Hingga kini aku sangat bersyukur dan selalu bersyukur atas keadaan diriku apapun kekuranganku.Yang terpenting aku senantiasa berupaya daya untuk selalu terus memperbaiki diriku.
Mungkin aku termasuk mengalami banyak keberuntungan. Aku dilahirkan di sebuah kampung yang sedang berkembang dan makmur ketika itu. Lalu aku tumbuh di perkotaan kemudian mengalami kembali masa anak-anak di kampung tempat aku dilahirkan.
Di kampung, aku tinggal dengan kakek nenekku yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan kediaman paman dan tanteku. Di belakang rumah kakek nenekku, ada SD Inpres yang ketika siang ruang kelasnya dimanfaatkan oleh sekolah SMP swasta. Jadilah gedung SD ketika pagi, dan gedung SMP ketika sore. Mungkin karena interaksi inilah mengapa anak-anak SD ketika itu begitu cepat matang dan bersikap dewasa. Bahkan yang belum sekolah pun begitu cepat tampak seakan-akan sudah bersekolah.
Persaingan tentu saja selalu terjadi. Prestasi pelajaran, olahraga, Pramuka dan mengaji (baca qur’an). Anak-anak SD dengan sendirinya bisa memanfaatkan fasilitas olahraga yang sebenarnya milikanak-anak SMP. Lapangan bola voli, tenis meja, bulutangkis, lompat jauh, lompat galah, dan lain-lain. Untuk keperluan arena lompat jauh, anak SD dan SMP gotong royong mengambil pasir dengan karung, ember atau kantong plastik. Mengambil di sungai yang cukup jauh menuruni lembah. Sedangkan lapangan sepak bola memang fasilitas kepunyaan SD. Setiap Sabtu selalu ada senam pagi. Tidak ketinggalan pula anak-anak SD dan SMP merawat taman bunga yang indah secara bersama-sama. Setiap Agustus diadakan pertandingan olahraga antar SD se-kecamatan. SD kami sering menjadi tuan rumah. Setiap 17 Agustus diadakan upacara bendera gabungan beberapa SD dan SMP Swasta itu.
Aku adalah siswa kelas 1 SD yang pertama hapal teks PANCASILA secara lengkap. Mulai hari ke-8, aku sering disuruh guru walikelas membacakan teks PANCASILA yang diikuti oleh teman murid-murid yang lain.
Suatu ketika – saat aku menginjak caturwulan kedua di kelas 1 SD – pamanku membeli sebuah televisi. Cukup besar, tapi masih hitam putih tentu saja. Yang pertama dan satu-satunya di kampung yang cukup besar itu. Setiap malam terutama malam akhir pekan, ramai sangat yang menonton. Bahkan banyak juga yang dari kampung tetangga datang menonton. Satu-satunya stasiun tentu saja TVRI. Saat itu acara iklan yang dinamai Siaran Niaga belum dilarang oleh Menteri Penerangan, Jenderal (Purn) Ali Moertopo.
Asih bukanlah siapa-siapa. Itu adalah sebuah judul drama Cerita Akhir Pekan di TVRI pada era pertengahan 1980-an.. Aku lupa tahun berapa tepatnya dan kelas berapa aku ketika itu.
Asih, seorang gadis cantik, yang digambarkan sebagai orang gila. Suka keluyuran keliling kampung. Meracau kata tak menentu. Kadang tertawa, kadang berteriak dan kadang menangis. Saat ini drama ini baru dimulai, banyak para orangtua yang menonton menjadi tertawa atau cekikikan sambil nyeletuk dalam bahasa daerah Lampung Pesisir, "Api maksud cekhita pelem hijjo?" (Apa maksud cerita film ini?) Di kampungku, film dilafalkan dengan "pelem".
Asih si orang gila sering mendatangi kuburan tempat orangtuanya dimakamkan. Setiap ke kuburan itu, dia selalu merangkai bunga cempaka putih dan dikalungkan di lehernya. Lalu pulang sambil menari dan mengucapkan kata-kata yang susah dimengerti. Setiap hari menjadi tertawaan dan ejekan anak anak-kecil yang kemudian dihalau orang orangtua yang lewat.
Para tetangga Asih menjadi maklum bahwa Asih menjadi gila sejak orangtuanya meninggal dunia karena terbunuh. Asih menajdi trauma dan shook.
Cerita drama ini punya titik terang ketika si Asih beberapa kali diikuti oleh dua orang laki-laki parlente. Bahkan ke kuburan pun diikuti. Dia makam ibunya, Asih kadang diam lalu menangis dan muncul bayang-bayang... Ternyata ibunya mati terbunuh oleh kedua laki-laki parlente itu.
Suatu saat, si Asih diseret oleh kedua orang laki-laki itu. Tentu saja penduduk setempat menjadi heran. Mengapa kedua orang itu tertarik dengan Asih si orang gila. Ternyata Asih si orang gila adalah saksi peristiwa pembununan orangtua yang hampir satu tahun menjadi sebuah misteri tidak terungkap.
Terima kasih TVRI yang dulu telah menyuguhkan film, drama dan teater yang bermutu. Semua itu memperkaya jiwaku.
Asih, seorang gadis cantik, yang digambarkan sebagai orang gila. Suka keluyuran keliling kampung. Meracau kata tak menentu. Kadang tertawa, kadang berteriak dan kadang menangis. Saat ini drama ini baru dimulai, banyak para orangtua yang menonton menjadi tertawa atau cekikikan sambil nyeletuk dalam bahasa daerah Lampung Pesisir, "Api maksud cekhita pelem hijjo?" (Apa maksud cerita film ini?) Di kampungku, film dilafalkan dengan "pelem".
Asih si orang gila sering mendatangi kuburan tempat orangtuanya dimakamkan. Setiap ke kuburan itu, dia selalu merangkai bunga cempaka putih dan dikalungkan di lehernya. Lalu pulang sambil menari dan mengucapkan kata-kata yang susah dimengerti. Setiap hari menjadi tertawaan dan ejekan anak anak-kecil yang kemudian dihalau orang orangtua yang lewat.
Para tetangga Asih menjadi maklum bahwa Asih menjadi gila sejak orangtuanya meninggal dunia karena terbunuh. Asih menajdi trauma dan shook.
Cerita drama ini punya titik terang ketika si Asih beberapa kali diikuti oleh dua orang laki-laki parlente. Bahkan ke kuburan pun diikuti. Dia makam ibunya, Asih kadang diam lalu menangis dan muncul bayang-bayang... Ternyata ibunya mati terbunuh oleh kedua laki-laki parlente itu.
Suatu saat, si Asih diseret oleh kedua orang laki-laki itu. Tentu saja penduduk setempat menjadi heran. Mengapa kedua orang itu tertarik dengan Asih si orang gila. Ternyata Asih si orang gila adalah saksi peristiwa pembununan orangtua yang hampir satu tahun menjadi sebuah misteri tidak terungkap.
Terima kasih TVRI yang dulu telah menyuguhkan film, drama dan teater yang bermutu. Semua itu memperkaya jiwaku.
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat!