LONELY itu terus memanen LOVELY. Padahal teori umum mengatakan, sesuatu yang sifatnya repetitif justru membuat bosan. Mencipta muak. Maka tak heran seharian kemarin foto-foto dan rekaman video Jaenudin menjadi bulan-bulanan. Menuai banyak cemohan.

Tim Jaenudin tidak paham, bahwa manusia selalu menyukai ekspresi manusia lainnya. Tidak pernah bosan menyaksikan spontanitas. Jaenudin adalah pemimpin manusia hidup, maka ia harus mengutamakan berinteraksi kepada yang hidup.

Jadi ketika Tim Personal Image Jaenudin, dengan dibantu media-media pendukungnya, menyebarkan foto-foto bahwa ia lebih mementingkan berinteraksi dengan alam, maka selesailah semuanya.

Rakyat lebih menyukai emosi manusia hidup. Keadaan benda mati adalah segmen kedua, bukan di panggung utama. Rasa haru biru tidak akan muncul dari melihat pemandangan Jaenudin bersama bebatuan, atau karena melihat punggungnya yang menghadap lautan. Adegan-adegan seperti itu adalah level pak lurah, bukan kelas presiden.

Di tengah bencana besar, alam adalah cerita warna-warninya. Yang jadi pusat perhatian utama tetap korban manusianya. Nyawa dan cerita kehidupan di baliknya. Karena itu adegan menggenggam tangan para korban yang putus harapan, memeluk mereka yang melolong kesakitan, membisikkan asa ke telinga manusia yang butuh pertolongan, adalah headline.

Sebetulnya Jaenudin bisa menjadi setitik cahaya di tengah hamparan kesedihan, jika timnya pandai mengelola isu. Tapi faktor keikhlasan seseorang memang tidak bisa dibuat-buat, karena itu lahir dari martabat dan integritas yang melekat. Sedangkan pencitraan adalah kebiasaan yang bisa membuat ketagihan.

Jadi, agar tidak menjadi pergunjingan, tidak melukai hati rakyat, siapapun pemimpin harus selalu ingat bahwa menjadikan bencana sebagai objek pencitraan adalah bagai menambahkan bencana di atas bencana.


Salinan sesuai aslinya dengan perubahan telah dilakukan terbatas hanya pada penulisan kata dan tanda baca sesuai Tata Bahasa Indonesia.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat!