Penulis : Meilani dari Albury, New South Wales, Australia.
Sjafrie Sjamsoeddin Terlibat Kejahatan Perang di Timor Leste
oleh Philip Dorling
The Age and Sydney Morning Herald (12/3)
Amerika Serikat (AS) menuding salah seorang penasehat terdekat Presiden SBY terlibat dalam kejahatan perang di Timor Timur yang kini bernama Timor Leste. Hal ini terungkap dalam kawat diplomatik AS yang dibocorkan Wikileaks. Namun, Washington tetap merahasiakan alasan penolakan pemberian visa pada mantan Jenderal Angkatan Darat Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin, dimana SBY akhirnya menunjuk salah satu kawan dekatnya yang menjabat sebagai Deputi Menteri Pertahanan.
Pada September 2009, AS menahan penerbitan visa yang mengizinkan Sjamsoedin, mantan jenderal AD yang kemudian menjabat penasehat senior presiden, untuk menemani SBY menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi para pemimpin negara G20 di Pittsburgh, Pennsylvania. Sjamsoeddin ditolak Departemen Pertahanan AS (US Department of Homeland Security) karena adanya kecurigaan keterlibatannya dalam 'kegiatan teror' dan 'pembunuhan tanpa peradilan'.
Kawat Kedubes AS yang dibocorkan Wikileaks dan diberikan khusus pada The Saturday Age, menyebutkan bahwa Kedubes AS di Jakarta meminta dengan sangat agar Sjamsoeddin diijinkan masuk AS, karena dikhawatirkan penolakan tersebut akan mengganggu hubungan Jakarta-Washington.
"Kami melihat bahwa sebagai penasehat utama Presiden RI dan kemungkinan menjadi anggota kabinet, perjalanan Sjamsoeddin ke AS akan memfasilitasi dan mempererat hubungan AS-Indonesia," demikian alasan Kedubes AS di Jakarta. "Sjamsoeddin memberikan panduan dan konsultasi pada Presiden SBY tentang sejumlah isu penting bagi AS, seperti hubungan militer yang menjadi isu penting untuk menjamin stabilitas regional."
Tuduhan terhadap Sjamsoeddin berkaitan dengan jabatannya sebagai komandan pasukan khusus Indonesia di Timor Timur. Dia dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan massal di Santa Cruz yang merenggut nyawa lebih dari 250 demonstran pro-kemerdekaan pada 12 November 1991. Sjamsoeddin juga harus bertanggung jawab atas merebaknya kekerasan oleh tentara Indonesia di Dili setelah referendum kemerdekaan pada 30 Agustus 1999.
Sjamsoeddin telah mengeluarkan pernyataan pada Kedubes AS untuk membantah tuduhan tersebut. Dalam pernyataannya, Sjamsoeddin menyatakan bahwa dia memang berada di Santa Cruz saat terjadi pembunuhan massal, saat itu dia justru tengah membantu "sejumlah wartawan dari kemarahan pejabat Timor Timur (TNI) akibat pemberitaan yang menuduh keterlibatan mereka dalam gerakan bawah tanah".
Sjamsoeddin juga mengklaim bahwa dirinya sudah dinyatakan bersih oleh Komnas HAM Indonesia atas tuduhan keterlibatannya dalam tindak kekerasan yang terjadi di Dilli pada September 1999.
Bantahan Sjamsoeddin tersebut diterima Kedubes AS di Jakarta dengan alasan 'fakta lapangan' yang mengaitkan Sjamsoeddin dengan pelanggaran HAM tidak cukup untuk menolak penerbitan visa baginya. Akan tetapi, hal ini menimbulkan kritik tajam dari Kedubes AS di Dili karena dalam laporan hasil investigasi HAM PBB dan Timor Timur disebutkan bahwa Sjamsoeddin berulang kali memberikan perintah kepada tentara Indonesia untuk melakukan pembantaian.
"Sebagai Komandan Gugus Tugas Intelijen Kopassus, pada 1991, dia berada di lokasi pembunuhan massal Santa Cruz pada 12 November.... Klaim bahwa dia sedang menyelamatkan wartawan asing selama pembantaian tidak bisa dikonfirmasi," demikian laporan Kedubes AS di Dilli pada Washington.
"Sjamsoeddin kembali bertugas di Timor Leste pada 1999 pada saat dilakukan referendum kemerdekaan 30 Agustus. Berbagai investigasi terpisah menyatakan bahwa dia bertanggung jawab atas kejahatan pembantaian yang terjadi saat itu, dan menempatkannya sebagai pihak paling bertanggung jawab."
Terhadap pernyataan Sjamsoeddin tentang upayanya menyelamatkan wartawan asing, Kedubes merespon bahwa "Sejumlah wartawan asing yang ada di Dilli pada 12 November (1991) .... Seluruhnya berbicara secara terbuka atau melalui tulisan tentang pengalamannya. Tidak ada satupun wartawan yang mengatakan pernah diselamatkan seperti skenario yang diungkapkan Sjamsoeddin".
Kedubes AS di Dili menyimpulkan bahwa 'Sjafrie Sjamsoeddin sebagai pemegang komando tertinggi bertanggung jawab atas pembantaian yang terjadi pada 1991 dan 1999. Pembantaian tersebut tidak bisa disangkal lagi dan mengindikasikan tanggung jawab pribadi Sjamsoeddin". (OL-13)
Pada September 2009, AS menahan penerbitan visa yang mengizinkan Sjamsoedin, mantan jenderal AD yang kemudian menjabat penasehat senior presiden, untuk menemani SBY menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi para pemimpin negara G20 di Pittsburgh, Pennsylvania. Sjamsoeddin ditolak Departemen Pertahanan AS (US Department of Homeland Security) karena adanya kecurigaan keterlibatannya dalam 'kegiatan teror' dan 'pembunuhan tanpa peradilan'.
Kawat Kedubes AS yang dibocorkan Wikileaks dan diberikan khusus pada The Saturday Age, menyebutkan bahwa Kedubes AS di Jakarta meminta dengan sangat agar Sjamsoeddin diijinkan masuk AS, karena dikhawatirkan penolakan tersebut akan mengganggu hubungan Jakarta-Washington.
"Kami melihat bahwa sebagai penasehat utama Presiden RI dan kemungkinan menjadi anggota kabinet, perjalanan Sjamsoeddin ke AS akan memfasilitasi dan mempererat hubungan AS-Indonesia," demikian alasan Kedubes AS di Jakarta. "Sjamsoeddin memberikan panduan dan konsultasi pada Presiden SBY tentang sejumlah isu penting bagi AS, seperti hubungan militer yang menjadi isu penting untuk menjamin stabilitas regional."
Tuduhan terhadap Sjamsoeddin berkaitan dengan jabatannya sebagai komandan pasukan khusus Indonesia di Timor Timur. Dia dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan massal di Santa Cruz yang merenggut nyawa lebih dari 250 demonstran pro-kemerdekaan pada 12 November 1991. Sjamsoeddin juga harus bertanggung jawab atas merebaknya kekerasan oleh tentara Indonesia di Dili setelah referendum kemerdekaan pada 30 Agustus 1999.
Sjamsoeddin telah mengeluarkan pernyataan pada Kedubes AS untuk membantah tuduhan tersebut. Dalam pernyataannya, Sjamsoeddin menyatakan bahwa dia memang berada di Santa Cruz saat terjadi pembunuhan massal, saat itu dia justru tengah membantu "sejumlah wartawan dari kemarahan pejabat Timor Timur (TNI) akibat pemberitaan yang menuduh keterlibatan mereka dalam gerakan bawah tanah".
Sjamsoeddin juga mengklaim bahwa dirinya sudah dinyatakan bersih oleh Komnas HAM Indonesia atas tuduhan keterlibatannya dalam tindak kekerasan yang terjadi di Dilli pada September 1999.
Bantahan Sjamsoeddin tersebut diterima Kedubes AS di Jakarta dengan alasan 'fakta lapangan' yang mengaitkan Sjamsoeddin dengan pelanggaran HAM tidak cukup untuk menolak penerbitan visa baginya. Akan tetapi, hal ini menimbulkan kritik tajam dari Kedubes AS di Dili karena dalam laporan hasil investigasi HAM PBB dan Timor Timur disebutkan bahwa Sjamsoeddin berulang kali memberikan perintah kepada tentara Indonesia untuk melakukan pembantaian.
"Sebagai Komandan Gugus Tugas Intelijen Kopassus, pada 1991, dia berada di lokasi pembunuhan massal Santa Cruz pada 12 November.... Klaim bahwa dia sedang menyelamatkan wartawan asing selama pembantaian tidak bisa dikonfirmasi," demikian laporan Kedubes AS di Dilli pada Washington.
"Sjamsoeddin kembali bertugas di Timor Leste pada 1999 pada saat dilakukan referendum kemerdekaan 30 Agustus. Berbagai investigasi terpisah menyatakan bahwa dia bertanggung jawab atas kejahatan pembantaian yang terjadi saat itu, dan menempatkannya sebagai pihak paling bertanggung jawab."
Terhadap pernyataan Sjamsoeddin tentang upayanya menyelamatkan wartawan asing, Kedubes merespon bahwa "Sejumlah wartawan asing yang ada di Dilli pada 12 November (1991) .... Seluruhnya berbicara secara terbuka atau melalui tulisan tentang pengalamannya. Tidak ada satupun wartawan yang mengatakan pernah diselamatkan seperti skenario yang diungkapkan Sjamsoeddin".
Kedubes AS di Dili menyimpulkan bahwa 'Sjafrie Sjamsoeddin sebagai pemegang komando tertinggi bertanggung jawab atas pembantaian yang terjadi pada 1991 dan 1999. Pembantaian tersebut tidak bisa disangkal lagi dan mengindikasikan tanggung jawab pribadi Sjamsoeddin". (OL-13)
sumber: Media Indonesia
Edisi bahasa Inggris: US denied visa to Yudhoyono aide over alleged crimes
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat!