Secara
ilmiah pada 2012 ini,
bulan mempunyai dua kemungkinan sabit yang jatuh pada tanggal 19 dan 20. Ketika
itu, secara fraksi (pecahan) bulan hanya bisa dilihat 0,22 persen. Usia
penampakan tersebut kurang lebih enam jam.
Ketika matahari tenggelam, tinggi hanya satu derajat lebih. Bahkan jika kondisi cuaca ekstrem, atau tingginya hanya di bawah satu derajat, usia penampakan bulan hanya berkisar empat menit. Sehingga tentu sangat sulit bagi astronom untuk melakukan pengamatan.
Ketika matahari tenggelam, tinggi hanya satu derajat lebih. Bahkan jika kondisi cuaca ekstrem, atau tingginya hanya di bawah satu derajat, usia penampakan bulan hanya berkisar empat menit. Sehingga tentu sangat sulit bagi astronom untuk melakukan pengamatan.
Lembaga Observatorium Bosscha menilai
bisa atau tidaknya hilal dilihat sangat dipengaruhi kondisi cuaca. Pengaruh ini
telah berlangsung sekitar tiga puluh tahun belakangan.
Peneliti Observatorium Bosscha Hakim Lutfi Malasan, mengatakan kondisi cuaca semakin sulit diprediksi sejak 1980. Itu karena polusi cahaya yang kerap diakibatkan semakin padatnya bangunan maupun permukiman penduduk.
"Di sekitar Bosscha sudah banyak bangunan rumah maupun hotel," Hakim mengatakan, Kamis (19/7).
Menurut Hakim, kondisi itu kerap membuat pengamatan astronomi dari Observatirium Bosscha di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, terkendala. Meski begitu, permukiman penduduk bukan salah satu faktor yang membuat labilnya kondisi cuaca. Namun bisa diakibatkan pencemaran lingkungan dan faktor alam lainnya.
Secara ilmu pengetahuan, kata dia, peneliti astronomi sejak dahulu bertugas memberikan informasi tentang pengamatan luar angkasa, khususnya ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri.
Hakim mengatakan, Observatirium Bosscha menyuplai informasi dan data tentang pengamatan hilal kepada pemerintah. Caranya, dengan menjaring pengamatan hilal di 18 titik wilayah di Indonesia. Titiknya dimulai dari Pantai Lokna, Banda Aceh hingga Pulau Biak, Provinsi Papua.
Hakim menambahkan pula, Indonesia mempunyai keunggulan dalam pengamatan tersebut karena memiliki tiga zona waktu. Ke-18 titik itu pun untuk menjaring bila posisi hilal tidak terlihat di salah satu titik.
Pengamatan di sejumlah titik itu juga bisa disaksikan oleh masyarakat dengan koneksi internet. Bosscha menyajikannya dalam bentuk laman web streaming. Jadi, kata Hakim, hilal juga bisa disaksikan oleh masyarakat.
"Pada dasarnya penampakan hilal harus diketahui masyarakat," kata mantan Kepala Observatorium Bosscha era 2010/2011 itu.
Peneliti Observatorium Bosscha Hakim Lutfi Malasan, mengatakan kondisi cuaca semakin sulit diprediksi sejak 1980. Itu karena polusi cahaya yang kerap diakibatkan semakin padatnya bangunan maupun permukiman penduduk.
"Di sekitar Bosscha sudah banyak bangunan rumah maupun hotel," Hakim mengatakan, Kamis (19/7).
Menurut Hakim, kondisi itu kerap membuat pengamatan astronomi dari Observatirium Bosscha di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, terkendala. Meski begitu, permukiman penduduk bukan salah satu faktor yang membuat labilnya kondisi cuaca. Namun bisa diakibatkan pencemaran lingkungan dan faktor alam lainnya.
Secara ilmu pengetahuan, kata dia, peneliti astronomi sejak dahulu bertugas memberikan informasi tentang pengamatan luar angkasa, khususnya ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri.
Hakim mengatakan, Observatirium Bosscha menyuplai informasi dan data tentang pengamatan hilal kepada pemerintah. Caranya, dengan menjaring pengamatan hilal di 18 titik wilayah di Indonesia. Titiknya dimulai dari Pantai Lokna, Banda Aceh hingga Pulau Biak, Provinsi Papua.
Hakim menambahkan pula, Indonesia mempunyai keunggulan dalam pengamatan tersebut karena memiliki tiga zona waktu. Ke-18 titik itu pun untuk menjaring bila posisi hilal tidak terlihat di salah satu titik.
Pengamatan di sejumlah titik itu juga bisa disaksikan oleh masyarakat dengan koneksi internet. Bosscha menyajikannya dalam bentuk laman web streaming. Jadi, kata Hakim, hilal juga bisa disaksikan oleh masyarakat.
"Pada dasarnya penampakan hilal harus diketahui masyarakat," kata mantan Kepala Observatorium Bosscha era 2010/2011 itu.
Secara
empiris dan faktual, tim
Ru’yat
di Indonesia memang kerap gagal
melihat Hilal (bulan muda) dibanding tim Ru’yat semisal di Saudi Arabia. Hal itu
terjadi lantaran langit
berawan sehingga bulan muda sering tertutup awan. Selain itu Jawa yang merupakan
pulau terpadat di dunia yang
terang berderang dengan kemerlap lampu-lampu
gedung dan rumah-rumah sehingga langit juga terlihat lebih terang termasuk di
Boscha.
Akibatnya sinar-sinar bintang dan bulan terganggu dan terlihat kecil dan redup. Di Semanjung Arabia sebaliknya. Langit tidak berawan. Dengan luas darat yang lebih besar daripada Indonesia (2,4 juta km2) sementara jumlah penduduk cuma 1/5 pulau Jawa, banyak daerah tak bertuan yang tidak berlampu.
Akibatnya sinar-sinar bintang dan bulan terganggu dan terlihat kecil dan redup. Di Semanjung Arabia sebaliknya. Langit tidak berawan. Dengan luas darat yang lebih besar daripada Indonesia (2,4 juta km2) sementara jumlah penduduk cuma 1/5 pulau Jawa, banyak daerah tak bertuan yang tidak berlampu.
Sehingga
langit begitu hitam kelam, sementara bintang-bintang dan bulan jadi tampak
lebih besar (sekitar 4-6x lipat daripada di Indonesia) dan lebih terang. Oleh
karena itu, Hilal lebih mudah terlihat di sana.
Tak heran dengan langit yang cerah, banyak bintang-bintang dan rasi bintang yang namanya berasal dari Arab karena bangsa Arab yang melihat dan menemukannya.
Jadi sulit bagi astronom Indonesia mengungguli astronom Arab mengingat kondisi langitnya beda sehingga untuk ukuran dunia saja bangsa Arab jauh lebih unggul.
Tak heran dengan langit yang cerah, banyak bintang-bintang dan rasi bintang yang namanya berasal dari Arab karena bangsa Arab yang melihat dan menemukannya.
Jadi sulit bagi astronom Indonesia mengungguli astronom Arab mengingat kondisi langitnya beda sehingga untuk ukuran dunia saja bangsa Arab jauh lebih unggul.
Namun apapun itu, metode ru'yat (melihat dengan mata telanjang) secara umum adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Ru’yat dilakukan setelah matahari terbenam pada hitungan hari ke-29 dari hasil ru’yat sebelumnya. Sedangkan metode hisâb falaki (perhitungan astronomis) secara umum adalah perhitungan secara matematis dan astronomis dalam memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, metode ini mencapai apa yang bisa disaksikan saat ini, yaitu hasil yang sangat akurat.
Penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan berdasarkan
ru’yat hilal Ramadhan (melihat bulan sabit Ramadhan
dengan mata kepala secara telanjang) adalah sesuai hadits Rasulullah SAW:
عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه قال : قال النبي صلى
الله عليه وسلم « صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته ، فإن غُبِّيَ عليكم فأَكْمِلوا عدة
شعبان ثلاثين » رواه البخاري ومسلم والنَّسائي وأحمد وابن حِبَّان
Dari Abi Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: Berpuasalah kalian karena rukyat hilal, dan berbukalah kalian (akhirilah Ramadhan) karena rukyat hilal, jika ia tertutup kabut maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban 30 hari. (HR. Bukhari)
Di riwayat Muslim dengan lafazh:
وقال فإن غم عليكم فاقدروا ثلاثين
Rasulullah saw bersabda: … jika ia tertutup mendung maka tetapkanlah (hitungan bulan Sya’ban) 30 hari. (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain lagi:
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilan hari, makan janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah. (HR. Muslim, No. 1797)
Dalam konteks Indonesia, penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal adalah melalui
sidang itsbat yang dipimpin oleh Menteri Agama. Beberapa organisasi keagamaan
Islam mengaku menetapkan 1 Ramadhan atau 1 Syawal yang bersandarkan ru’yatul
hilal. Tetapi anehnya, mereka telah membuat prediksi beberapa hari sebelumnya, antara lain NU Prediksi 1 Ramadhan Jatuh pada 21 Juli. Sehingga
sidang itsbat tersebut sudah bisa ditebak hasil yang akan ditetapkan. Hal
tersebut sangat kontras dengan apa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW yang
menerima pengakuan dari seorang Arab Badui tanpa memasalahkan kedudukan sosialnya.
Yang ditanyakan adalah ke-Islam-annya.
Dari Ibnu Abbas bahwa:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ
الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ
أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi
Muhammad SAW kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal. RasulAllah
bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi
bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”.
Lalu RasulAllah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar
mereka berpuasa besok.” (HR.
Bukhari, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hibban).
Di
Indonesia, sudah beberapa kali terjadi yang sidang itsbat menolak
kesaksian seseorang atau beberapa orang yang telah mengaku melihat hilal
dengan alasan meragukan kualitas penglihatan atau peralatannya. Padahal
pada era RasulAllah SAW, pengamatan hilal dilakukan oleh orang-orang
yang benar-benar ummi (tidak bisa baca tulis) dengan mata kepala tanpa
peralatan semacam teropong yang belum ada ketika itu. RasulAllah bersama
para sahabat tidak pernah meragukan kualitas penglihatan kaum ummi itu.
Referensi:
Kitab Hadits: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi dan Sunan Abu Daud.