Saturday, 17 July 2010

Revolusi atau Tenggelam!

SUB JUDUL:

1. Pengantar.

2. Revolusi Indonesia.

3. Mengapa Harus Revolusi?

4. Pro Kontra Revolusi di Indonesia.

5. Demokrasi Semu Akibat UUD Amandemen Keempat.

6. Pemilu 2014 yang akan sia-sia!

7. Koreksi Atas Peristiwa Aksi 1998.

8. Sekilas Tentang Skandal Bank Century

9. Skenario Revolusi.

- Dekrit Rakyat Kembali ke UUD 1945 (yang asli).

- Pernyataan Rakyat untuk Setia pada Landasan Ideologi Pancasila

- Pembentukan MPRS sebagai Penjelmaan Kedaulatan Rakyat.

- Sidang MPRS untuk Menetapkan Presidium Nasional.

- Presidium bersama membentuk Kelengkapan Kenegaraan.

- Sidang MPRS Menetapkan Komisi Amandemen UUD 1945.

- Presidium Mengangkat Panglima ABRI (sesuai pasal 10 UUD 1945).

- Sidang Presidium untuk Membentuk Kabinet Kementerian Sementara.

- Rekonsiliasi Nasional

- Presidium bersama MPRS menetapkan jadwal pemilu.

10. Ucapan Terima Kasih.

1. Pengantar

Tulisan ringkas ini sama sekali tidak membahas teori revolusi atau definisi revolusi dalam arti luas.

Revolusi yang dimaksud dalam tulisan ini tidak lain adalah revolusi ketatanegaraan. Revolusi adalah sebuah perubahan cepat dan fundamental terhadap tatanan ketatanegaraan yang telah usang dan terbukti tidak bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.

Dengan begitu, revolusi bermaksud mengubah tatanan yang telah lama berlaku dengan tatanan yang baru. Singkatnya, kalimat subtantif dalam revolusi adalah "GANTI REZIM-GANTI SISTIM".

Revolusi dengan GANTI REZIM-GANTI SISTIM harus dilakukan secara bersamaan. Revolusi dengan mengganti rezim tanpa mengganti sistim adalah sia-sia belaka. Siapa pun rezim penguasa, tidak mungkin bisa mewujudkan keinginan rakyat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bila sistim yang digunakan masih sistim lama yang telah terbukti gagal pada masa sebelumnya. Sebaliknya, revolusi untuk mengganti sistim sangat mustahil terwujud bila tanpa mengganti rezim. Sebuah rezim STATUS QUO tidak mungkin akan rela mengganti sistim yang telah melanggengkan kekuasaan mereka.

2. Revolusi Indonesia

Di mana-mana, revolusi memiliki jangkauan harapan dan cita-cita yang sangat jauh, yakni menjadikan kedaulatan rakyat sebagai aturan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Dalam konteks Indonesia, sebuah revolusi sekarang ini bertujuan untuk mewujudkan Indonesia Baru. Di dalam era Indonesia Baru itulah, Insya Allah, akan tercapai masyarakat adil makmur yang telah lama dicita-citakan.

Revolusi ini tidak mesti berlangsung dengan bersimbah darah. Itu mungkin pernah terjadi terjadi di tempat lain. Tapi di Indonesia, revolusi bisa sedamai 17 Agustus 1945 ketika pejuang Indonesia yang patriotik mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Bisa sedamai 1967, saat Soeharto menggantikan Soekarno sebagai Presiden RI. Ketika hampir 2 juta rakyat Indonesia dibantai tanpa melalui pengadilan sepanjang 1966-1968, itu bukanlah akibat revolusi, melainkan karena kebrutalan para begundal rezim Orde Baru. Revolusi juga bisa sedamai 1998. Meskipun itu sebenarnya bukan skenario revolusi, tapi pengalihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie bisa berlangsung dengan damai.

3. Mengapa Harus Revolusi?

NKRI diibaratkan sebuah kapal besar yang berlayar dari pelabuhan Proklamasi 1945. Berlayar untuk mencapai cita-cita mewujudkan masyarakat adil makmur, sejahtera lahir batin dan menjadi bangsa besar yang disegani di dunia.

Tidak akan ada yang bisa membantah bahwa Indonesia adalah bangsa pejuang di samping Aljazair dan Vietnam. Bangsa pejuang yang bercita-cita membebaskan tanah airnya dari cengkeraman panjajah dan melepaskan diri dari penderitaan akibat penjajahan itu. Cita-cita tersebut akhirnya terwujud dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.

Dalam perjalanan lebih dari 60 tahun kemerdekaan Indonesia, telah banyak gelombang badai yang menerjang. Mulai dari pemberontakan PKI 1948, Agresi Militer I dan II oleh NICA, Peristiwa Pemberontakan G30S, kekuasaan Orde Baru yang represif, Skandal Korupsi Bank Duta dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), Krisis Moneter 1998, Kasus BLBI, Skandal Bank Century hingga kasus mafia peradilan dan perpajakan saat ini.

Sebuah kerikil tajam saja dalam sepatu sudah sangat mengganggu derap langkah seseorang. Sebuah batu karang saja bisa membahayakan keselamatan pelayaran kapal besar yang di dalamnya adalah seluruh rakyat Indonesia beserta kekayaan tanah air. Indonesia sedang terancam karam. Kapal bocor, angin kencang, ombak tinggi, layar terkoyak, baling-baling macet, gelap gulita, ikan hiu berkerumun, petir menyambar dan penumpang kehausan.

Dalam kondisi seperti itu, diperlukan seorang nahkoda yang cakap, mampu bertindak cepat dan berani mengambil keputusan.

Dalam realitas, sangat tidak mungkin diharapkan sebuah perubahan ke arah perbaikan dari rezim yang masih melanjutkan tatanan sistim tradisi orde baru; tradisi yang telah terbukti gagal membawa kesejahteraan untuk rakyat secara adil dan merata. Mereka mengaku sebagai pemimpin orde reformasi, tetapi sistim yang diterapkan tidak lebih baik daripada sistim orde baru. Dalam pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto masih sempat dicurahkan perhatian pada pemberdayaan pembangunan koperasi. Sedangkan pemerintahan sekarang justru telah menerapkan sepenuhnya praktik neo-liberalisme/kapitalisme, dan tampak nyata sebagai pendukung era neo-kolonialisme/imperialisme. Akibatnya kehidupan rakyat banyak tidak menjadi lebih baik. Bahkan korupsi sebagai efek dari kolusi semakin menjadi-jadi.

Mustahil diharapkan dari rezim neo-liberalisme/kapitalisme yang mendukung praktik neo-kolonialisme/imperialisme untuk berbicara tentang kemakmuran bersama. Tidak mungkin mereka berbicara tentang kesejahteraan masyarakat Papua, sedangkan kontrak tambang emas kepada perusahaan asing PT Freeport diperpanjang, dan terus akan diperpanjang. Mustahil pula rakyat Indonesia akan dapat membeli migas dengan harga murah, sedangkan semua sumber daya energi dan mineral telah digadaikan kepada perusahaan asing.

Di tempat asalnya, Amerika Serikat dan Eropa Barat, praktik liberalisme dan kapitalisme sudah memusnahkan satu ras manusia, yakni suku Indian. Sistim liberalisme/kapitalisme, yang pada dasarnya merupakan wujud kolonialisme/imperialisme atau penjajahan, dibawa oleh kaum berjouis ke tanah ekspansi, daratan Amerika pada abad ke-16. Di tanah baru itu mereka merampas hak-hak kaum pribumi atas kepemilikan tanah. Mereka melakukan penindasan yang luar biasa kejam yang berakibat hilangnya sebuah satu komunitas peradaban di muka bumi ini.

Pada era sekarang, kaum borjouis asing tersebut mencoba menguasai Indonesia. Melalui kekuasaan rezim neo-orde baru, mereka menancapkan cakarnya di Indonesia. Kemudian terbukti hampir seluruh aset Indonesia sudah menjadi milik perusahaan-perusahaan asing. Keserakahan pemodal asing dan tidak adanya jiwa nasionalisme para pemimpin Indonesia telah menjadikan akar kebudayaan pribumi tercabut dari tanahnya sendiri. Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika pun mulai dilupakan.

Oleh karena rakyat Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri, maka semua kebutuhan menjadi mahal. Akses pendidikan makin sulit. Angka pengangguran meningkat. Kesenjangan antara si kaya dan miskin kian semakin lebar. Ongkos transportasi semakin tinggi. Biaya kesehatan yang semakin tidak terjangkau bagi masyarakat kelas bawah. Masih banyak lagi dampak negatif yang diakibatkan masuknya Indonesia ke alam neo-liberalisme dan kapitalisme serta era kolonialisme/imperialisme. Ketidakmampuan memperbaiki kerusakan infrastruktur, utang luar negeri yang tak kunjung lunas alih-alih justru makin membengkak karena bunga uang yang mencekik leher. Belum lagi terhapusnya hak-hak asal-usul/daerah-daerah yang bersifat istimewa, seperti yang tercantum dalam pasal 18 UUD 1945 (yang asli). Juga kerusakan hutan dan hampir punahnya beberapa spesies flora-fauna, dan seterusnya dampak negatif yang akan terus menyusul akibat politik salah urus.

4. Pro Kontra Revolusi di Indonesia

Tidak semua orang setuju revolusi. Mereka yang setuju revolusi adalah sekelompok orang mengerti keadaan bahwa situasi buruk sedang mengancam keselamatan mereka, bahkan mengancam keselamatan bangsa dan negara.

Mereka yang tidak setuju adalah kaki tangan penguasa yang telah memerintah dengan sewenang-wenang. Juga mereka yang mendapatkan keuntungan dari berlangsungnya pemerintahan yang sedang berjalan atau bisa disebut status quo. Selain itu, yang mungkin saja tidak setuju revolusi adalah kelompok masyarakat yang tidak menyadari tentang situasi yang dialami, karena keterbatasan daya pikir dan pengetahuan.

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, tidak semua setuju revolusi atau merebut kemerdekaan. Mereka yang tidak setuju adalah sekelompok yang menjadi antek penjajah. Bahkan pada mulanya, Soekarno-Hatta tidak setuju revolusi karena percaya bahwa Jepang akan membantu kemerdekaan Indonesia. Tapi Sjahrir lain lagi, karena sering mendengar radio, maka Sjahrir tahu bahwa Jepang telah kalah perang melawan sekutu. Kemudian Sjahrir mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Soekarno dan Hatta tidak mau. Sehingga tercatat dalam sejarah, para pemuda revolusioner menculik Soekarno dan Hatta untuk dibawa ke Rengasdengklok, dan memaksa Soekarno-Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Sejarah juga mencatat bahwa sebuah revolusi memerlukan tekad dan keberanian. Hanya menandatangani naskah teks proklamasi saja, tidak semua orang berani. Tetapi ketika kemerdekaan Indonesia berhasil direbut, maka tidak seorangpun yang akan menolak kenyataan itu. Bahkan seluruh rakyat Indonesia berjuang bersama untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut. Revolusi untuk menggantikan rezim neo-Orde Baru yang berfaham neo-liberalisme/kapitalisme serta pendukung era neo-kolonialisme/imperialisme ini pun memerlukan kemauan kuat dan keberanian yang membaja. Revolusi ini akan mengalami banyak kendala terutama tindakan represif aparat penguasa. Tetapi bila revolusi ini berhasil, maka tidak seorangpun yang akan bisa mencegahnya. Bahkan tidak akan ada satu pun polisi dan tentara yang akan menembakkan sebutir peluru dalam aksi massa. Sebab pada hakikatnya, mereka juga adalah bagian dari rakyat Indonesia, yang juga sedang menunggu perbaikan nasib. Para pemuda revolusioner harus berani beraksi merebut gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat. Gedung MPR itu adalah rumah rakyat. Di gedung itulah kedaulatan rakyat akan diwujudkan secara nyata. Bukan diwujudkan sebagai panggung sandiwara para badut politik.

5. Demokrasi Semu Akibat UUD Amandemen Keempat

Demokrasi tanpa sampai kepada tujuan kesejahteraan rakyat adalah semu belaka dan penuh kebohongan. Demokrasi sebagai cermin kedaulatan rakyat seharusnya mampu membawa rakyat Indonesia hidup dengan adil dan makmur, sejahtera lahir batin serta menjadi bangsa yang sejajar dan terhormat di antara bangsa-bangsa di dunia.

Demokrasi semu atau demokrasi penuh kebohongan yang dianut Indonesia saat ini adalah akibat berlandaskan UUD Amandemen Keempat atau UUD 2002. Amandemen atas UUD 1945 tersebut telah dibuat secara asal-asalan yang dipelopori oleh tokoh Ciganjur 1998, yakni Amien Rais sebagai Ketua MPR saat itu dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR. Akbar Tanjung adalah "pengkhianat" Soeharto atau Orde Baru yang mencoba membersihkan dosa dengan berpura-pura sebagai pendukung Orde Reformasi. Amien Rais, bersama Akbar Tanjung telah "mengambil di tikungan" dengan memanfaatkan gerakan mahasiswa dan rakyat pada 1998. Kenyataannya, mereka tidak pernah punya kontribusi berarti dalam penjatuhan tirani Soeharto.

Keberhasilan mereka mengubah UUD 1945 menjadi UUD 2002 sebagai konstitusi baru telah menimbulkan "kecelakaan". Mereka sekadar ingin menunjukkan bahwa kepemimpinan mereka telah dimulai dengan mereformasi konstitusi. Padahal amandemen itu sama sekali tidak mencerminkan kehendak rakyat. Amandemen tersebut telah dibuat secara asal-asalan, tumpang tindih dan tanpa tujuan jelas. Mereka hanya ingin menandai bahwa era Soeharto telah berakhir, tetapi sebenarnya sistim Orde Baru tidak berubah. Sistim penyelenggaraan negara model Soeharto masih diterapkan oleh semua presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca Soeharto dalam berbagai kebijakan negara, terutama bidang ekonomi dan keuangan. UUD 2002 juga semakin memberi peluang masuknya praktik-praktik sistim neo-liberalisme/kapitalisme dan era neo-kolonialisme/imperalisme.

6. Pemilu 2014 yang akan sia-sia!

Kalau sistim Pemilu 2004 terutama Pemilu 2009 akan digunakan lagi dan terus akan digunakan, maka dipastikan tidak akan pernah menghasilkan orang-orang pembaru yang berkualitas dan orang-orang yang berpihak kepada rakyat.

Pemilu 2014 sudah bisa ditebak, pasti akan dikendalikan oleh para konglomerat yang akan mengambil manfaat dari anggota badan legislatif dan pasangan kepala pemerintahan terpilih. Faham neo-liberalisme/kapitalisme dan neo-kolonialisme/imperialisme akan terus berlanjut dan dilanjutkan.

Para konglomerat kapitalis itulah yang pada hakikatnya telah menjarah kekayaan bumi dan air Indonesia; melalui penguasa baru, yang mengambil keuntungan pribadi dan kelompok, bukan keuntungan rakyat secara bersama.

Para konglomerat kapitalis yang berkolusi dengan penguasa neo-liberalis/kapitalis; pendukung praktik nep-imperialisme/kolonialisme itulah yang akan mengemudikan Republik Indonesia sesuai dengan selera mereka, bukan selera yang sesuai dengan hati nurani rakyat.

Melalui pemilu, kroni neo-Orde Baru yang menganut faham neo-liberalisme dan kapitalisme berupaya untuk mempertahankan kekuasaan dinasti atau kelompok. UUD 2002 memang telah membatasi jabatan kepala badan eksekutif dan kepala daerah selama dua periode saja. Tetapi mereka telah merancang berbagai undang-undang agar kekuasaan itu tetap berada di tangan kelompok atau keluarganya.

Pemilu 2014 bila terjadi, sudah dipastikan akan memunculkan nama keluarga, dan kroni neo-Orde Baru. Dimulai dari SBY yang sudah pasti akan membuat desain agar Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu. Jiwa patriotik bukan syarat utama. Yang terpenting adalah bagaimana agar kekuasaan bermuara pada orang-orang terdekatnya. SBY bukanlah orang berkualitas secara moral dan patriotisme. Sebagian besar hidup SBY dilatih untuk menjadi tentara model TNI-nya Soeharto. Sebagai catatan, ada 4 kesalahan atau pelanggaran HAM oleh SBY pada masa lalu. 1) Kapten SBY memimpin serangan militer ke kampus ITB pada 1977. 2) Kolonel Inf SBY sebagai UN Observer dan Komandan Kontingen Pasukan Garuda ikut serta dalam perencanaan pembantaian 8000 muslim di desa Sebrenica-Bosnia pada 1995. 3) Brigjen SBY sebagai Kepala Staf Teritori ABRI (setingkat di bawah Panglima ABRI) adalah perancang penyerbuan ke Kantor Sekretariat PDI Pro Mega pada 27 Juli 1997. 4) SBY sebagai Kepala Staf Teritori ABRI paling tidak telah membiarkan penculikan dan penghilangan beberapa aktivis dan mahasiswa oleh intel-intel Kopassus sepanjang 1996-1998.

Megawati juga bukan tidak punya kesalahan. Pengampunan konglomerat hitam yang telah membawa kabur triliunan rupiah dana BLBI terjadi pada masa pemerintahan Megawati. Penjualan aset negara BUMN Indosat, korupsi penjualan kapal tanker Pertamina, dan lain-lain. Megawati bukanlah orang memiliki ilmu pengetahuan cukup dalam mengendalikan negara. Kebijakannya telah terkomtaminasi oleh tipu daya Laksamana Sukardi yang kini melarikan diri dengan membentuk Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). Juga terjebak oleh saran-saran dan beberapa keputusan SBY yang pada era pemerintahan Megawati, menjabat sebagai Menteri Koodinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam).

Amien Rais pun bukanlah orang yang punya prinsip teguh dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Menerima dana kampanye pilpres 2004 dari dana korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Semula Amien Rais berkata berani dibawa ke pengadilan, tapi akhirnya berdamai dengan SBY di Bandara Halim Perdanakusuma.

Singkatnya, Pemilu 2014 memang tidak akan menghasilkan pemimpin-pemimpin baru yang patriotik dan berjiwa Pancasila. Yang dihasilkan adalah orang-orang dari kalangan pemimpin Orde Baru dan neo-Orde Baru yang punya dosa masa lalu. Dengan Pemilu 2009 dan nanti 2014, maka STATUS QUO selalu akan dipertahankan, dan dipertahankan. Terbukti gedung DPR/MPR sebagai rumah rakyat telah diberi pagar setinggi 4 meter. Bagaimana mungkin rakyat bisa menyampaikan aspirasi pada wakil-wakilnya di parlemen bila keadaan sudah begitu.

Bila disimak, maka akan terlihat secara nyata bahwa Sistim Undang-Undang Kepartaian dan Undang-Undang Pemilu ditujukan yang berlaku sekarang ditujukan untuk mempertahankan kekuasaan. Lewat undang-undang tersebut akan selalu terpilih orang-orang yang lebih mementingkan kekuasaan kelompok dan partai. Kekuasaan yang akan selalu melindungi dan terjaminnya keselamatan pribadi atau kelompok mereka sendiri daripada mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Seperti halnya Pemilu 2004 dan 2009, Pemilu 2014 nanti sudah bisa ditebak bahwa akan selalu diwarnai politik uang, ketidakmandirian pemilih, penuh kebohongan, manipulasi, keterlibatan militer serta intervensi asing.

7. Koreksi Atas Peristiwa Aksi 1998

Aksi 1998 bukanlah skenario revolusi. Aksi tersebut hanya menjatuhkan seorang Soeharto, bukan keseluruhan rezim Orde Baru.

Soeharto yang semula didukung anak emasnya, Harmoko, mengalihkan kekuasaan kepada B.J. Habibie. Ketika ditolak oleh para mahasiswa, Habibie bukannya membentuk Presidium Nasional sebagai pemerintah masa transisi. Tetapi justru membentuk PAM SWAKARSA bersama Wiranto. Dengan PAM SWAKARSA itulah, Habibie telah memberangus pondasi pilar-pilar demokrasi.

Aksi 1998 telah berhasil menjatuhkan Soeharto. Pada kenyataan, hingga sekarang NKRI masih dikendalikan oleh orang-orang terdekat Soeharto. Mereka pun seharusnya ikut bertanggung jawab atas bencana ekonomi dan politik Indonesia pada 1997-1998. Bencana tersebut adalah rancangan mereka juga. Pada detik-detik terakhir, Soeharto masih berjuang untuk memulihkan keadaan, tetapi para menteri yang sekarang menjadi pemimpin-pemimpin NKRI, justru "berkhianat' dengan meninggalkan Soeharto. Mereka ingin "cuci tangan". Kemudian ketika keamanan telah stabil kembali, mereka muncul dengan memakai topeng-topeng baru.


8. Sekilas Tentang Skandal Bank Century

Dokumen Tim Assistensi untuk sosialisasi Kebijakan Bank Century yang dibentuk Departemen Keuangan menyebutkan pertama kali Menteri Keuangan mengetahui kondisi Bank Century setelah ada laporan dari Gubernur Bank Indonesia, Boediono, melalui rapat telekonferensi pada 13 November 2008. Ketika itu Sri Mulyani Indrawati sedang berada di Washington DC, mendampingi SBY.

Keesokan harinya pada 14 Nov 2008, Sri Mulyani Indrawati melaporkan tentang Bank Century tersebut secara lisan kepada SBY. Kemudian SBY mengintruksikan agar Sri Mulyani Indrawati segera pulang ke Jakarta.

Menurut Marzuki Ali, Presiden tidak tahu-menahu mengenai kasus Bank Century tersebut. Presiden mengetahui setelah dana Bail Out dicairkan. Dari peristiwa itu bisa disimpulkan bahwa pasti ada yang bohong di antara dua pernyataan tersebut. Yang pasti kebijakan Bail Out tersebut hanya untuk menyelamatkan Bank Century, bukan ekonomi Indonesia. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat sejumlah kelemahan dalam analisis dampak sistemik kasus Bank Century yang dibuat oleh Bank Indonesia dan pemerintah. Salah satunya, kesimpulan yang lebih didasarkan pada judgement kualitatif. Sedangkan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) berpendapat bahwa analisis risiko sistemik yang diberikan BI didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik, lebih kepada analisis dampak psikologis.

Data lengkap tanya jawab dan pernyataan tersebut tertuang dalam NOTULEN RAPAT KOMITE STABILITAS SISTEM KEUANGAN (KSSK) pada Jumat, 21 November 2008, pukul 00.11 s.d. 05.00 WIB, dengan agenda: Pembahasan Permasalahan PT Bank Century, tbk. Notulen ditandatangani oleh Ketua KSSK, Sri Mulyani Indrawati dan anggota KSSK, Boediono.

Argumentasi ekonom bidang moneter, Sri Mulyani Indrawati, bahwa penutupan Bank Century akan berdampak sistemik, yakni rush besar-besaran pada bank-bank lain juga tidaklah tepat. Perbandingan yang dipakai adalah ketika terjadi penutupan atas 16 bank swasta pada 1998. Padahal seharusnya yang menjadi pembanding adalah ketika terjadi kasus Bank Summa pada 1992, yang ternyata tidak berdampak apa-apa pada perekonomian Indonesia. Pada tahun 1992 itu, Sri Mulyani Indrawati sendiri sedang bersekolah di luar negeri. Sehingga tidak pernah mengalami peristiwa Bank Summa yang dramatis tersebut; yang ternyata tidak berdampak apa-apa atas perekonomian nasional atau secara spesifik tidak ada rush besar- besaran pada waktu itu.



















Dokumen Tim Assistensi untuk sosialisasi Kebijakan Bank Century yang dibentuk Departemen Keuangan menyebutkan pertama kali Menteri Keuangan mengetahui kondisi Bank Century setelah ada laporan dari Gubernur Bank Indonesia, Boediono, melalui rapat telekonferensi pada 13 November 2008. Ketika itu Sri Mulyani Indrawati sedang berada di Washington DC, mendampingi SBY.

Keesokan harinya pada 14 Nov 2008, Sri Mulyani Indrawati melaporkan tentang Bank Century tersebut secara lisan kepada SBY. Kemudian SBY mengintruksikan agar Sri Mulyani Indrawati segera pulang ke Jakarta.

Menurut Marzuki Ali, Presiden tidak tahu-menahu mengenai kasus Bank Century tersebut. Presiden mengetahui setelah dana Bail Out dicairkan. Dari peristiwa itu bisa disimpulkan bahwa pasti ada yang bohong di antara dua pernyataan tersebut. Yang pasti kebijakan Bail Out tersebut hanya untuk menyelamatkan Bank Century, bukan ekonomi Indonesia. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat sejumlah kelemahan dalam analisis dampak sistemik kasus Bank Century yang dibuat oleh Bank Indonesia dan pemerintah. Salah satunya, kesimpulan yang lebih didasarkan pada judgement kualitatif. Sedangkan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) berpendapat bahwa analisis risiko sistemik yang diberikan BI didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik, lebih kepada analisis dampak psikologis.

Data lengkap tanya jawab dan pernyataan tersebut tertuang dalam NOTULEN RAPAT KOMITE STABILITAS SISTEM KEUANGAN (KSSK) pada Jumat, 21 November 2008, pukul 00.11 s.d. 05.00 WIB, dengan agenda: Pembahasan Permasalahan PT Bank Century, tbk. Notulen ditandatangani oleh Ketua KSSK, Sri Mulyani Indrawati dan anggota KSSK, Boediono.

Argumentasi ekonom bidang moneter, Sri Mulyani Indrawati, bahwa penutupan Bank Century akan berdampak sistemik, yakni rush besar-besaran pada bank-bank lain juga tidaklah tepat. Perbandingan yang dipakai adalah ketika terjadi penutupan atas 16 bank swasta pada 1998. Padahal seharusnya yang menjadi pembanding adalah ketika terjadi kasus Bank Summa pada 1992, yang ternyata tidak berdampak apa-apa pada perekonomian Indonesia. Pada tahun 1992 itu, Sri Mulyani Indrawati sendiri sedang bersekolah di luar negeri. Sehingga tidak pernah mengalami peristiwa Bank Summa yang dramatis tersebut; yang ternyata tidak berdampak apa-apa atas perekonomian nasional atau secara spesifik tidak ada rush besar- besaran pada waktu itu.

9. Skenario Revolusi

Di negara manapun, revolusi selalu memiliki skenario dan tujuan yang jelas. Revolusi dengan "GANTI REZIM-GANTI SISTIM" adalah untuk menyelamatkan negara yang sedang rusak, dan akan semakin rusak bila dibiarkan. Sebuah aksi massa atau militer dengan tujuan mengganti rezim tapi tanpa mengganti sistim tidak bisa disebut sebagai revolusi, melainkan bisa disebut sebagai kudeta. Tidak akan mungkin kelompok yang melakukan kudeta akan memikirkan nasib rakyatnya. Mereka sama saja dengan rezim sebelumnya, yakni haus kekuasaan.

Dalam situasi negara yang teramat sulit dan porak poranda seperti sekarang ini, paling tidak 10 sampai 50 ribu massa rakyat harus dipersiapkan memasuki gedung DPR/MPR. Jutaan orang yang lain berdoa di rumah dan sebagian lagi mungkin mogok kerja. Yang perlu dipahami oleh semua pihak adalah bahwa aksi massa tersebut bukanlah sebagai tindakan anarkis atau pernyataan perang melawan pemerintah yang sedang berkuasa. Aksi massa seperti itu, mau tidak mau, harus terjadi ketika para wakil rakyat dan kepala badan eksekutif bersama kabinetnya sudah enggan mendengar suara rakyat. Mereka selalu mengungkapkan jargon "suara rakyat adalah suara tuhan', tetapi semua tindakan dan keputusan yang diambil kadang kala bahkan terlampau sering tidak memihak rakyat. Tidak adanya kepastian hukum bagi rakyat kalangan bawah telah menunjukkan watak itu. Hukum hanya bisa memihak orang-orang yang memiliki uang. Kesejahteraan rakyat yang adil dan merata tidak kunjung terwujud nyata.

Revolusi Indonesia ini harus berhasil. Sebab itu bukan sekadar penyampaian pendapat dan unjuk rasa oleh kelompok-kelompok secara sendiri, melainkan keinginan yang sama oleh semua kelompok yang juga memiliki kesamaan cita-cita. Cita-cita yang pada hakikatnya telah dimulai sejak pejuang Indonesia merebut kemerdekaan. Cita-cita tersebut belum dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Yang ada justru sebuah keadaan lain yang tidak pernah terlintas dalam gambaran para pendiri NKRI ini. Para pendiri yang ikut serta berjuang membebaskan bangsanya dari penindasan penjajah asing.

Kedaulatan rakyat harus dimulai dari Rumah Rakyat. Gedung DPR/MPR itulah yang disebut Rumah Rakyat, yang dulu dibangun oleh Soekarno untuk menjadi wadah kekuatan Dunia Baru bangsa-bangsa yang waktu itu baru saja berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Inilah revolusi yang memberi makna demokrasi sesungguhnya. Pada hari aksi massa dari semua kelompok memasuki Rumah Rakyat itulah sebuah REVOLUSI INDONESIA dinyatakan.

Mulai pada hari itu skenario revolusi menjadi kongret, bukan sekadar wacana.

(1) Dekrit Rakyat Kembali ke UUD 1945 (yang asli)

Pada hari itu, atas nama seluruh rakyat Indonesia, dinyatakan sebuah Dekrit Rakyat Untuk Kembali ke UUD 1945 (yang asli). Ini teramat sangat penting karena UUD Amandemen Keempat atau UUD 2002 telah dibuat secara asal-asalan, tumpang tindih dan tanpa tujuan jelas. Amandemen yang dilakukan hanya untuk menandai bahwa era Soeharto telah berakhir. Tetapi sistim Orde Baru plus praktik neo-liberalisme/kapitalisme. Padahal para pendiri negara Indonesia telah membuat konsep sebagai hasil galian dari falsafah dan budaya Indonesia yang dikenal luhur sejak dahulu kala.

(2) Pernyataan Rakyat untuk Tetap Setia pada Landasan Ideologi Pancasila

Pernyataan rakyat yang dipimpin oleh pejuang revolusioner pada hari itu tidak akan menyatakan Pancasila sebagai ideologi tunggal di Indonesia. Pernyataan kesetiaan pada Pancasila adalah sebagai wujud nyata bahwa Indonesia telah memiliki ideologi sendiri, bukan ideologi atau faham yang diimport dari bangsa lain. Pancasila itulah sebagai jati diri bangsa Indonesia. Faham bangsa-bangsa lain tersebut belum tentu sesuai dengan falsafah dan watak kebudayaan Indonesia. Semua kelompok pasca revolusi boleh membentuk suatu perkumpulan atau partai yang berlandaskan ideologi lain asalkan masih dalam koridor ideologi Pancasila. Ideologi komunis yang atheis atau ideologi fasis tidak berlaku dan dilarang.

(3) Pembentukan MPRS sebagai Penjelmaan Kedaulatan Rakyat

Sesuai dengan amanat UUD 1945, maka pada hari berlangsungnya revolusi itu, maka dibentuklah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), sebagai lembaga tertinggi negara yang menjadi penjelmaan kedaulatan rakyat.

Dalam suasana revolusi saat demikian, memang tidak perlu menjadi rumit tentang siapa saja yang akan duduk di majelis tersebut. Sebab sifatnya hanya SEMENTARA. Selain itu, karena bukan hasil pilihan rakyat, maka orang-orang yang mungkin bisa mencapai ratusan ribu jumlahnya, tentu akan mengerti bahwa MPRS tersebut harus diisi oleh orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan cukup dan berkualitas secara moral. UUD 1945 tidak pernah membatasi jumlah anggota MPR, dalam hal ini tentu yang dimaksud adalah MPRS. Pada masa revolusi itu, dengan sendirinya akan muncul orang-orang yang suaranya didengar dan diikuti oleh yang lain.

Pada saat yang tepat, akan disusun keanggotaan MPRS yang lebih mencerminkan perwakilan rakyat dengan struktur yang lebih jelas. MPRS ini akan berakhir setelah diselenggarakannya pemilu yang khusus bertujuan untuk memilih anggota-anggota MPR. Pemilu itu mungkin baru bisa terselenggara sekitar satu tahun sejak hari revolusi.

Meski dalam era revolusi, para anggota MPRS tetap mengangkat sumpah secara bersama, dengan mengikuti dan menirukan sumpah yang dibacakan oleh Hakim Agung yang terpilih untuk melaksanakan tugas itu.

(4) Sidang MPRS untuk Menetapkan Presidium

Segera setelah disumpah, MPRS melakukan sidang majelis. Untuk sementara, sidang akan dipimpin oleh anggota tertua dan termuda sampai akhirnya terpilih ketua yang definitif.

Sidang Pertama MPRS adalah menetapkan PRESIDIUM NASIONAL yang terdiri atas lima orang sebagai pengganti Presiden dan Wakil Presiden. Beberapa nama anggota presidium tentu telah dipersiapkan oleh penggerak revolusi itu sendiri. Tidak mungkin presidium akan diisi oleh mereka yang kontra revolusi.

Lima orang tersebut, masing-masing akan memimpin:

1) Urusan Dalam Negeri;

2) Urusan Luar Negeri;

3) Urusan Pertahanan dan Keamanan Negara;

4) Urusan Kesehatan & Kesejahteraan Rakyat;

5) Urusan Umat Beragama.

Masih banyak sebenarnya urusan lain yang cukup penting, tetapi dalam situasi revolusi, lima urusan tersebut yang sangat teramat penting.

(5) Sidang MPRS Menetapkan Komisi Amandemen UUD 1945

Komisi Amandemen bertugas bersama dengan seluruh rakyat untuk menyusun kembali penyempurnaan UUD 1945 dalam jangka waktu secepat-cepatnya satu tahun. Hal ini adalah untuk memenuhi janji yang pernah disampaikan oleh Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, ketika mengesahkan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.

Penyempurnaan atau amandemen atas UUD 1945 ini akan dilakukan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yang berpihak pada rakyat serta bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum seperti yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 itu sendiri. Tidak seperti UUD 2002 yang telah dibuat secara asal-asalan, tumpang tindih dan tanpa tujuan jelas. Alih-alih justru telah membuka peluang lebar-lebar masuknya praktik neo-liberalisme/kapitalisme yang telah menimbulkan penderitaan bagi mayoritas rakyat. Hasil penyempurnaan UUD 1945 itu akan disampaikan kepada MPR hasil pemilu untuk ditetapkan sebagai amandemen terhadap UUD 1945 yang asli, sebagai "Adendum", sedemikian rupa. Sehingga UUD 1945 yang asli tidak pernah terhapuskan.

(6) Presidium Mengangkat Panglima ABRI (sesuai pasal 10 UUD 1945)

Sidang Presidium yang pertama adalah menetapkan seorang Panglima Angkatan Bersenjata RI. Panglima ini, untuk sementara, menyatukan kembali Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di bawah satu komando.

Selain itu, tugas utama panglima angkatan bersenjata adalah menegakkan keamanan dan ketertiban di seluruh wilayah NKRI. Dengan begitu, Presidium bersama kabinet kementerian yang akan dibentuk, bisa bekerja secara bersama-sama dengan MPRS dalam menjalankan ketatanegaraan sesuai cita-cita revolusi. Cita-cita itu tidak lain adalah mewujudkan sebuah Indonesia Baru. Cita-cita Proklamasi Indonesia 1945 yang belum pernah terwujud. Sampai pada tahap ini, revolusi untuk melakukan Ganti Rezim-Ganti Sistim pada hakikatnya telah berakhir sejak hari "H". Rakyat diminta untuk melanjutkan tugas dan kegiatan mereka sehari-hari.

(7) Sidang Presidium untuk Membentuk Kabinet/Kementerian Sementara.

Sidang Presidium berikutnya adalah membentuk Kabinet Kementerian Sementara. Dalam waktu kurang dari sepekan, susunan kabinet kementerian di bawah Presidium sudah harus terbentuk sebagai Pemerintahan Sementara NKRI.

Kabinet Kementerian yang bersifat sementara tersebut, antara lain akan menangani bidang-bidang:

1) Kementerian Luar Negeri;

2) Kementerian Dalam Negeri;

3) Kementerian Keuangan dan Perbendaharaan Negara;

4) Kementerian Pertahanan dan Keamanan Nasional;

5) Kementerian Pertanian dan Perkebunan;

6) Kementerian Perindustrian dan Niaga;

7) Kementerian Transportasi dan Komunikasi;

8) Kementerian Pendidikan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia;

9) Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam.

Oleh karena bersifat sementara, maka tidak banyak kementerian yang akan dibentuk. Kementerian itu bersama Presidium segera bubar setelah Presiden dan Wakil Presiden RI dilantik oleh MPR hasil pemilihan umum. Presiden dan Wakil Presiden yang dilantik juga merupakan hasil pemilihan umum.

(8) Presidium Membentuk Kelengkapan Kenegaraan

Selain membentuk Kabinet Kementerian, Presidium bersama lembaga kekuasaan lain juga akan membentuk alat kelengkapan kenegaraan. Kelengkapan kenegaraan - atau dengan kata lain, Kelengkapan Pemerintah Sementara di tingkat pusat ini - adalah Kantor-kantor Urusan Negara yang akan dipimpin oleh Kepala Kantor masing-masing Urusan Negara. Semua Kepala Kantor Urusan Negara tersebut tidak memiliki kekuasaan otoritas tehadap daerah-daerah otonomi, yakni provinsi-provinsi. Tugas mereka tidak lain hanyalah melakukan pemantauan, penilaian serta memberikan bantuan dan penyebaran informasi tentang standar kenegaraan. Selanjutnya pelaksanaan atas bidang-bidang Urusan Negara itu menjadi wewenang provinsi otonom.

(9) Sidang Paripurna Kabinet Kementerian

Banyak sidang yang akan dilakukan oleh Kabinet Kementerian. Yang pertama adalah Sidang Paripurna Kabinet Kementerian di bawah pimpinan Presidium untuk menetapkan bahwa seluruh Pemerintah Daerah adalah bersifat sementara. Juga menetapkan fungsi gubernur sebagai pembantu Presidium. Setelah itu, Pemerintah Sementara (Presidium bersama Kementerian) memberikan penjelasan kepada pemerintah di daerah-daerah tentang pentingnya menyelenggarakan kekuasaan negara yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Sejak memasuki tahap ini, penyelenggaraan NKRI pada hakikatnya telah dimulai. Kekuasaan EKSEKUTIF di tingkat pusat dipegang oleh Presidium, dan kekuasaan LEGISLATIF dipegang oleh MPRS. Kekuasaan Peradilan atau YUDIKATIF di bawah Mahkamah Agung, - yang masih belum berubah - juga bersifat sementara.

(10) Rekonsiliasi Nasional

Salah satu topik penting yang akan ditangani oleh Presidium bersama Kabinet Kementerian Sementara adalah Rekonsiliasi Nasional. Ini sangat penting untuk dituntaskan. Makna rekonsiliasi ini sendiri adalah untuk mengakhiri konflik yang sedang terjadi, dan pernah terjadi.

Sebuah rekonsiliasi tidak akan mungkin bisa ditangani oleh rezim yang pernah melakukan kejahatan atau pelanggaran HAM pada masa lampau. Rekonsiliasi ini juga pada hakikatnya bertujuan untuk menciptakan perdamaian. Prosesnya dimulai dengan mengungkap bukti-bukti semua kejahatan yang pernah dilakukan oleh rezim atau kelompok-kelompok pada masa sebelumnya.

Kejahatan-kejahatan atau pelanggaran HAM tersebut antara lain adalah: pembantaian hampir dua juta orang oleh rezim Orde Baru sepanjang tahun 1965-1968; kasus pembantaian oleh militer di Tanjung Priok dan Kasus Talangsari - Lampung; kasus operasi militer di Aceh, Papua, Timor Tomir (sekarang Timor Leste), dan daerah lainya; kasus penculikan serta penghilangan mahasiswa dan aktivis sepanjang 1996-1998; kasus penyerangan kantor PDI pada 27 Juli 1996; penembakan mahasiswa Universitas Trisakti dan Universitas Lampung pada 1998 -1999 sampai pembunuhan Munir. Pengungkapan kebenaran tersebut bukan untuk menjadi balas dendam oleh para korban. Meskipun di sisi lain, memang sangat sulit bagi para korban untuk melupakan dan mengakhiri trauma akibat penindasan serta kejahatan yang pernah menimpa mereka.

Secara sederhana, tahapan rekonsiliasi adalah: 1) mengungkap bukti-bukti semua kajahatan atau pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia pada masa lampau sejak 1965 (era Orde Baru) hingga pelanggaran yang dilakukan oleh rezim neo-Orde Baru; 2) pengakuan dan permintaan maaf oleh pihak-pihak yang terbukti pernah melakukan kejahatan-kejahatan atau pelanggaran HAM itu; 3) para korban pelanggaran HAM memberikan pernyataan maaf. Setelah upaya rekonsiliasi tercapai, maka babak baru telah dimulai. Dengan kata lain, konflik antar sesama telah berakhir. Meski begitu, mereka yang pernah terlibat kejahatan atau pelanggaran HAM tentu tidak diperkenankan lagi untuk kembali duduk di lembaga-lembaga kekuasaan negara. Di pihak lain, keamanan mereka harus dijamin oleh negara.

Tidak hanya yang pernah terlibat pelanggaran HAM, mereka yang secara nyata telah terbukti merugikan negara karena melakukan kejahatan ekonomi, seperti terlibat korupsi, juga tidak diperkenankan menduduki jabatan strategis. Juga mereka dilarang ikut serta dalam penyelenggaraan negara, baik secara langsung di lembaga eksekutif maupun menjadi anggota parlemen (DPR/MPR).

(11) Presidium bersama MPRS menetapkan jadwal Pemilihan Umum

Sebelum mengakhiri pengabdian pada negara, Presidium bersama MPRS harus menetapkan penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu). Kedaulatan NKRI sepenuhnya berada di tangan rakyat. Penjelmaan itu adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang bertugas menjalankan kedaulatan atas nama rakyat. MPR adalah sidang gabungan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Utusan Golongan (DUG) dan Dewan Utusan Daerah (DUD). Ketiga dewan ini memiliki kekuatan politik yang sama. Tidak seperti sekarang yang terjadi, kekuatan poltik secara dominan dan tampak absolut hanya bermuara ke partai-partai saja.

Semua anggota ketiga dewan yang tersebut di atas akan diutus oleh rakyat melalui pemilihan umum secara langsung dengan sistim distrik. Hanya dengan sistim distrik, anggota-anggota perwakilan akan lebih mementingkan kesejahteraan rakyat. Bukan mengutamakan kepentingan kelompok. Partai yang menjadi wadah para politisi praktis tidak lain hanya agar aspirasi rakyat bisa tersalurkan secara mudah.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan menjaga Undang-Undang Dasar 1945, dan sewaktu-waktu bisa bersidang sesuai dengan tugas dan fungsinya. MPR juga menetapkan Garis Besar Haluan Negara atau Rencana Strategis Pembangunan, memberikan penilaian atas kebijakan-kebijakan pemerintah pusat atau lembaga eksekutif dan mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang berkenaan dengan semua kebijakan dan keputusan lembaga eksekutif.

Melalui pemilhan umum ini juga, Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemegang kekuasan eksekutif akan dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam menjalankan roda pemerintahan, lembaga eksekutif negara akan dibantu oleh pemerintah di daerah-daerah provinsi yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur. Pemerintah di daerah-daerah otonomi yang bersifat istimewa akan diberi wewenang khusus untuk mengatur penyelenggaraan negara di provinsi masing-masing.

10. Trisakti Negara

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Utusan Golongan dan Dewan Utusan Daerah bersama Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Tidak ada lagi undang-undang yang ditetapkan hanya menguntungkan penguasa bersama kroninya belaka, dan tidak bertujuan untuk mewujudkan ketertiban umum dan kesejateraan rakyat. Tidak ada lagi undang-undang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan secara terselubung yang tidak sesuai dengan hati nurani rakyat.

Ketiga dewan itu juga memiliki hak bertanya atau meminta keterangan dari pemerintah pusat atau lembaga eksekutif negara serta memiliki hak menyelidiki. Peraturan pemerintah (Perpu) sebagai peraturan pelaksana undang-undang yang dibuat berlaku umum bagi seluruh penduduk dan wilayah NKRI. Sedangkan untuk yang berlaku khusus dalam suatu provinsi dibuat dalam bentuk peraturan provinsi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu Pengganti UU) hanya dibuat ketika negara dalam keadaan darurat perang.

Kekuasaan peradilan sepenuhnya berada di tangan Mahkamah Agung, yang merdeka dari lembaga-lembaga kekuasaan lain. Mahkamah Agung menjalankan kekuasaan peradilan di tingkat negara. Peradilan di daerah-daerah provinsi dijalankan oleh Mahkamah Tinggi masing-masing.

Mahkamah Agung juga memiliki kekuasaan untuk melakukan pengujian hukum atas suatu undang-undang , ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan, peraturan pemerintah dan peraturan provinsi. Pengujian hukum untuk menilai apakah semua ketentuan tersebut sesuai atau berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk menjalankan kekuasaan itu, Mahkamah Agung membentuk Majelis Pertimbangan Konstitusi yang akan bekerja secara aktif dan permanen.

11. Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada almarhum Harry Roesli serta almarhum Romo YB Mangunwijaya serta DR. H.S. Dillon yang telah memberikan inspirasi dan kepada DR. Sri Bintang Pamungkas yang telah memberikan sumbangan pemikiran dalam penulisan naskah sederhana ini.

1 comments:

mas arifin brandan said...

salam revolusi! mencermati realitas sosial yang morat-marit saat ini, maka revolusi adalah harapan dan keniscayaan! sebelum sampai pada tahap aksi praksis menuju momentum puncak revolusi, lebih dulu bangsa ini harus melewati tahapan fase penyadaran kritis. momentum revolusi tak bisa direkayasa, tapi sekonyong-konyong akan muncul melalui akumulasi dari proses pembusukan sosial. revolusi akan menjacapi tujuan perjuangannya yang antara lain agenda besarnya: (1). memindah secara gotong royong dan sukarela memindah ibukota negara dari jkt ke pesisir cirebon; (2). mengembalikan kedaulatan tni yang saat ini terbelenggu dalam barak, ke pangkuan rakyat (desa), asal muasal lahirnya tni di era revolusi 1945; (3). mengakhiri kebijakan neoliberalisme berikut turunannya yakni membendung kapitalisme, materialisme, individualisme, hedonisme; (4). memakmurkan kehidupan peradaban desa, dan mengakhiri peradaban kota metropolitan. pembangunan semesta bertumpu pada sektor agraria (pertanian) dan kelautan serta menjadikan koperasi sebagai pilar pembanguan ekonomi nasional; (5). wajib bela negara bagi generasi muda; (6). memberdayakan secara produktif napi yang dihukum minimal 5 tahun untuk ditempatkan di pulau-pulau terpencil dan pulau-pulau terluar; (7). nasionalisasi semua perusahaan milik negara dan daerah yang banyak dikuasai asing; (8). menyetop utang luar negeri, dan membayar segera utang luar negeri yang jumlahnya hampir mencapai 2 ribu trilyun; (9). memodernisir alutsista tni, dan membangun industri produk alutsista sendiri(*).

(mas ab, dari padepokan sunyi di kaki merapi)

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat!