Penulis : Meilani dari Albury, New South Wales, Australia.
SELAIN di halaman utama dengan judul Yudhoyono 'abused power', The Age juga menampilkan ulasan yang bersumber dari bocoran WikiLeaks pada rubrik Focus di halaman 17 dengan judul Bambang thank-you ma'am. Berikut terjemahan asli berita yang panjangnya hampir satu halaman koran itu, seperti dilaporkan Meilani, kontributor Media Indonesia di Albury, New South Wales, Australia.
SBY Berterima Kasih pada Ibu Negara
PENYUAPAN, korupsi dan memperkaya diri sendiri: kawat rahasia Amerika Serikat mengungkap tuduhan serius atas penyalahgunaan wewenang oleh Presiden SBY dan istrinya Kristiani Herawati, laporan oleh Phillip Dorling.
Ketika SBY secara mengejutkan memenangkan Pemilu 2004, Amerika Serikat menyambutnya dengan menyatakannya sebagai "kemenangan yang mengagumkan dari seorang figur yang populer dan artikulatif atas rivalnya (incumbent presiden Megawati) yang memiliki kekuatan lebih besar dan dukungan dana melimpah serta jaringan yang luas."
Bahkan tiga tahun kemudian, diplomat AS di Jakarta membanggakan pemerintahan SBY atas komitmennya untuk memberantas terorisme.
Sesungguhnyalah, mantan jenderal angkatan darat dan menteri pertahanan ini berhasil menadapatkan dukungan internasional atas upayanya untuk memperkokoh tata kelola pemerintahan, melaksanakan reformasi ekonomi, dan memberantas kelompok miltan islam yang tergabung dalam Jamaah Islamiyah.
Namun, prestasi SBY tersebut nampaknya akan ditinjau ulang setelah kawat rahasia AS, yang bocor ke Wikileaks dan diserahkan ke The Age, mengungkap adanya penyalahgunaan wewenang yang mengiringi jalan menuju istana.
Menurut kawat diplomatik tersebut, SBY secara pribadi mempengaruhi jaksa dan hakim untuk melindungi tokoh-tokoh politik yang korup dan menjadikannya alat penekan. Dia juga dilaporkan menggunakan tenaga intelijen untuk memata-matai lawan-lawan politiknya dan, paling tidak sekali, menteri senior di dalam kabinetnya sendiri.
Mantan wakil SBY dilaporkan mengeluarkan jutaan dolar untuk mengontrol partai politik terbesar di Indonesia, sedangkan istri SBY dan keluarganya dituduh memperkaya diri sendiri melalui koneksi politiknya.
Namun demikian, laporan politik kedubes yang sebagian besar bersifat 'Rahasia/NoForn' --yang berarti hanya untuk mata Amerika-- menjelaskan meluasnya pengaruh politik uang di sekitar SBY, meskipun presiden sudah berkomitmen untuk memberantas korupsi.
Kawat Kedubes AS mengungkapkan bahwa salah satu langkah awal SBY adalah mengintervensi secara pribadi kasus Taufik Kiemas, suami dari mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Taufik dilaporkan menggunakan pengaruh atas PDIP untuk melindungi dari dakwaan yang disebut diplomat AS sebagai ''korupsi besar-besaran selama pemerintahan istrinya''.
Taufik dituduh, meskipun tidak pernah diadili, atas dugaan korupsi pada proyek infrastruktur besar yang dikerjakan tidak sesuai aturan. Dia dipercaya diuntungkan dari kesepakatan-kesepakatan proyek JORR senilai US$2,3 miliar, proyek rel ganda merak-banyuwangi senilai US$2,4 miliar, proyek trans Kalimantan senilai US$2,3 miliar, dan trans Papua senilai US$1,7 miliar.
Pada Desember 2004, Kedubes AS di Jakarta melaporkan bahwa salah seorang informan politik pentingnya, penasehat senior presiden TB Silalahi, telah menginformasikan bahwa Asisten Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang memimpin komisi antikorupsi yang baru dibentuk pemerintah, telah mengumpulkan 'bukti-bukti korupsi yang cukup untuk menangkap Taufik Kiemas'. Namun Silalahi, salah seorang rekan politik terdekat SBY, mengatakan bahwa Presiden ''secara pribadi telah menginstruksikan Hendarman untuk tidak melanjutkan kasus Taufik tersebut.''
Tidak ada tindakan hukum yang dikenakan pada Taufik, tokoh politik berpengaruh yang sekarang menjabat sebagai Ketua MPR, lembaga negara yang anggotanya termasuk anggota DPR.
Sementara SBY melindungi Taufik dari kejaksaan, wakilnya, Jusuf Kalla, dituduh mengeluarkan apa yg disebut Kedubes AS sebagai 'penyuapan besar-besaran' untuk memenangkan kursi Ketua Umum Partai Golkar, partai politik terbesar di Indonesia, pada kongres tahun 2004, dalam hal ini diplomat AS menyaksikannya langsung.
"Menurut beberapa sumber yang dekat dengan kandidat unggulan, tim sukses Kalla menawarkan pengurus cabang paling tidak Rp200juta untuk memilihnya", demikian laporan Kedubes AS.
"Pimpinan wilayah provinsi --yang memiliki hak suara yang sama tapi juga bisa mempengaruhi pengurus cabang di bawahnya-- menerima Rp500juta atau lebih. Menurut salah seorang kontak yang berpengalaman sebelumnya dalam hal seperti ini, delegasi menerima uang muka lebih dahulu…. dan akan menerima pembayaran penuh setelah kandidat berhasil memenangkan pemungutan suara dan dibayarkan tunai dalam hitungan jam setelah voting."
Diplomat AS melaporkan bahwa dengan memerlukan 243 suara untuk menang secara mayoritas, calon Ketua Umum Golkar harus menyediakan dana sebesar lebih dari US$6juta.
"Seorang sumber mengklaim bahwa (Ketua DPR Agung Laksono waktu itu) sendiri --tidak sekaya pendukung Kalla-- mengalokasikan (jika tidak dikeluarkan) Rp50 miliar (lebih dari US$5,5 juta) pada kongres tersebut".
Kawat Kedubes AS juga menuduh Sudi Silalahi, Seskab SBY, 'mengintimidasi' hakim pada kasus sengketa PKB tahun 2006, yang merupakan partai dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Menurut sumber Kedubes AS, kepada hakim tersebut, Sudi mengatakan "jika pengadilan membantu (Wahid), sama saja dengan membantu menyerang Pemerintah".
Intervensi dari tangan kanan SBY tersebut, dianggap gagal karena, menurut sumber-sumber Kedubes AS yang dekat dengan PKB dan pengacara yang terlibat pada kasus tersebut, pendukung Gus Dur membayar jaksa sebesar Rp3 miliar (sekitar US$322 ribu) untuk menyuap agar keputusan hakim memenangkan PKB Gus Dur. Di luar kegagalan tersebut, secara strategis tujuan SBY telah tercapai, karena berhasil menjadi tekanan eksternal pada posisi Gus Dur sehingga mampu memaksa PKB untuk mendukung pemerintahannya.
Laporan Kedubes AS lainnya mengindikasikan bahwa SBY menggunakan BIN untuk memata-matai baik kawan maupun lawan politiknya. SBY juga dilaporkan memakai jasa BIN untuk memata-matai bakal calon presiden lainnya.
Praktek tersebut dimulai sejak SBY bertugas sebagai Menko Polkam pada masa pemerintahan Presiden Megawati. Dia memerintahkan intelijen untuk melaporkan hal-hal berkenaan dengan Panglima TNI dan calon presiden dari Golkar yaitu Wiranto. Pada sebuah rapat kabinet, Ketua BIN Syamsir Siregar menyebut Wiranto sebagai 'dalang teroris'.
Berdasarkan informasi dari orang-orangnya sendiri, Wiranto mengetahui bahwa dia menjadi objek 'pelecehan' dalam laporan BIN, namun ketika dia mengeluhkannya, dia diberitahu oleh penasehat presiden, TB Silalahi, bahwa laporan tersebut tidak ada.
Kawat Kedubes AS yang bocor tersebut tidak memperlihatkan secara jelas keterlibatan SBY dalam kasus korupsi. Tetapi, diplomat AS melaporkan bahwa pada tahun 2006, ketika bertemu Ketum Partai Demokrat, SBY "hingga saat itu menyesali kegagalannya membangun bisnis untuk dirinya sendiri", dan nampaknya merasa "dia perlu mengejarnya".....(dan) "menginginkan warisan yang cukup untuk anak-anaknya".
Diplomat AS mencatat adanya dugaan hubungan antara SBY dan Tomy Winata, yang diduga menjadi anggota sindikat judi terkemuka yaitu 'geng 9' atau 'sembilan naga'.
Pada 2006, Agung Laksono, yang sekarang menjabat Menko Kesra, mengatakan pada pegawai Kedubes AS bahwa TB Silalahi "berfungsi sebagai perantara, yang membawa dana dari Tomy Winata ke SBY, agar presiden tidak berhubungan langsung dengan Tomy Winata."
Tomy Winata juga dilaporkan menggunakan jasa Mohamad Lutfi sebagai saluran dana ke SBY. SBY menunjuk Luthfi sebagai Kepala BKPM. Senior intel Yahya Asagaf juga memberitahu Kedubes AS bahwa Tomy Winata mencoba membangun pengaruhnya dengan memanfaatkan ajudan presiden untuk mendekati Ibu Negara Kristiani Herawati.
Kristiani Herawati dan keluarganya juga menjadi topik menarik dalam laporan tersebut, Diplomat AS menekankan upaya keluarga presiden "khususnya Ibu Negara Kristiani Herawati..., untuk mendapatkan keuntungan finansial dari posisi politiknya."
Pada Juni 2006, salah seorang staf presiden memberitahu staf Kedubes AS bahwa anggota keluarga Kristiani "sangat menginginkan keuntungan finansial dari badan-badan usaha milik negara". Keinginan ini dilaksanakan dengan sangat rapi, "dimana pelaksana utamanya adalah staf-staf terdekat (seperti Sudi Silalahi), sementara SBY tetap menjaga jarak hingga tidak terkena akibatnya".
Kedubes AS menggambarkan pengaruh Kristiani di balik layar ini sebagai 'kabinet nomor satu' dan 'penasehat utama Presiden yang tidak bisa dibantah'.
Kedubes juga melaporkan: "penasehat presiden TB Silalahi mengatakan pada (staf kedubes AS) bahwa staf presiden mulai merasa terpinggirkan dan tidak punya kekuatan untuk memberikan konsultasi pada Presiden". Anggota BIN Yahya Asagaf secara pribadi mengatakan pendapat ibu negara "menjadi satu-satunya hal penting".
Sejalan dengan itu, diplomat AS juga mengindikasikan peran utama Kristiani yang mendorong SBY mengambil keputusan untuk tidak menjadikan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai pasangannya dalam Pemilu 2009.
Bersama Gubernur Bank Indonesia Boediono, SBY meraih kemenangan sebagai presiden periode 2009-2014. SBY berhasil meraup 60% suara, mengalahkan mantan Presiden Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto, dan Wapres Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto.
Pada Januari 2010, Kedubes AS mengamati: "Sepuluh tahun reformasi politik dan ekonomi telah menjadikan Indonesia demokratis, stabil, dan semakin percaya diri sebagai pemimpin negara-negara Asia Tenggara dan dunia Islam. Indonesia telah menjalankan pemilu dengan sukses, bebas, dan adil; mengatasi krisis keuangan global; dan menangani ancaman keamanan internal."
Akan tetapi, diplomat AS mencatat, serangkaian skandal politik yang terjadi sejak akhir 2009 hingga 2010, sangat merusak posisi politik SBY. Pertentangan antara Kepolisian RI dan KPK telah merusak citra pemberantasan korupsi di Indonesia, ditambah lagi dengan pertanyaan DPR seputar kasus Bank Century yang mengaitkannya dengan kinerja Wapres Boediono yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur BI.
Salah satu LSM antikorupsi yang cukup berpengaruh, kepada Kedubes AS mengatakan, bahwa berdasarkan sumber yang bisa dipercaya, dana dari Bank Century telah digunakan untuk membiayai kampanye Pemilu SBY.
Mantan Wapres Jusuf Kalla, sangat tidak setuju dengan bailout tersebut dan menuding Bank Indonesia yang saat itu dipimpin Boediono, telah gagal melakukan fungsi pengawasan terhadap Bank Century.
Menurut Kalla, Bank Century seharusnya ditutup karena dianggap gagal mengelola dananya. Kegagalan tersebut diakibatkan oleh kecurangan pemegang saham besar.
Latar belakang ini, yang menurut Kedubes AS, menjadikan SBY semakin 'lumpuh', dimana popularitas politiknya menurun drastis.
"SBY dianggap memperlambat proses reformasi karena enggan untuk mengambil risiko berseberangan dengan DPR, media, birokrasi, dan masyarakat sipil. Dia juga enggan untuk menerobos peraturan-peraturan sebelum dia merasa posisinya kuat, SBY tidak akan melepas modal politiknya untuk menjalankan agenda reformasi".
Selama tiga belas tahun terakhir demokrasi di Indonesia semakin kokoh. Kediktatoran Suharto telah digantikan oleh sistem politik yang kompetitif yang tercermin dari perdebatan yang sengit dan kebebasan pers.
Akan tetapi, menurut laporan tersebut, di balik kesuksesan pemerintahan SBY, sebagian kebiasaan buruk dan korup era Suharto masih mewarnai politik kepresidenan di Indonesia. (X-13)
PENYUAPAN, korupsi dan memperkaya diri sendiri: kawat rahasia Amerika Serikat mengungkap tuduhan serius atas penyalahgunaan wewenang oleh Presiden SBY dan istrinya Kristiani Herawati, laporan oleh Phillip Dorling.
Ketika SBY secara mengejutkan memenangkan Pemilu 2004, Amerika Serikat menyambutnya dengan menyatakannya sebagai "kemenangan yang mengagumkan dari seorang figur yang populer dan artikulatif atas rivalnya (incumbent presiden Megawati) yang memiliki kekuatan lebih besar dan dukungan dana melimpah serta jaringan yang luas."
Bahkan tiga tahun kemudian, diplomat AS di Jakarta membanggakan pemerintahan SBY atas komitmennya untuk memberantas terorisme.
Sesungguhnyalah, mantan jenderal angkatan darat dan menteri pertahanan ini berhasil menadapatkan dukungan internasional atas upayanya untuk memperkokoh tata kelola pemerintahan, melaksanakan reformasi ekonomi, dan memberantas kelompok miltan islam yang tergabung dalam Jamaah Islamiyah.
Namun, prestasi SBY tersebut nampaknya akan ditinjau ulang setelah kawat rahasia AS, yang bocor ke Wikileaks dan diserahkan ke The Age, mengungkap adanya penyalahgunaan wewenang yang mengiringi jalan menuju istana.
Menurut kawat diplomatik tersebut, SBY secara pribadi mempengaruhi jaksa dan hakim untuk melindungi tokoh-tokoh politik yang korup dan menjadikannya alat penekan. Dia juga dilaporkan menggunakan tenaga intelijen untuk memata-matai lawan-lawan politiknya dan, paling tidak sekali, menteri senior di dalam kabinetnya sendiri.
Mantan wakil SBY dilaporkan mengeluarkan jutaan dolar untuk mengontrol partai politik terbesar di Indonesia, sedangkan istri SBY dan keluarganya dituduh memperkaya diri sendiri melalui koneksi politiknya.
Namun demikian, laporan politik kedubes yang sebagian besar bersifat 'Rahasia/NoForn' --yang berarti hanya untuk mata Amerika-- menjelaskan meluasnya pengaruh politik uang di sekitar SBY, meskipun presiden sudah berkomitmen untuk memberantas korupsi.
Kawat Kedubes AS mengungkapkan bahwa salah satu langkah awal SBY adalah mengintervensi secara pribadi kasus Taufik Kiemas, suami dari mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Taufik dilaporkan menggunakan pengaruh atas PDIP untuk melindungi dari dakwaan yang disebut diplomat AS sebagai ''korupsi besar-besaran selama pemerintahan istrinya''.
Taufik dituduh, meskipun tidak pernah diadili, atas dugaan korupsi pada proyek infrastruktur besar yang dikerjakan tidak sesuai aturan. Dia dipercaya diuntungkan dari kesepakatan-kesepakatan proyek JORR senilai US$2,3 miliar, proyek rel ganda merak-banyuwangi senilai US$2,4 miliar, proyek trans Kalimantan senilai US$2,3 miliar, dan trans Papua senilai US$1,7 miliar.
Pada Desember 2004, Kedubes AS di Jakarta melaporkan bahwa salah seorang informan politik pentingnya, penasehat senior presiden TB Silalahi, telah menginformasikan bahwa Asisten Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang memimpin komisi antikorupsi yang baru dibentuk pemerintah, telah mengumpulkan 'bukti-bukti korupsi yang cukup untuk menangkap Taufik Kiemas'. Namun Silalahi, salah seorang rekan politik terdekat SBY, mengatakan bahwa Presiden ''secara pribadi telah menginstruksikan Hendarman untuk tidak melanjutkan kasus Taufik tersebut.''
Tidak ada tindakan hukum yang dikenakan pada Taufik, tokoh politik berpengaruh yang sekarang menjabat sebagai Ketua MPR, lembaga negara yang anggotanya termasuk anggota DPR.
Sementara SBY melindungi Taufik dari kejaksaan, wakilnya, Jusuf Kalla, dituduh mengeluarkan apa yg disebut Kedubes AS sebagai 'penyuapan besar-besaran' untuk memenangkan kursi Ketua Umum Partai Golkar, partai politik terbesar di Indonesia, pada kongres tahun 2004, dalam hal ini diplomat AS menyaksikannya langsung.
"Menurut beberapa sumber yang dekat dengan kandidat unggulan, tim sukses Kalla menawarkan pengurus cabang paling tidak Rp200juta untuk memilihnya", demikian laporan Kedubes AS.
"Pimpinan wilayah provinsi --yang memiliki hak suara yang sama tapi juga bisa mempengaruhi pengurus cabang di bawahnya-- menerima Rp500juta atau lebih. Menurut salah seorang kontak yang berpengalaman sebelumnya dalam hal seperti ini, delegasi menerima uang muka lebih dahulu…. dan akan menerima pembayaran penuh setelah kandidat berhasil memenangkan pemungutan suara dan dibayarkan tunai dalam hitungan jam setelah voting."
Diplomat AS melaporkan bahwa dengan memerlukan 243 suara untuk menang secara mayoritas, calon Ketua Umum Golkar harus menyediakan dana sebesar lebih dari US$6juta.
"Seorang sumber mengklaim bahwa (Ketua DPR Agung Laksono waktu itu) sendiri --tidak sekaya pendukung Kalla-- mengalokasikan (jika tidak dikeluarkan) Rp50 miliar (lebih dari US$5,5 juta) pada kongres tersebut".
Kawat Kedubes AS juga menuduh Sudi Silalahi, Seskab SBY, 'mengintimidasi' hakim pada kasus sengketa PKB tahun 2006, yang merupakan partai dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Menurut sumber Kedubes AS, kepada hakim tersebut, Sudi mengatakan "jika pengadilan membantu (Wahid), sama saja dengan membantu menyerang Pemerintah".
Intervensi dari tangan kanan SBY tersebut, dianggap gagal karena, menurut sumber-sumber Kedubes AS yang dekat dengan PKB dan pengacara yang terlibat pada kasus tersebut, pendukung Gus Dur membayar jaksa sebesar Rp3 miliar (sekitar US$322 ribu) untuk menyuap agar keputusan hakim memenangkan PKB Gus Dur. Di luar kegagalan tersebut, secara strategis tujuan SBY telah tercapai, karena berhasil menjadi tekanan eksternal pada posisi Gus Dur sehingga mampu memaksa PKB untuk mendukung pemerintahannya.
Laporan Kedubes AS lainnya mengindikasikan bahwa SBY menggunakan BIN untuk memata-matai baik kawan maupun lawan politiknya. SBY juga dilaporkan memakai jasa BIN untuk memata-matai bakal calon presiden lainnya.
Praktek tersebut dimulai sejak SBY bertugas sebagai Menko Polkam pada masa pemerintahan Presiden Megawati. Dia memerintahkan intelijen untuk melaporkan hal-hal berkenaan dengan Panglima TNI dan calon presiden dari Golkar yaitu Wiranto. Pada sebuah rapat kabinet, Ketua BIN Syamsir Siregar menyebut Wiranto sebagai 'dalang teroris'.
Berdasarkan informasi dari orang-orangnya sendiri, Wiranto mengetahui bahwa dia menjadi objek 'pelecehan' dalam laporan BIN, namun ketika dia mengeluhkannya, dia diberitahu oleh penasehat presiden, TB Silalahi, bahwa laporan tersebut tidak ada.
Kawat Kedubes AS yang bocor tersebut tidak memperlihatkan secara jelas keterlibatan SBY dalam kasus korupsi. Tetapi, diplomat AS melaporkan bahwa pada tahun 2006, ketika bertemu Ketum Partai Demokrat, SBY "hingga saat itu menyesali kegagalannya membangun bisnis untuk dirinya sendiri", dan nampaknya merasa "dia perlu mengejarnya".....(dan) "menginginkan warisan yang cukup untuk anak-anaknya".
Diplomat AS mencatat adanya dugaan hubungan antara SBY dan Tomy Winata, yang diduga menjadi anggota sindikat judi terkemuka yaitu 'geng 9' atau 'sembilan naga'.
Pada 2006, Agung Laksono, yang sekarang menjabat Menko Kesra, mengatakan pada pegawai Kedubes AS bahwa TB Silalahi "berfungsi sebagai perantara, yang membawa dana dari Tomy Winata ke SBY, agar presiden tidak berhubungan langsung dengan Tomy Winata."
Tomy Winata juga dilaporkan menggunakan jasa Mohamad Lutfi sebagai saluran dana ke SBY. SBY menunjuk Luthfi sebagai Kepala BKPM. Senior intel Yahya Asagaf juga memberitahu Kedubes AS bahwa Tomy Winata mencoba membangun pengaruhnya dengan memanfaatkan ajudan presiden untuk mendekati Ibu Negara Kristiani Herawati.
Kristiani Herawati dan keluarganya juga menjadi topik menarik dalam laporan tersebut, Diplomat AS menekankan upaya keluarga presiden "khususnya Ibu Negara Kristiani Herawati..., untuk mendapatkan keuntungan finansial dari posisi politiknya."
Pada Juni 2006, salah seorang staf presiden memberitahu staf Kedubes AS bahwa anggota keluarga Kristiani "sangat menginginkan keuntungan finansial dari badan-badan usaha milik negara". Keinginan ini dilaksanakan dengan sangat rapi, "dimana pelaksana utamanya adalah staf-staf terdekat (seperti Sudi Silalahi), sementara SBY tetap menjaga jarak hingga tidak terkena akibatnya".
Kedubes AS menggambarkan pengaruh Kristiani di balik layar ini sebagai 'kabinet nomor satu' dan 'penasehat utama Presiden yang tidak bisa dibantah'.
Kedubes juga melaporkan: "penasehat presiden TB Silalahi mengatakan pada (staf kedubes AS) bahwa staf presiden mulai merasa terpinggirkan dan tidak punya kekuatan untuk memberikan konsultasi pada Presiden". Anggota BIN Yahya Asagaf secara pribadi mengatakan pendapat ibu negara "menjadi satu-satunya hal penting".
Sejalan dengan itu, diplomat AS juga mengindikasikan peran utama Kristiani yang mendorong SBY mengambil keputusan untuk tidak menjadikan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai pasangannya dalam Pemilu 2009.
Bersama Gubernur Bank Indonesia Boediono, SBY meraih kemenangan sebagai presiden periode 2009-2014. SBY berhasil meraup 60% suara, mengalahkan mantan Presiden Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto, dan Wapres Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto.
Pada Januari 2010, Kedubes AS mengamati: "Sepuluh tahun reformasi politik dan ekonomi telah menjadikan Indonesia demokratis, stabil, dan semakin percaya diri sebagai pemimpin negara-negara Asia Tenggara dan dunia Islam. Indonesia telah menjalankan pemilu dengan sukses, bebas, dan adil; mengatasi krisis keuangan global; dan menangani ancaman keamanan internal."
Akan tetapi, diplomat AS mencatat, serangkaian skandal politik yang terjadi sejak akhir 2009 hingga 2010, sangat merusak posisi politik SBY. Pertentangan antara Kepolisian RI dan KPK telah merusak citra pemberantasan korupsi di Indonesia, ditambah lagi dengan pertanyaan DPR seputar kasus Bank Century yang mengaitkannya dengan kinerja Wapres Boediono yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur BI.
Salah satu LSM antikorupsi yang cukup berpengaruh, kepada Kedubes AS mengatakan, bahwa berdasarkan sumber yang bisa dipercaya, dana dari Bank Century telah digunakan untuk membiayai kampanye Pemilu SBY.
Mantan Wapres Jusuf Kalla, sangat tidak setuju dengan bailout tersebut dan menuding Bank Indonesia yang saat itu dipimpin Boediono, telah gagal melakukan fungsi pengawasan terhadap Bank Century.
Menurut Kalla, Bank Century seharusnya ditutup karena dianggap gagal mengelola dananya. Kegagalan tersebut diakibatkan oleh kecurangan pemegang saham besar.
Latar belakang ini, yang menurut Kedubes AS, menjadikan SBY semakin 'lumpuh', dimana popularitas politiknya menurun drastis.
"SBY dianggap memperlambat proses reformasi karena enggan untuk mengambil risiko berseberangan dengan DPR, media, birokrasi, dan masyarakat sipil. Dia juga enggan untuk menerobos peraturan-peraturan sebelum dia merasa posisinya kuat, SBY tidak akan melepas modal politiknya untuk menjalankan agenda reformasi".
Selama tiga belas tahun terakhir demokrasi di Indonesia semakin kokoh. Kediktatoran Suharto telah digantikan oleh sistem politik yang kompetitif yang tercermin dari perdebatan yang sengit dan kebebasan pers.
Akan tetapi, menurut laporan tersebut, di balik kesuksesan pemerintahan SBY, sebagian kebiasaan buruk dan korup era Suharto masih mewarnai politik kepresidenan di Indonesia. (X-13)
sumber: Media Indonesia
Edisi bahasa Inggris: Allegations of fear and favours persist
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat!