(oleh Terri Cavanagh)
![]() |
source: bbc.co.uk |
BAB PERTAMA
Latar Belakang Sejarah
Pada Bulan Oktober 1965 kaum buruh
internasional mengalami salah satu kekalahan yang terbesar dalam periode
setelah Perang Dunia Kedua.
Sebanyak satu juta buruh dan petani
dibantai dalam kudeta militer yang diatur oleh CIA dan dipimpin oleh Jenderal
Suharto. Kudeta militer ini dilakukan untuk menyingkirkan rejim burjuis Sukarno
yang sedang goyah, menindas pergerakan massa di Indonesia dan mendirikan rejim
militer yang brutal. http://en.wikipedia.org/wiki/Sarwo_Edhie_Wibowo "Ada banyak perkiraan mengenai jumlah
orang yang tewas selama bulan-bulan. Awal perkiraan angka antara setengah juta
setidaknya satu juta dan paling banyak. Pada bulan Desember 1965, jumlah
yang diberikan kepada Soekarno 78.000 meskipun setelah ia jatuh, itu direvisi
menjadi 780.000. Angka 78.000 adalah sebuah cara untuk menyembunyikan dari
Soekarno tentang jumlah orang yang tewas. Spekulasi terus berlanjut
sepanjang tahun, mulai dari 60.000 sampai 1.000.000. Meskipun konsensus
tampaknya telah diselesaikan sekitar 400.000. Akhirnya, pada tahun 1989,
sebelum kematiannya, Sarwo Edhie mengaku pada Rakyat Dewan Perwakilan Anggota
(DPR) ada 3 juta yang tewas dalam pertumpahan darah tersebut."
Mantan-mantan diplomat Amerika Serikat
serta pejabat CIA, termasuk mantan duta besar AS untuk Indonesia dan Australia,
Marshall Green, tahun ini telah mengakui bekerja sama dengan tukang-tukang
jagal Suharto dalam pembunuhan ratusan ribu buruh dan petani yang dicurigai
sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Mereka memberikan secara perorangan
nama-nama dari ribuan anggota PKI dari arsip-arsip CIA, untuk daftar-daftar
pembantaian oleh angkatan bersenjata.
Menurut Howard Federspeil, seorang ahli
soal Indonesia yang sedang bekerja untuk Departemen Luar Negeri AS pada waktu
kampanye anti-komunis itu: "Tak seorang pun peduli, asal saja mereka itu
komunis, maka mereka dijagal."
Kudeta itu merupakan hasil dari sebuah
operasi panjang CIA, dengan bantuan agen-agen Dinas Intelijen Rahasia Australia
(ASIS), untuk melatih dan membangun angkatan bersenjata Indonesia dalam
persiapan untuk sebuah rejim militer yang akan menindas aspirasi revolusioner
rakyat Indonesia.
Pada waktu kudeta militer itu, PKI
merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Cina dan Uni
Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3.5 juta; ditambah 3 juta dari pergerakan
pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang memiliki 3.5 juta
anggota dan pergerakan petani BTI yang beranggota 9 juta orang. Termasuk
pergerakan wanita, organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI
mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Selama perjuangan kemerdekaan melawan
Belanda di tahun empat puluhan dan sepanjang tahun lima puluhan dan enam puluhan,
ratusan ribu orang buruh yang sadar akan kelasnya menjadi anggota PKI, mengira
PKI masih mewakili tradisi-tradisi sosialis revolusioner Revolusi Bolshevik
1917.
Namun pada akhir 1965, antara 500.000 dan
satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban
pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya
perlawanan sama sekali.
Pembunuhan-pembunuhan itu sangatlah
tersebar-luas, sampai sungai-sungai menjadi penuh dengan mayat-mayat para
pekerja dan petani. Sewaktu regu-regu pembantai militer yang didukung CIA
mencakupi semua anggota dan pendukung PKI yang terungkap dan melakukan
pembantaian keji mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan
dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan
sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau
mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita
tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Bagaimanakah kekalahan bersejarah ini dapat
terjadi? Jawabannya memerlukan sebuah penelitian dari sejarah pergerakan rakyat
Indonesia, pengkhianatan oleh kelas burjuis nasional yang dipimpin oleh
Sukarno, peranan kontra-revolusioner PKI dan peranan penting yang dimainkan
oleh para oportunis Pablois dari "Sekretariat Tergabung" (United
Secretariat)-nya Ernest Mandel dan Joseph Hansen dalam membantu pengkhianatan
para Stalinis.
'Permata Asia'
Kudeta berdarah di Indonesia merupakan
hasil dari niat imperialisme AS untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan
alam dan sumber-sumber strategis dari kepulauan yang sering dinamakan 'Permata
Asia' itu.
Pentingnya Indonesia bagi imperialisme AS
ditegaskan oleh presiden AS Eisenhower di tahun 1953, waktu ia mengatakan
kepada konperensi gubernur negara-negara bagian bahwa pembiayaan oleh AS untuk
perang kolonial pemerintah Perancis di Vietnam adalah sangat imperatif dan
merupakan "jalan termurah" untuk tetap mengontrol Indonesia.
Eisenhower menerangkan:"Sekarang
marilah kita anggap kita kehilangan Indocina. Bila Indocina hilang, beberapa
hal akan langsung terjadi. Tanjung Malaka, sebidang tanah terakhir yang
bertahan di sana, akan menjadi sulit untuk dipertahankan. Timah dan tungsten
yang sangat kita hargai dari daerah itu akan berhenti datang, dan seluruh India
akan terkepung.
"Birma tidak akan berada di posisi
yang dapat dipertahankan. Semua posisi di sekitar sana akan menjadi sangat tak
menyenangkan buat Amerika Serikat, karena pada akhirnya jika kita kehilangan
semua itu, bagaimanakah dunia bebas akan mempertahankan kerajaan Indonesia yang
kaya?
"Jadi, entah dimana, ini harus
diberhentikan dan harus diberhentikan sekarang, dan inilah yang kita usahakan.
"Jadi, bila AS memutuskan untuk
menyumbang 400 juta dolar untuk membantu perang di Indocina, kita bukannya
menyuarakan program bantuan gratis. Kita memilih jalan termurah untuk mencegah
terjadinya sesuatu yang akan berarti sangat buruk buat Amerika Serikat,
keamanan, kekuatan dan kemampuan kita untuk mendapatkan barang-barang tertentu
yang kita butuhkan dari kekayaan-kekayaan wilayah Indonesia dan Asia
Tenggara."
Indonesia telah diperkirakan sebagai negara
terkaya nomor lima di dunia di bidang sumber-sumber alam. Selain sebagai
produser minyak yang nomor lima terbesar, Indonesia mempunyai cadangan-cadangan
timah, bauksit, batubara, emas, perak, berlian, mangan, fosfat, nikel, tembaga,
karet, kopi, minyak kelapa sawit, tembakau, gula, kelapa, rempah-rempah, kayu
dan kina yang sangat besar.
Pada tahun 1939, yang pada waktu itu masih
dipanggil East Indies Belanda memasok lebih dari separuh konsumsi total bahan
mentah yang penting bagi Amerika Serikat. Kekuasaan atas daerah penting ini
merupakan masalah penting dalam perang AS-Jepang di Pasifik. Dalam masa setelah
perang kelas penguasa AS bertekad bulat untuk tidak kehilangan
kekayaan-kekayaan negara ini ke tangan rakyat Indonesia.
Setelah kekalahan Perancis di Vietnam di
tahun 1954, AS menjadi khawatir bahwa perjuangan rakyat Vietnam akan menyulut
pergolakan revolusioner di seluruh daerah Asia Tenggara, mengancam kontrol
mereka atas Indonesia.
Di tahun 1965, sebelum kudeta di Indonesia,
Richard Nixon, yang segera akan menjadi presiden AS, menyerukan untuk
pengeboman saturasi untuk melindungi "potensi mineral besar"
Indonesia. Dua tahun setelah itu, dia menyatakan bahwa Indonesia merupakan
"hadiah terbesar Asia Tenggara".
Setelah kudeta 1965, kegunaan diktator
Suharto untuk kepentingan imperialisme AS telah tergarisbawahi dalam laporan
Departemen Luar Negeri AS ke Konggres di tahun 1975, yang menyebut Indonesia
sebagai "lokasi yang paling berwenang secara strategis di dunia":
"Mempunyai populasi yang terbesar di
seluruh Asia Tenggara."
"Merupakan penyuplai utama bahan-bahan
mentah di daerah itu."
"Kemakmuran ekonomi Jepang yang terus
berkembang, sangatlah tergantung pada minyak bumi dan bahan-bahan mentah lain
yang dipasok oleh Indonesia."
"Investasi Amerika yang sudah ada di
Indonesia sangatlah kokoh dan hubungan dagang kita sedang berkembang
cepat."
"Indonesia mungkin secara meningkat
akan menjadi penyedia yang penting untuk keperluan energi AS."
"Indonesia adalah anggota OPEC, tetapi
itu mengambil sikap yang moderat dalam langkah-langkahnya, dan tidak ikut serta
dalam embargo minyak bumi."
"Kepulauan Indonesia terletak pada
jalur-jalur laut yang strategis dan pemerintah Indonesia memainkan peranan yang
vital dalam perundingan-perundingan hukum kelautan, yang sangatlah penting
untuk keamanan dan kepentingan komersil kita."
Perampasan
Kolonial Selama Berabad-Abad
Kolonial Belanda menjajah Indonesia tanpa
ampun selama 350 tahun, merampok kekayaan alamnya, membuka
perkebunan-perkebunan besar dan memeras rakyatnya secara kejam.
Pada tahun 1940 hanya ada satu dokter untuk
setiap 60,000 orang (dibandingkan dengan India, di mana rasionya adalah
1:6,000) dan 2,400 lulusan Sekolah Menengah Atas. Pada akhir Perang Dunia
Kedua, 93 persen dari populasi Indonesia masih buta-huruf.
Pada permulaan abad ke-19, perkembangan
kaum burjuis Inggris makin menantang dominasi Belanda atas daerah ini. Di tahun
1800 East Indies Company milik Belanda menjadi bangkrut dan Inggris
mengambil-alih daerah kekuasaannya antara tahun 1811 dan 1816. Di tahun 1824,
Treaty of London (Perjanjian London) membagi daerah ini antara keduanya:
Inggris mendapat kontrol atas tanjung Malaka dan Belanda tetap menguasai
kepulauan Indonesia.
Permulaan abad ke-20, imperialisme Amerika
yang baru sedang berkembang mulai menjadi tantangan untuk kekuatan kolonial
Eropa, terutama setelah pendudukan Filipina oleh Amerika Serikat di tahun 1898.
Amerika Serikat sedang terlibat dalam
perang dagang dengan Belanda atas minyak bumi dan karet. Perusahaan minyak Standard
mulai memperebutkan monopoli atas daerah-daerah pertambangan minyak di
Indonesia oleh Royal Dutch company. Di tahun 1907, Royal Dutch
dan Shell bergabung untuk menandingi kompetisi dari AS. Mengambil
keuntungan dari situasi Perang Dunia Pertama, Standard Oil mulai
mengebor minyak di Jawa Tengah, dan dalam tahun yang sama perusahaan-perusahaan
AS mulai menguasai perkebunan-perkebunan karet. Goodyear Tyre and Rubber
membuka perkebunan-perkebunan mereka dan US Rubber membuka
perkebunan-perkebunan karet di bawah satu pemilikan yang terbesar di dunia.
Strategi AS di daerah ini sewaktu itu dapat
diringkas oleh Senator William Beveridge:
"Filipina adalah milik kita
selamanya...dan lewat Filipina adalah pasaran Cina yang tak terbatas. Kita
tidak akan mundur dari keduanya. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab
kita di kepulauan itu. Kita tidak akan meninggalkan tanggung-jawab kita di Asia
Timur. Kita tidak akan meninggalkan bagian kita di dalam misi bangsa kita,
kepercayaan Tuhan, untuk perdaban di dunia ini...kita akan maju
berkarya...dengan rasa terima kasih... dan rasa syukur kepada Tuhan kita yang
Maha Besar karena Dia telah memilih kita sebagai orang-orang terpilihNya, dan
selanjutnya memimpin dalam regenerasi dunia...Perdagangan terbesar kita mulai
sekarang harus dengan Asia. Laut Pasifik itu adalah laut kita... dan Pasifik
adalah laut perdagangan masa depan. Kekuatan yang memiliki Pasifik, adalah
kekuatan yang menguasai dunia. Dan dengan Filipina, kekuatan itu adalah dan
akan selalu menjadi Republik Amerika."
Berkembangnya imperialisme Jepang dan
ekspansinya ke Korea, Manchuria dan Cina menimbulkan pertentangan dengan
imperialisme Amerika atas penguasaan daerah-daerah itu, yang meningkat dan
meletus dalam Perang Pasifik dalam Perang Dunia Kedua. Keinginan kaum burjuis
Jepang untuk merebut kekuasaan AS, Perancis dan Belanda membawa pentingnya
Indonesia, sebagai gerbang ke Laut India dari Asia Tenggara dan sumber kekayaan
alam, ke dalam fokus.
Di tahun 1942, para kolonialis Belanda
menyerahkan kekuasaan atas Indonesia ke Jepang, daripada membiarkan rakyat
Indonesia berjuang untuk kemerdekaan. Semua kekuatan imperialis mempunyai
alasan baik untuk menakuti rakyat Indonesia yang tertindas.
Sejauh tahun 1914 wakil-wakil terbaik dari
kelas buruh Indonesia telah mengambil ajaran Marxisme ketika Assosiasi
Sosial Demokrat Indies (Indies Social Democratic Association) dibentuk
dengan inisiatif seorang komunis Belanda Hendrik Sneevliet. Di tahun 1921 itu
berubah menjadi Partai Komunis Indonesia sebagai tanggapan kepada Revolusi
Bolshevik di Rusia.
PKI mendapatkan kewenangan besar di antara
rakyat dengan memimpin perjuangan melawan kolonialisme Belanda, termasuk
pergerakan-pergerakan besar yang pertama di Jawa dan Sumatra di tahun 1926 dan
1927.
Ketika rakyat Cina sedang bergerak dalam
Revolusi Cina yang kedua di tahun 1926-27, para pekerja dan petani Indonesia
juga bergerak dalam sebuah pemberontakan, yang dipimpin PKI. Bagaimanapun juga,
kewenangan kolonial Belanda berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan
itu. Mereka menangkap 13,000 orang tertuduh, memenjarakan 4,500 dan
mengasingkan 1,308 ke dalam kamp konsentrasi di Irian Barat. PKI dilarang.
Perjuangan
Pembebasan Nasional Dikhianati
Pada akhir Perang Dunia Kedua rakyat-rakyat
tertindas di Indonesia, India, Sri Lanka, Cina dan di seluruh Asia Tenggara dan
dunia maju bergerak dalam perjuangan-perjuangan revolusioner untuk membebaskan
diri dari imperialisme.
Pada saat yang sama, kelas buruh di Eropa
dan negara-negara kapitalis mengadakan perjuangan yang menggoncangkan. Itu
hanya dapat dipadamkan melalui perkhianatan birokrasi Sovyet yang dipimpin oleh
Stalin dan partai-partai Stalinis di seluruh dunia. Pengkhianatan
pekerja-pekerja Perancis, Itali dan Yunani yang terutama, dan pendirian
rejim-rejim yang dikendalikan secara birokratis di Eropa Timur memperbolehkan
imperialisme untuk memantapkan diri.
Di tahun 1930an, munculnya sebuah kasta
berhak istimewa dalam Uni-Sovyet, yang mengambil kekuasaan politis dari kaum
proletar Sovyet, telah menghancurkan partai-partai Komunis. Dari partai-partai
Internasional revolusioner, mereka berubah menjadi organisasi-organisasi
kontra-revolusioner, yang menekan perjuangan-perjuangan mandiri kelas buruh.
Di negara-negara kolonial, partai-partai
Stalinis ini, termasuk PKI, secara sistematis mengebawahkan kepentingan rakyat
ke kelas burjuis-nasional yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Gandhi di
India dan Sukarno di Indonesia yang berusaha mencari penyelesaian dengan
kekuatan-kekuatan kolonial untuk mempertahankan kekuasaan kapitalis.
Perjanjian-perjanjian setelah Perang Dunia
Kedua tidak menghasilkan pembebasan nasional yang sejati dari imperialisme,
tetapi membebankan kepada rakyat agen-agen baru kekuasaan imperialis. Ini
adalah kasusnya di Indonesia di mana kelas burjuis nasional, dipimpin Sukarno,
mengadakan perjanjian-perjanjian reaksioner dengan Belanda.
Sukarno, putra seorang guru sekolah Jawa
yang berasal dari keluarga aristokratis, adalah lulusan arsitek, bagian dari
lapisan tipis sosial kaum petit-burjuis yang berpendidikan. Dia adalah
ketua Partai Nasional Indonesia saat itu dibentuk di tahun 1927 dan mengalami
penjara dan pengasingan di tangan Belanda karena dia mengajarkan kemerdekaan
nasional.
Dalam Perang Dunia Kedua, Sukarno dan kelas
burjuis nasional bekerja sama dengan pasukan pendudukan Jepang dengan harapan
mendapatkan semacam kemerdekaan nasional. Dalam hari-hari terakhir perang itu
Sukarno, dengan dukungan separuh-hati Jepang, mendeklarasikan Republik
Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Arahan pemimpin-pemimpin kelas burjuis
nasional ini bukanlah untuk memimpin sebuah gerakan proletar melawan
imperialisme, tetapi untuk mendirikan sebuah administrasi dan memperkuat posisi
mereka dalam tawar-menawar dengan Belanda, yang tidak mempunyai tentara di
daerah itu.
Tetapi reaksi Belanda adalah mengadakan
perang yang kejam untuk menekan rejim yang baru ini. Mereka memerintahkan
Indonesia untuk tetap di bawah perintah tentara Jepang sampai tentara Inggris
dapat mencapai wilayah itu. Inggris dan Jepang kemudian menggunakan
tentara-tentara Jepang untuk menekan perjuangan bertekad para pekerja, pemuda
dan petani Indonesia. Dengan begitu, semua kekuatan-kekuatan imperialis
bergabung melawan rakyat Indonesia.
Ketika perlawanan bersenjata meletus di
seluruh Indonesia terhadap tentara Belanda, Sukarno, dengan dukungan dari
kepemimpinan PKI, menjalankan sebuah politik kompromi dengan Belanda dan
menandatangani Perjanjian Linggarjati di bulan Maret 1947. Belanda mengenali
secara formal kekuasaan Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra dan setuju
untuk mengundurkan tentara mereka. Tetapi kenyataannya, Belanda hanya
menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mengambil napas dan memperkuat dan
mempersiapkan diri untuk sebuah serangan yang kebrutalannya tak tertandingi di
bulan Juli dan Agustus 1947.
Selama waktu ini, ratusan ribu buruh dan
petani menjadi anggota atau mendukung PKI karena mereka kehilangan kepercayaan
terhadap para pemimpin burjuis dan karena mereka memandang PKI sebagai partai
revolusioner. Mereka juga terilhami oleh kemajuan-kemajuan Partai Komunis Cina
Mao Tse Tung dalam perangnya melawan Chiang Kai-Shek. Dalam perang melawan
Belanda, buruh dan petani menduduki tanah dan bangunan-bangunan berulang-ulang
dan serikat-serikat buruh massa dibentuk.
Untuk menanggulangi perkembangan ini,
pemerintahan Republik Sukarno, yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang saat
itu masih Perdana Menteri (juga seorang anggota 'rahasia' PKI, menandatangani
Perjanjian Renville di bulan Januari 1948 (diisebut begitu karena
ditandatangani di atas USS Renville). Perjanjian ini memberi Belanda
kekuasaan atas separuh pabrik-pabrik gula di Jawa, 75 persen dari karet
Indonesia, 65 persen perkebunan kopi, 95 persen perkebunan teh dan minyak bumi
di Sumatra. Tambahan pula, penyelesaian yang diimposisi oleh AS ini menyebutkan
penarikan mundur pasukan-pasukan gerilya dari daerah-daerah yang dikuasai
Belanda dan menciptakan kondisi untuk pembubaran "unit-unit rakyat
bersenjata" yang dipimpin oleh PKI, dan untuk pembentukan "Angkatan
Bersenjata Nasional Indonesia" yang dipimpin oleh Sukarno dan jenderal-jenderalnya.
Pada tahun 1948, aksi-aksi pemogokan
menentang pemerintah Republik, yang sekarang dipimpin oleh Wakil Presiden
sayap-kanan Hatta sebagai Perdana Menteri, dan menuntut sebuah pemerintahan
berparlemen. Aksi-aksi ini dipadamkan oleh Sukarno yang mengimbau untuk
penciptaan "kesatuan nasional".
Pada saat yang sama, pemimpin PKI Musso
yang sebelumnya diasingkan, kembali dari Uni-Sovyet dan beberapa
pemimpin-pemimpin penting Partai Sosialis Indonesia dan Partai Buruh Indonesia
menyatakan bahwa mereka adalah anggota-anggota rahasia PKI selama
bertahun-tahun. Pernyataan ini menunjukkan basis dukungan untuk PKI yang jauh
lebih besar dari yang sebelumnya diperkirakan oleh kekuatan-kekuatan
imperialis.
Pada bulan Juli 1948 pemimpin-pemimpin burjuis,
termasuk Sukarno dan Hatta mengadakan pertemuan rahasia dengan wakil-wakil AS
di Sarangan di mana AS menuntut, sebagai bayaran bantuan ke pemerintah,
pengadaan pemburuan anggota-anggota PKI dalam angkatan bersenjata dan
pegawai-pegawai pemerintah. Hatta, yang juga masih Menteri Pertahanan, diberi
$10 juta untuk melakukan "pemburuan merah"
Dua bulan setelah itu, dalam sebuah
percobaan untuk menghancurkan PKI, Peristiwa Madiun dilakukan di Jawa. Beberapa
perwira angkatan bersenjata, anggota-anggota PKI, dibunuh dan yang lainnya
menghilang, setelah mereka menentang rencana-rencana untuk membubarkan
kesatuan-kesatuan gerilya angkatan bersenjata yang berada di garis depan perang
melawan Belanda.
Pembunuhan-pembunuhan ini menimbulkan
pemberontakan di Madiun yang ditekan secara berdarah oleh rejim Sukarno.
Perdana Menteri Hatta menyatakan hukum darurat. Ribuan anggota PKI dibunuh,
36,000 dipenjara dan pemimpin PKI Musso dan 11 pemimpin penting yang lainnya
dihukum mati.
Konsul-Jendral AS Livergood menelegram
atasannya di AS mengatakan bahwa dia telah memberitahu Hatta bahwa "krisis
ini memberikan pemerintahan Republik kesempatan untuk menunjukkan tekadnya
untuk menekan komunisme."
Terbesarkan hatinya karena pogrom
anti-komunis itu, Belanda menjalankan serangan militer baru di Desember 1948,
menangkap Sukarno. Tetapi perlawanan yang meluas memaksa Belanda untuk menyerah
dalam waktu enam bulan.
Meskipun begitu, konferensi Meja Bundar
tahun 1949 di Den Haag membebankan pengkhianatan-pengkhianatan baru atas rakyat
Indonesia, melibatkan konsesi-konsesi yang lebih besar dari kelas burjuis
Indonesia.
Pemerintah Sukarno setuju untuk mengambil
alih hutang-hutang koloni dan menjamin perlindungan untuk modal milik Belanda.
Belanda mendapat Irian Barat dan Republik Indonesia tetap harus bekerja sama
dengan imperialis Belanda dalam Netherlands-Indonesian Union. Pemerintah
Sukarno tetap mempertahankan hukum-hukum kolonial. Angkatan bersenjata baru
didirikan dengan menggabungkan tentara-tentara Belanda yang berasal dari
Indonesia ke dalam "Angkatan Bersenjata Nasional". Dalam kata lain
aparatus dan hukum-hukum kolonial lama dipertahankan dibalik aling-aling
pemerintahan parlemen di republik yang baru.
Kepemimpinan PKI mendukung pengkhianatan
perjuangan pembebasan nasional itu dan berusaha untuk membatasi kelas buruh dan
petani ke dalam perjuangan-perjuangan yang damai dan "demokratis".
Ini adalah terusan dari posisi PKI selama Perang Dunia Kedua ketika
kepemimpinan PKI (dengan Partai Komunis Belanda) mengikuti arahan Stalin untuk
bekerja sama dengan imperialis Belanda melawan Jepang dan menyerukan untuk
sebuah "Indonesia merdeka dalam Persemakmuran Belanda". Ini tetap
menjadi politik PKI meskipun selama perjuangan setelah Perang Dunia Kedua
melawan Belanda.
Untuk rakyat Indonesia, kepalsuan
"kemerdekaan" di bawah dominasi imperialisme Belanda, Amerika dan
dunia yang berlangsung makin menjadi jelas. Hasil-hasil alam, industri-industri
penting, perkebunan-perkebunan dan kekuatan keuangan tetap dipegang oleh perusahaan-perusahaan
asing.
Contohnya, 70 persen lalu-lintas laut antar
kepulauan masih dipegang oleh perusahaan Belanda KPM dan salah satu bank
Belanda terbesar, Nederlandche Handel Maatschappij, memegang 70 persen
dari semua transaksi keuangan Indonesia.
Menurut perhitungan pemerintah Indonesia,
di pertengahan tahun 1950an, modal Belanda di Indonesia bernilai sekitar $US 1
milyar. Pemerintah Sukarno mengatakan bahwa meskipun jika mereka ingin
menasionalisasikan kemilikan Belanda, mereka tidak mempunyai cukup uang untuk
menggantikan kerugian bekas penguasa-penguasa kolonial itu. Dan untuk
menasionalisasikan tanpa ganti-rugi adalah komunisme.
Ketidakpercayaan rakyat tercermin di
pemilihan umum 1955 ketika jumlah kursi yang dipegang PKI meningkat dari 17 ke 39.
Dalam waktu dua tahun pergerakan rakyat
akan meletus dalam penyitaan pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank,
toko-toko dan kapal-kapal milik Belanda, Amerika dan Inggris.
BAB KEDUA
Para Stalinis Mengkhianati Pergerakan Massa
Para Stalinis Mengkhianati Pergerakan Massa
Pada bulan Desember 1957 dominasi
imperialisme atas ekonomi Indonesia tergoncang oleh pergerakan massa kaum buruh
dan petani. Pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank dan kapal-kapal
laut banyak yang dirampas dan diduduki.
Rejim burjuis Sukarno bisa bertahan hanya
karena pemimpin-pemimpin Stalinis Partai Komunis Indonesia (PKI) menyabot
pergerakan massa itu, dengan menegaskan bahwa para buruh dan petani harus
menyerahkan semua yang sudah mereka sita kepada pasukan-pasukan angkatan
bersenjata yang dikirim oleh Sukarno, dengan dukungan AS, untuk mengontrol
situasi itu.
Kabar di New York Times tanggal 8
Desember 1957 memberi gambaran tentang keluasan dan kekuatan pergerakan itu:
"Pergerakan pekerja-pekerja di Jakarta, sejauh kita dapat menentukan,
terjadi tanpa ijin pemerintah, dan berlawanan dengan kata-kata Perdana Menteri
Djuanda, Kepala angkatan bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution dan
pejabat-pejabat pemerintah yang lainnya, yang mengatakan bahwa pergerakan itu
tidak dapat diterima dan orang-orang yang terlibat akan dihukum berat...
"Ketiga bank milik Belanda di sini,
the Netherlands Trading Society, the Escompto dan the Netherlands Commercial
Bank, diambil-alih oleh delegasi-delegasi pergerakan itu. Mereka membacakan
proklamasi di depan kawan-kawan seperjuangan yang penuh semangat dan kemudian
di depan para administrator-administrator dari Belanda, mengatakan bahwa atas
nama Asosiasi Pekerja Indonesia mereka merampas bank-bank ini dan mulai saat
itu akan menjadi milik Republik Indonesia."
Surat kabar Belanda "Volksrant"
mengabarkan dengan nada khawatir pada tanggal 11 Desember 1957: "Di
Jakarta para Komunis terus mengibarkan bendera-bendera merah di atas
perusahaan-perusahaan milik Belanda...Hari ini kantor pusat Philips dan Societe
D'Assurances Nillmij di Jakarta diduduki oleh orang-orang Indonesia di bawah
pimpinan perserikatan buruh Komunis."
Pergerakan ini tidak hanya terjadi di Pulau
Jawa. Menurut "New York Herald-Tribune" tanggal 16
Desember:"Pekerja-pekerja di bawah SOBSI, perserikatan buruh sentral yang
didominasi oleh para Komunis, merampas toko-toko roti Belanda dan bank-bank di
Borneo (Kalimantan)." Koran "New York Times" pada hari
yang sama mengabarkan bahwa di Palembang, ibukota Sumatra Selatan,
"pasukan-pasukan keamanan menahan sejumlah pekerja, anggota serikat buruh
yang dikontrol oleh para Komunis, karena mereka bertindak tanpa ijin menyita
tiga perusahaan Belanda. Tigapuluh tujuh bendera merah yang mereka naikkan di
depan rumah-rumah pegawai-pegawai Belanda perusahaan-perusahaan tersebut telah
disita."
Surat-surat kabar kapitalis yang lain
mengabarkan "situasi anarki di Bali" dan menurut pemilik perkebunan
Belanda yang sedang melarikan diri, di Aceh dan Deli, di pantai selatan
Sumatra, pergerakan rakyat bukan hanya ditujukan ke perusahaan-perusahaan
Belanda, tetapi juga ke perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika. Kabar-kabar
serupa juga datang dari Sumatra Utara, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya.
Ada juga kabar-kabar bahwa
pergerakan-pergerakan ini menimbulkan perlawanan di Papua New Guinea (Irian
Timur) yang diduduki oleh Australia. Di Karema, duapuluh orang terluka ketika
orang-orang pribumi melawan anggota-anggota pasukan keamanan setelah seorang
jururawat pribumi mengatakan bahwa dia merasa dihina.
Pemberontakan di Indonesia timbul sebagai
reaksi terhadap panggilan dari Sukarno untuk mengadakan pemogokan umum terhadap
perusahaan-perusahaan Belanda. Sebelum itu ia juga berbicara tentang
penasionalisasian perusahaan-perusahaan milik Belanda pada sebuah pidato umum.
Tujuan Sukarno adalah untuk menggunakan ancaman penasionalisasian sebagai cara
untuk menekan Belanda untuk meninggalkan Irian Barat, yang tetap dibawah
Belanda setelah Konferensi Meja Bundar di tahun 1949, supaya Indonesia dapat
mengambil-alihnya.
Dalam usahanya untuk mengimbangkan
keserakahan imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris; ketidakpuasan massa yang
tertindas dan berkembangnya kekuatan militer dengan dukungan Amerika - yang
makin lama makin menjadi andalan rejimnya, Sukarno berusaha menggunakan tekanan
dari rakyat untuk menekan imperialisme Belanda.
Para buruh mulai merampas dan menduduki
perusahaan-perusahaan Belanda tanpa suruhan. Sukarno sama sekali tidak
mengharapkan tanggapan seperti ini. Ia langsung memberi anggota-anggota militernya
ijin untuk mengambil-alih perusahaan-perusahaan itu dari para buruh.
Biro Politik PKI bergegas membantu Sukarno
dengan mengeluarkan resolusi untuk mengimbau rakyat untuk memecahkan secepatnya
dengan perundingan perbedaan pendapat tentang cara-cara perjuangan melawan
imperialisme Belanda, dengan demikian persatuan rakyat, antara rakyat,
pemerintah dan angkatan bersenjata dapat diperkuat."
Bersamaan dengan itu, PKI mengimbau para
pekerja "jangan hanya menjalankan perusahaan-perusahaan yang diduduki,
tetapi buat mereka bekerja lebih displin dan lebih baik dalam meningkatkan
produksi.
"Pemerintah harus mengambil keputusan
yang mampu dan patriotis untuk perusahaan-perusahaan ini, dan para pekerja
harus menunjang keputusan ini dengan seluruh kekuatan mereka."
Tambahan pula, PKI menegaskan bahwa
pengambil-alihan itu hanya berlaku terhadap perusahaan-perusahaan Belanda,
mencoba menentramkan hati imperialisme AS dan Inggris dengan mengatakan bahwa
kepentingan mereka tidak akan terganggu:"Semua pergerakan-pergerakan
buruh, petani dan organisasi-organisasi pemuda ditujukan ke kapitalis-kapitalis
Belanda. Negara-negara kapitalis yang lainnya tidak bersikap bermusuhan dalam
perang antara Belanda dan Indonesia di Irian Barat. Karena itu, tidak ada aksi terhadap
perusahaan kapitalis-kapitalis dari negara lain."
Mengenali usaha-usaha PKI untuk mematahkan
pergerakan massa, Tillman Durdin menulis di "New York Times"
tanggal 16 Desember:"Anggota-anggota Badan Penasehat National yang
berorientasi Komunis diketahui telah menentang dengan tegas penyitaan-penyitaan
yang dilakukan oleh para pekerja dan mengatakan bahwa pergerakan-pergerakan itu
adalah 'anarko-sindikalisme' tak berdisiplin. Para Komunis membela program
penyitaan yang dilangsungkan oleh pemerintah seperti sekarang ini.
Sukarno sendiri telah bersiap-siap
meninggalkan negara untuk sebuah "liburan" di India, tetapi
penyerahan perusahaan-perusahaan Belanda kepada pihak militer di bawah
instruksi PKI telah menyelamatkan rejim burjuis Sukarno. Para pemimpin Stalinis
dalam PKI tidak hanya menyelamatkan pemerintah Sukarno, mereka menimbulkan
kondisi yang mengijinkan jendral-jendral militer dan penyokong mereka di AS
untuk mempersiapkan kontra-revolusi berdarah mereka delapan tahun setelah itu.
Perspektif para pemimpin PKI adalah teori
Stalinis "revolusi dua tahap" _ yang mengatakan bahwa perjuangan
untuk sosialisme di Indonesia harus pertama melalui tahap apa yang dinamakan
kapitalisme "demokratis". Perjuangan revolusi massa untuk memperlakukan
langkah-langkah sosialis harus ditekan dan kepentingannya dikebawahkan ke
sebuah "persatuan" dengan kelas burjuis nasional.
Sejalan dengan perspektif reaksioner ini,
birokrasi-birokrasi Stalinis di Uni-Sovyet dan Cina mengelu-elukan Sukarno dan
rejimnya di dalam period ini. Sebagai contoh, Kruschev mengunjungi Jakarta dan
berkata bahwa ia akan memberi Sukarno semua bantuan dalam "segala
kemungkinan". Kenyataannya, sebagian besar senjata-senjata yang digunakan
dalam pembunuhan massa dalam kudeta 1965 adalah disediakan oleh Kremlin.
Permulaan
Persiapan Militer
Di tahun 1956 tentara Indonesia, dengan
sokongan Amerika, sudah memulai persiapan-persiapan untuk diktatur militer
untuk menekan pergerakan rakyat. Di bulan Agustus Komandan militer daerah Jawa
Barat memerintahkan penangkapan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani atas
tuduhan-tuduhan korupsi. Di bulan November, Wakil Kepala angkatan bersenjata
Kolonel Zulkifli Lubis, mencoba dengan kegagalan untuk menguasai Jakarta dan
menggulingkan pemerintahan Sukarno. Bulan berikutnya, ada kudeta militer di
daerah Sumatra Tengah dan Utara.
Pada bulan Oktober 1956 Sukarno memperkuat
kedudukannya terhadap rakyat dan menenangkan angkatan bersenjata dengan
mengimbau partai-partai politik untuk membubarkan diri. Imbauan ini setelah itu
diperluas dengan usaha untuk mendirikan Dewan Nasional yang mencakup semua
partai, termasuk PKI, untuk mengatur negara. Bilamana para kepala daerah
militer menolak rencana ini, dan mengambil-alih kekuasaan provinsi-provinsi
mereka, Sukarno mengumumkan keadaan darurat. Akhirnya, kabinet
"non-partai" yang baru dibentuk, termasuk dua pengikut PKI.
Sebagai reaksi terhadap pergerakan massa di
Desember 1957 itu, operasi imperialisme Amerika segera ditingkatkan. CIA sudah
aktif sejak tahun 1940-an, mengeluarkan jutaan dollar untuk menyubsidi
elemen-elemen pro-Amerika di dalam kelas burjuis nasional, terutama Partai
Sosialis Indonesia yang dipimpin Sumiro, kolega Hatta, dan sekutu islamnya yang
lebih besar, Partai Masyumi yang dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara,
dengan siapa Hatta juga mempunyai hubungan dekat.
Sepanjang tahun 1957 dan 1958 serangkaian
pemberontakan sesesesionis dan sayap-kanan yang dibantu oleh CIA meletus di
pulau Sumatra dan Sulawesi yang kaya minyak bumi, di mana PSI dan Masyumi
mempunyai pengaruh dominan.
Yang pertama adalah pemberontakan militer
Permesta yang mulai di bulan Maret 1957 dan berlangsung sampai ke tahun 1958,
yang berakhir dengan percobaan kudeta yang didukung oleh CIA di bulan February
1958.
Pemerintah Amerika Serikat memberikan
dukungan keuangan yang cukup besar, penasehat-penasehat militer, senjata dan
angkatan udara kecil yang terdiri dari pesawat-pesawat pembom B-26, dipiloti
dari basis-basis di Taiwan dan Filipina. Menteri Luar Negeri AS bahkan
memberikan dukungan secara terbuka untuk pemberontak-pemberontak sayap-kanan
ini. Kapal induk dari armada ketujuh Amerika dikirim ke Singapor dan sewaktu
itu kelihatannya Amerika bakal campur-tangan secara langsung di Sumatra dengan
alasan melindungi pegawai-pegawai dan pemilikan-pemilikan Caltex Oil.
Komando militer Indonesia akhirnya
memutuskan bahwa pemberontakan itu, gagal mendapatkan dukungan massa, harus
dihentikan. Pemerintahan Sukarno selamat.
Tetapi, angkatan bersenjata menjadi lebih
kuat. Selama enam tahun berikutnya, AS menuangkan uang untuk itu, meletakkan
fondasi yang mengijinkan Suharto untuk mulai menempuh jalan ke kekuasaaan
setelah memimpin operasi militer untuk mengambil-alih Irian Jaya di tahun 1962.
Antara tahun 1959 dan tahun 1965 Amerika
Serikat memberikan 64 juta dollar dalam rupa bantuan militer untuk
jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di Suara Pemuda
Indonesia:"Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43
batalion angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer
sayap-kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan
tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap
tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali
mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan
bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan
orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara
bebas".
Pada waktu yang sama, Sukarno menjalankan
sistem "Demokrasi Terpimpin"-nya. Pada bulan Juli 1959 parlemen
dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali
lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata
dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting.
PKI menyambut "Demokrasi
Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat
untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, Islam dan komunisme yang
dinamakan NASAKOM.
Dalam mengejar front nasional mereka
bersama dengan Sukarno dan kelas burjuis nasional, para pemimpin PKI
menimbulkan ilusi-ilusi yang sangat berbahaya tentang angkatan bersenjata.
Hanya lima tahun sebelum kekalahan berdarah
itu terjadi kepada para pekerja dan petani di tangan angkatan bersenjata,
arahan politis PKI dinyatakan oleh kepemimpinan SOBSI, federasi serikat pekerja
yang dipimpin oleh PKI, dalam sebuah pernyataan di Hari Buruh Internasional
bulan Mei 1960:
"SOBSI menegakkan bahwa angkatan
bersenjata Republik masih merupakan anak dari revolusi rakyat...dan dengan itu
dari para perwira sampai ke bawahan mereka dan ke tentara-tentara...mereka
tidak akan terlibat dengan aksi-aksi yang mengkhianati Republik. Selain itu,
presiden Sukarno, yang memihak rakyat, mempunyai pengaruh besar atas
pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata dan ia tidak berkehendak menjadi diktator
militer."
Pergerakan
Baru
Di tahun 1962, perebutan militer Irian
Barat oleh Indonesia mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga
mendukung penekanan perlawanan penduduk Irian Jaya terhadap pendudukan itu.
Di Indonesia sendiri, ketegangan ekonomi
dan kelas yang mendasar, yang diakibatkan oleh berlanjutnya pemerasan rakyat
oleh perusahaan-perusahaan imperialis dan kelas burjuis nasional, muncul
kembali.
Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu
kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan
masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun,
foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
Dari tahun 1963 terus, kepemimpinan PKI
makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis
massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan
"kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI D N
Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi".
Pada bulan April 1964, dalam interview
dengan S M Ali dari "Far Eastern Economic Review" Aidit menetapkan
untuk kaum burjuis nasional perspektif Stalinis untuk perubahan yang damai dan
berangsur-angsur ke arah sosialisme yang terdiri dari "dua tahap" di Indonesia.
"Bila kita sudah mencapai tahap
pertama dari revolusi kita, yang sedang berlangsung sekarang, kita akan bisa
mengadakan konsultasi yang damai dengan elemen-elemen progresif lain di
masyarakat kita dan tanpa perjuangan bersenjata kita akan membawa negara kita
ke revolusi sosialis."
Dia memberikan sebuah senario di mana
rakyat akan terbatas dalam fungsi mempengaruhi kaum burjuis
nasional:"Pengaruh dari tahap sekarang dari revolusi ini akan menetapkan
pengaruh revolusioner atas kapitalis-kapitalis nasional Indonesia.
"Tidak akan ada perjuangan bersenjata
kecuali bila ada intervensi asing memihak para kapitalis. Dan bila kita
berhasil menyelesaikan tahap ini dalam revolusi demokratik nasional kita,
kemungkinan satu kekuatan asing bercampur-tangan dalam urusan nasional
Indonesia akan menjadi sangat kecil."
Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan
semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian"
kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan
ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik
tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau
semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap
para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain,
termasuk angkatan bersenjata.
Dalam sebuah pertemuan Komite Sentral PKI
Aidit mendorong penindasan pergerakan para petani itu dan mencela kader partai
yang "terbawa oleh semangat untuk menyebar-luaskan pergerakan petani dan
menjadi tidak sabar dan melakukan tindakan heroisme individual, tidak berpikir
untuk mengembangkan kesadaran para petani dan menginginkan suatu kejadian yang
tertentu, tidak berhati-hati dalam memisahkan dan memilih target-target
mereka."
Para pemimpin PKI menghalalkan
pemberhentian perampasan tanah dan pengembalian ke pemilik-pemiliknya dengan
menunjuk kepada "kemungkinan yang akan datang untuk pembentukan
"kabinet NASAKOM".
Pada permulaan 1965, para buruh mulai
menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI
menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama,
jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di
sebelah para tukang jagal militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka
terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah
merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa
sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan
kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara
Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".
Dengan cara ini, para Stalinis dalam PKI
melucuti para pekerja dalam PKI yang paling sadar akan kelasnya. Pengertian
dasar Marxis tentang negara sebagai "badan orang-orang bersenjata"
yang digunakan oleh kelas penguasa untuk menjaga kekuasaannya telah disangkal
secara kriminal.
Aidit berusaha secepatnya untuk menenangkan
kaum burjuis dan pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata bahwa PKI menentang
mobilisasi revolusioner massa. "Hal yang penting di Indonesia sekarang
bukanlah meruntuhkan kekuatan negara seperti halnya di negeri-negeri lain,
tetapi memperkuat dan mendalamkan aspek pro-rakyat...dan menyingkirkan aspek
anti-rakyat".
Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap
para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI
tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan
NASAKOM.
Tidak lama sebelum kudeta terjadi, PKI,
mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk rejim militer, menyatakan
keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan
bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya
memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman
militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk
membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum
kapitalis negara.
Mereka bahkan menyembah di depan
jendral-jendral militer, berusaha menenangkan mereka bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Sampai akhir,
kepemimpinan PKI berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di
Indonesia.
Meskipun di bulan Mei 1965, Politbiro PKI
masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang dirubah untuk
memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara:
"Kekuatan dari aspek-aspek pro-rakyat
(dalam aparatus negara) sudah bertambah kuat dan mempunyai inisiatif dan
ofensif, dan aspek anti-rakyat, walaupun masih cukup kuat, sedang terpojok. PKI
berjuang supaya aspek pro-rakyat akan menjadi bertambah kuat dan akan berkuasa dan
aspek anti-rakyat akan dikeluarkan dari kekuasaan negara."
Kaum buruh Indonesia dan seluruh dunia
membayar mahal untuk pengkhianatan Stalinis ini waktu Suharto dan
jendral-jendral militer bergerak pada tanggal 30 September 1965.
BAB KETIGA
1965-Warisan Berdarah Stalinisme
1965-Warisan Berdarah Stalinisme
Kudeta di Indonesia tanggal 1-2 Oktober
1965 adalah hasil dari sebuah operasi yang sudah lama direncanakan secara
hati-hati oleh CIA dan komandan-komandan militer TNI yang dilatih oleh AS.
Selama tahun 1965 perselisihan-perselisihan
antara kelas meningkat. Tahun itu mulai dengan para petani merampas pemilikan
para tuan tanah besar dan pekerja-pekerja di perusahaan-perusahaan karet dan
minyak bumi milik AS melakukan aksi pendudukan. Presiden Sukarno telah
memasukkan jendral-jendral militer, yang dipimpin oleh Jendral Nasution, dan
kepemimpinan PKI ke dalam kabinetnya untuk menekan pergerakan ini.
Kepemimpinan PKI berhasil menekan aksi-aksi
pendudukan, tetapi pergerakan massa ini menjadi semakin sulit untuk
dikendalikan. Kemarahan massa berkembang dengan dipenjaranya 23 petani, dengan
hukuman antara 15 sampai 20 tahun, atas tuduhan memukuli seorang tentara sampai
fatal dalam mempertahankan diri mereka terhadap operasi militer untuk
menghentikan aksi-aksi perampasan tanah di Sumatra.
Pada malam 30 September 1965, sebuah
provokasi yang didalangi CIA dilaksanakan. Sekelompok perwira menengah, yang
paling sedikit satu mempunyai koneksi dekat dengan Suharto, menahan dan
membunuh komandan angkatan bersenjata Letnan-Jendral Ahmad Yani dan lima
jendral tingkat atas yang lain, dan menyatakan pembentukan sebuah Dewan
Revolusioner.
Penculikkan jendral-jendral ini tidak
mencakup dua orang penting. Yang pertama adalah Suharto, yang pada waktu itu
adalah komandan Kostrad, yang terdiri dari tentara-tentara elit angkatan darat.
Para pemberontak ini, yang dipimpin oleh Letnan-Kolonel Untung tidak berusaha
sedikit pun untuk menangkap Suharto atau menyerang pusat komandonya di Jakarta
walaupun ia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan hal ini. Menteri Pertahanan
Jendral Nasution, juga tidak dicakup. Dia dikatakan sebagai calon korban
pemberontakan ini, tetapi dapat menyelamatkan diri secara ajaib.
Pemberontakan oleh Untung ini adalah palsu.
Dalam 24 jam Suharto dapat mengalahkan semua pemberontak ini, hampir tanpa ada
peluru melayang, dan mengambil-alih kontrol di Jakarta, dengan dukungan dari
Nasution.
Di akhir minggu itu, komando yang dibentuk
oleh Suharto membersihkan semua kantong-kantong perlawanan, dan melaksanakan
pembantaian anti-komunis terbesar di sejarah yang didalangi oleh Kedutaan AS
dan CIA. Pentagon dan CIA, yang pada waktu itu sudah terlibat dalam perang
rahasia di Vietnam, bertekad untuk menenggelamkan revolusi Indonesia dalam
darah.
Diplomat-diplomat AS dan perwira-perwira CIA,
dipimpin oleh Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, bekerja sama
dengan tukang-tukang jagal Suharto untuk membasmi setiap anggota dan pendukung
PKI yang diketahui.
Bencana
yang Didalangi CIA
Dalam mempersiapkan kudeta ini, pejabat-pejabat
AS sudah menghabiskan paling sedikit dua tahun untuk membuat daftar-daftar maut
ini yang diberikan kepada angkatan bersenjata dengan instruksi yang jelas:
bunuhlah semuanya. Anak-buah Suharto diperintahkan untuk melapor kembali setiap
sejumlah pembunuhan telah dilaksanakan supaya nama-nama korban mereka dapat
dicocokkan dengan nama-nama di daftar-daftar itu.
Beberapa perwira-perwira AS yang berikut-serta mengatakan baru-baru ini apa yang terjadi. "Itu adalah bantuan yang besar untuk angkatan bersenjata," kata seorang bekas pejabat bagian politik di Duta Besar AS di Jakarta, Robert Martens. "Mereka mungkin membunuh banyak orang dan saya mungkin punya darah di tangan saya, tetapi itu tidak semuanya jelek."
"Suatu waktu kamu harus memukul keras pada waktu yang tepat."
Martens memimpin pejabat-pejabat CIA dan Departemen Luar Negeri di kedutaan besar AS, yang dari tahun 1962, menyusun keterangan mendetil tentang siapa saja yang duduk di dalam kepemimpinan PKI. Itu termasuk nama-nama anggota komite-komite PKI di tingkat provinsi, kota dan lokal; dan pemimpin-pemimpin perserikatan-perserikatan kerja yang didukung PKI, dan perserikatan-perserikatan wanita dan pemuda.
Operasi ini didalangi oleh bekas direktur CIA William Colby, yang pada waktu itu adalah direktur Divisi Asia Timur CIA, dan dengan itu menjadi bertanggung-jawab atas pengarahan strategi rahasia AS di Asia. Colby mengatakan bahwa mencari pengetahuan tentang kepemimpinan PKI menjadi latihan untuk program Phoenix di Vietnam, yang merupakan usaha untuk memusnahkan semua pendukung Front Kemerdekaan Nasional di akhir dekade 1960-an.
Colby mengakui bahwa mengecek nama-nama di daftar-daftar maut itu dianggap sangat penting sampai itu diawasi oleh direktorat intelijen CIA di Washington. "Kita berkesimpulan bahwa dengan perlakuan secara keji seperti itu, PKI telah mengalami kemunduran yang besar."
Wakil kepala pos CIA menggambarkan dengan rasa senang yang tak tersembunyi bagaimana markas Suharto di Jakarta memberikan kedutaan besar AS laporan secara berlanjut tentang pencakupan dan pembunuhan pemimpin-pemimpin PKI. "Kita mendapatkan laporan yang jelas di Jakarta tentang siapa yang dicakup. Angkatan bersenjata mempunyai 'daftar penembakan' untuk sekitar 4,000 sampai 5,000 orang.
"Mereka tidak punya cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa orang masih berharga untuk diinterogasi. Rangka dasar organisasi mereka telah runtuh hampir seketika itu. Kita tahu apa yang mereka kerjakan. Kita tahu bahwa mereka akan menyelamatkan beberapa untuk pengadilan pura-pura mereka, tetapi Suharto dan penasehat-penasehatnya berkata bila kamu biarkan mereka hidup kamu harus memberi mereka makan."
Semua ini dijalankan dengan persetujuan Green yang setelah itu dilantik menjadi duta besar AS untuk Australia, di mana ia memainkan peranan penting dalam pembubaran pemerintah Whitlam di tahun 1975.
Paling sedikit satu juta orang dibantai dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Ini adalah perkiraan dari sebuah kelompok lulusan Universitas Indonesia yang diperintah oleh angkatan bersenjata itu sendiri untuk menyelidiki kesebar-luasan pembunuhan-pembunuhan ini.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Laporan lain mengatakan bahwa di Batu di Jawa Timur banyak sekali yang dibunuh di halaman kecil kantor polisi di sana sampai mayat-mayat itu dikubur di bawah semen.
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35,000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesianya Sukarno, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan anti-cina terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Baru-baru ini empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu, tanda jelas bahwa rejim Suharto masih menakuti kebangkitan kaum proletar Indonesia dan petani-petani yang miskin.
Pengkhianatan
Stalinis mendalam
Ketika ratusan ribu anggota dan pendukung
PKI sedang diburu dan dibinasakan, kepemimpinan PKI dan rekan-rekannya di
Kremlin, Beijing dan Partai Komunis Australia (CPA) menganjurkan kader PKI,
pekerja dan massa petani untuk tidak melawan, memberikan lampu hijau untuk jendral-jendral
militer untuk melakukan eksekusi massa itu.
Para Stalinis mendalamkan posisi reaksioner mereka yang meminta rakyat untuk mengebawahkan kepentingan mereka untuk kaum burjuis nasional dan Sukarno, yang digunakan oleh Suharto sebagai presiden boneka dan untuk angkatan bersenjata.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune":
"Setelah mempelajari seruan ke Panglima Tertinggi angkatan bersenjata Republik Indonesia, dari pemimpin revolusi Indonesia, presiden Sukarno, Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis Indonesia menyatakan dukungan penuh untuk seruan itu dan memohon kepada semua komite dan anggota partai dan para pendukung, juga organisasi-organisasi revolusioner massa yang dipimpin oleh anggota-anggota PKI untuk memungkinkan pelaksanaan seruan itu."
Sementara itu, Sukarno, "pemimpin revolusi Indonesia", sedang bekerjasama dengan penindasan militer itu berharap untuk menyelamatkan lehernya sendiri. Dia memerintahkan pembasmian menyeluruh semua yang dianggap terlibat dalam "peristiwa 30 September" (percobaan kudeta yang dituduhkan dipimpin oleh Kolonel Untung), dan mengijinkan pencakupan dan pembunuhan pemimpin-pemimpin PKI. Pada tanggal 15 Oktober ia melantik Suharto sebagai Panglima angkatan bersenjata.
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dihukum mati oleh angkatan bersenjata pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto. Dalam sebuah interview dengan seorang koresponden koran Jepang dia menekankan:
"PKI hanya mengenal satu kepala negara, satu komandan tertinggi, satu pemimpin besar revolusi kita - Presiden Sukarno...Presiden Sukarno menyatukan semua kekuatan-kekuatan rakyat yang akan memutuskan nasib Indonesia."
Semua anggota, kata Nyoto, harus "mendukung penuh perintah-perintah Presiden Sukarno dan berjanji untuk melaksanakan semua itu tanpa ragu...Partai kita berusaha dalam segala kemampuannya untuk mencegah perang saudara."
Dalam kata-kata lain, sementara tukang-tukang jagal militer dan penasehat-penasehat CIA mereka sedang melakukan likuidasi sistematis bukan saja pemimpin-pemimpin PKI, tetapi juga seksi-seksi masyarakat Indonesia yang paling sadar-kelas, PKI memerintahkan kader mereka untuk tidak melawan.
Kebangkrutan dan kebusukan teori "dua-tahap" Stalinis yang bersikeras bahwa rakyat harus mengikat nasib mereka ke Sukarno dan kaum burjuis nasional tidak dapat ditunjukkan secara lebih jelas.
Pengkhianatan oleh PKI dipuji dan didukung oleh birokrasi-birokrasi Stalinis di Moskow dan Beijing. Kremlin menyalahkan elemen-elemen "pemberontak" dan "petualang" dalam PKI untuk kekalahan ini dan mengimbau berulang-ulang untuk "persatuan" revolusi Indonesia dalam NASAKOM-nya Sukarno.
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno:"Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam sebuah Konperensi Tiga Benua di Havana di bulan February 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan teror kontra-revolusi yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Demikian, pengkhianatan para Stalinis adalah sangat jelas sampai parlemen piaraan junta militer ini dapat mengatakan bahwa kejadian yang diatur oleh CIA pada tanggal 30 September adalah percobaan kontra-revolusioner!
Para Stalinis di Beijing juga mencuci tangan mereka dari nasib rakyat Indonesia. Mereka bahkan datang ke Jakarta untuk Konperensi Dunia melawan Pangkalan-Pangkalan Asing dan berdiri tanpa protes waktu kamerad-kamerad mereka dari Indonesia sedang dicakup di dalam ruang konperensi itu.
Para Stalinis mendalamkan posisi reaksioner mereka yang meminta rakyat untuk mengebawahkan kepentingan mereka untuk kaum burjuis nasional dan Sukarno, yang digunakan oleh Suharto sebagai presiden boneka dan untuk angkatan bersenjata.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune":
"Setelah mempelajari seruan ke Panglima Tertinggi angkatan bersenjata Republik Indonesia, dari pemimpin revolusi Indonesia, presiden Sukarno, Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis Indonesia menyatakan dukungan penuh untuk seruan itu dan memohon kepada semua komite dan anggota partai dan para pendukung, juga organisasi-organisasi revolusioner massa yang dipimpin oleh anggota-anggota PKI untuk memungkinkan pelaksanaan seruan itu."
Sementara itu, Sukarno, "pemimpin revolusi Indonesia", sedang bekerjasama dengan penindasan militer itu berharap untuk menyelamatkan lehernya sendiri. Dia memerintahkan pembasmian menyeluruh semua yang dianggap terlibat dalam "peristiwa 30 September" (percobaan kudeta yang dituduhkan dipimpin oleh Kolonel Untung), dan mengijinkan pencakupan dan pembunuhan pemimpin-pemimpin PKI. Pada tanggal 15 Oktober ia melantik Suharto sebagai Panglima angkatan bersenjata.
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dihukum mati oleh angkatan bersenjata pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto. Dalam sebuah interview dengan seorang koresponden koran Jepang dia menekankan:
"PKI hanya mengenal satu kepala negara, satu komandan tertinggi, satu pemimpin besar revolusi kita - Presiden Sukarno...Presiden Sukarno menyatukan semua kekuatan-kekuatan rakyat yang akan memutuskan nasib Indonesia."
Semua anggota, kata Nyoto, harus "mendukung penuh perintah-perintah Presiden Sukarno dan berjanji untuk melaksanakan semua itu tanpa ragu...Partai kita berusaha dalam segala kemampuannya untuk mencegah perang saudara."
Dalam kata-kata lain, sementara tukang-tukang jagal militer dan penasehat-penasehat CIA mereka sedang melakukan likuidasi sistematis bukan saja pemimpin-pemimpin PKI, tetapi juga seksi-seksi masyarakat Indonesia yang paling sadar-kelas, PKI memerintahkan kader mereka untuk tidak melawan.
Kebangkrutan dan kebusukan teori "dua-tahap" Stalinis yang bersikeras bahwa rakyat harus mengikat nasib mereka ke Sukarno dan kaum burjuis nasional tidak dapat ditunjukkan secara lebih jelas.
Pengkhianatan oleh PKI dipuji dan didukung oleh birokrasi-birokrasi Stalinis di Moskow dan Beijing. Kremlin menyalahkan elemen-elemen "pemberontak" dan "petualang" dalam PKI untuk kekalahan ini dan mengimbau berulang-ulang untuk "persatuan" revolusi Indonesia dalam NASAKOM-nya Sukarno.
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno:"Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam sebuah Konperensi Tiga Benua di Havana di bulan February 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan teror kontra-revolusi yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Demikian, pengkhianatan para Stalinis adalah sangat jelas sampai parlemen piaraan junta militer ini dapat mengatakan bahwa kejadian yang diatur oleh CIA pada tanggal 30 September adalah percobaan kontra-revolusioner!
Para Stalinis di Beijing juga mencuci tangan mereka dari nasib rakyat Indonesia. Mereka bahkan datang ke Jakarta untuk Konperensi Dunia melawan Pangkalan-Pangkalan Asing dan berdiri tanpa protes waktu kamerad-kamerad mereka dari Indonesia sedang dicakup di dalam ruang konperensi itu.
Warisan
'Blok Empat Kelas'
Pengkhianatan Stalinis di tahun 1965 adalah
puncak dari lebih dari duapuluh tahun pengkhianatan di mana PKI, bekerja
berdasarkan teori Stalinis "dua-tahap" dan, khususnya, ideologi Maois
"blok empat kelas", mengikat kelas pekerja dan para petani ke rejim
burjuis nasionalis Sukarno.
Aidit mengatakan susunan ideologi kekalahan berdarah revolusi Indonesia tidak lama setelah kembalinya dari 18 bulan di Cina di Juli 1950 dan merebut kepemimpinan PKI:
"Kelas pekerja, para petani, kelas menengah dan kelas burjuis nasional harus bersatu dalam sebuah front nasional."
Aidit mengikuti dengan patuh jalan rejim Maois di Cina yang menindas pergerakan mandiri kelas pekerja dan berusaha untuk mendirikan sebuah "Demokrasi Baru", sebuah negara burjuis, dalam kerjasama dengan bagian-bagian dari kelas burjuis nasional dan kelas petit burjuis setelah runtuhnya diktatur Chiang Kai-Shek.
Membeokan Mao, dia menyerukan untuk sebuah "demokrasi rakyat" dan sebuah "front gabungan semua elemen-elemen anti-imperialis dan anti-feodal dalam negeri. Yaitu, kaum pekerja, para petani, kaum petit-burjuis dan kaum burjuis nasional."
Sesuai dengan teori kontra-revolusioner "dua-tahap" Stalinisme, "Tugas dari persekutuan ini adalah untuk membawa keadaan untuk, bukan sosialisme, tetapi perubahan ke arah demokrasi."
Aidit memminta para pekerja dan petani mendukung bukan hanya kelas burjuis nasional, tetapi juga "semua elemen patriotik dan anti-kolonial termasuk kelompok tuan-tanah sayap kiri (agak progresif).
Jurusan inilah, yang dikatakan oleh Aidit tanpa henti, yang digunakan untuk menekan pergerakan-pergerakan kaum pekerja dan para petani, mengikat kaum pekerja ke rejim Sukarno, dan menciptakan keadaan yang mengijinkan angkatan bersenjata untuk menyerang.
Berkali-kali anggota-anggota dan para pendukung PKI diperintahkan untuk menahan perjuangan kelas dan semangat revolusi rakyat yang tertindas untuk mempertahankan "front bersatu nasional".
"Prinsip dasar yang harus kita ikuti dalam melancarkan perjuangan nasional adalah membawahkan kepentingan rakyat untuk perjuangan nasional."
Teori "dua-tahap" Stalinisme bersikeras bahwa di negara-negara koloni dan semi-koloni seperti Indonesia, rakyat tidak boleh mengadakan pergerakan-pergerakan yang mengancam kelas burjuis nasional atau mengemukakan program revolusi sosialis. Perjuangan kelas harus ditahan untuk mendukung kelas burjuis nasional dan mendirikan sebuah demokrasi kapitalis nasional.
Akibat kontra-revolusi berdarah dari arahan Stalinis ini menunjukkan diri pertama kali di Cina di tahun 1926-27 ketika tukang jagal Chiang Kai-Shek menundukkan kelas pekerja di Cina setelah Partai Komunis di sana diberi perintah oleh Kremlin untuk menggabungkan diri dengan kaum burjuis nasionalis dalam Kuomintang.
Pembunuhan-pembunuhan besar yang dilakukan oleh Chiang Kai-Shek menegaskan peringatan-peringatan Trotsky bahwa kaum-kaum burjuis yang lemah dan yang munculnya terlambat dalam sejarah, pada dasarnya tidak dapat untuk melancarkan perjuangan konsisten terhadap imperialisme dan feodalisme. Itu karena untuk melakukan perjuangan itu diperlukanlah penggerakan rakyat dalam sebuah perjuangan revolusioner dan perjuangan seperti itu akan segera menjadi berlawanan dengan posisi kelas kaum burjuis nasional sebagai pemeras kaum pekerja dan petani.
Seperti Trotsky jelaskan dalam tulisannya tentang pengkhianatan Revolusi Cina:
Penggerakan kaum pekerja dan petani terhadap imperialisme hanya dapat dicapai dengan menghubungkan isu-isu dasar dalam kehidupan mereka dengan tujuan kemerdekaan negara. Sebuah aksi mogok pekerja - besar atau kecil - sebuah pemberontakan agraris, pergerakan para rakyat tertindas di kota dan desa terhadap para lintah-darat, terhadap birokrasi, terhadap militer lokal, semua itu membangkitkan banyak hal, yang menggalang mereka bersama, yang mendidik, menguatkan, adalah merupakan sebuah langkah maju yang nyata di jalan ke pembebasan sosial dan revolusioner untuk rakyat Cina...Tetapi segala yang membuat rakyat yang tertindas dan tereksploitasi bertindak akan pasti akan mendorong kaum burjuis nasional ke dalam blok dengan para imperialis. Bentrokan kelas antara kaum burjuis dan para pekerja dan petani tidak akan diperlemah, tetapi sebaliknya akan diperkuat oleh penidasan imperialis, sampai ke perang saudara pada setiap ketegangan serius. (Trotsky, Problems of the Chinese Revolution, New Park 1969 p5).
Peranan kriminal PKI dalam mengikat rakyat Indonesia ke rejim burjuis Sukarno membuat analisa Trotsky bersifat ramalan secara tragis.
Tugas-tugas untuk mengadakan kemerdekaan nasional yang sejati, pembagian kembali tanah, demokrasi dan perkembangan ekonomi yang tak terselesaikan di Indonesia dan negeri-negeri lain yang tertindas menurut sejarah, hanya dapat dilaksanakan dengan kelas pekerja memimpin para petani dalam revolusi sosialis. Yaitu, penentuan nasib sendiri hanya akan terjadi sebagai hasil tambahan dari revolusi sosialis yang dipimpin oleh kaum proletar.
Kemenangan perjuangan ini terikat erat dengan perkembangan revolusi sosialis dunia untuk menggulingkan imperialisme sedunia.
Ini adalah dasar dari teori Marxis Revolusi Permanen yang dikembangkan oleh Leon Trotsky dan dibuktikan oleh kemenangan Revolusi Rusia Oktober 1917.
Aidit mengatakan susunan ideologi kekalahan berdarah revolusi Indonesia tidak lama setelah kembalinya dari 18 bulan di Cina di Juli 1950 dan merebut kepemimpinan PKI:
"Kelas pekerja, para petani, kelas menengah dan kelas burjuis nasional harus bersatu dalam sebuah front nasional."
Aidit mengikuti dengan patuh jalan rejim Maois di Cina yang menindas pergerakan mandiri kelas pekerja dan berusaha untuk mendirikan sebuah "Demokrasi Baru", sebuah negara burjuis, dalam kerjasama dengan bagian-bagian dari kelas burjuis nasional dan kelas petit burjuis setelah runtuhnya diktatur Chiang Kai-Shek.
Membeokan Mao, dia menyerukan untuk sebuah "demokrasi rakyat" dan sebuah "front gabungan semua elemen-elemen anti-imperialis dan anti-feodal dalam negeri. Yaitu, kaum pekerja, para petani, kaum petit-burjuis dan kaum burjuis nasional."
Sesuai dengan teori kontra-revolusioner "dua-tahap" Stalinisme, "Tugas dari persekutuan ini adalah untuk membawa keadaan untuk, bukan sosialisme, tetapi perubahan ke arah demokrasi."
Aidit memminta para pekerja dan petani mendukung bukan hanya kelas burjuis nasional, tetapi juga "semua elemen patriotik dan anti-kolonial termasuk kelompok tuan-tanah sayap kiri (agak progresif).
Jurusan inilah, yang dikatakan oleh Aidit tanpa henti, yang digunakan untuk menekan pergerakan-pergerakan kaum pekerja dan para petani, mengikat kaum pekerja ke rejim Sukarno, dan menciptakan keadaan yang mengijinkan angkatan bersenjata untuk menyerang.
Berkali-kali anggota-anggota dan para pendukung PKI diperintahkan untuk menahan perjuangan kelas dan semangat revolusi rakyat yang tertindas untuk mempertahankan "front bersatu nasional".
"Prinsip dasar yang harus kita ikuti dalam melancarkan perjuangan nasional adalah membawahkan kepentingan rakyat untuk perjuangan nasional."
Teori "dua-tahap" Stalinisme bersikeras bahwa di negara-negara koloni dan semi-koloni seperti Indonesia, rakyat tidak boleh mengadakan pergerakan-pergerakan yang mengancam kelas burjuis nasional atau mengemukakan program revolusi sosialis. Perjuangan kelas harus ditahan untuk mendukung kelas burjuis nasional dan mendirikan sebuah demokrasi kapitalis nasional.
Akibat kontra-revolusi berdarah dari arahan Stalinis ini menunjukkan diri pertama kali di Cina di tahun 1926-27 ketika tukang jagal Chiang Kai-Shek menundukkan kelas pekerja di Cina setelah Partai Komunis di sana diberi perintah oleh Kremlin untuk menggabungkan diri dengan kaum burjuis nasionalis dalam Kuomintang.
Pembunuhan-pembunuhan besar yang dilakukan oleh Chiang Kai-Shek menegaskan peringatan-peringatan Trotsky bahwa kaum-kaum burjuis yang lemah dan yang munculnya terlambat dalam sejarah, pada dasarnya tidak dapat untuk melancarkan perjuangan konsisten terhadap imperialisme dan feodalisme. Itu karena untuk melakukan perjuangan itu diperlukanlah penggerakan rakyat dalam sebuah perjuangan revolusioner dan perjuangan seperti itu akan segera menjadi berlawanan dengan posisi kelas kaum burjuis nasional sebagai pemeras kaum pekerja dan petani.
Seperti Trotsky jelaskan dalam tulisannya tentang pengkhianatan Revolusi Cina:
Penggerakan kaum pekerja dan petani terhadap imperialisme hanya dapat dicapai dengan menghubungkan isu-isu dasar dalam kehidupan mereka dengan tujuan kemerdekaan negara. Sebuah aksi mogok pekerja - besar atau kecil - sebuah pemberontakan agraris, pergerakan para rakyat tertindas di kota dan desa terhadap para lintah-darat, terhadap birokrasi, terhadap militer lokal, semua itu membangkitkan banyak hal, yang menggalang mereka bersama, yang mendidik, menguatkan, adalah merupakan sebuah langkah maju yang nyata di jalan ke pembebasan sosial dan revolusioner untuk rakyat Cina...Tetapi segala yang membuat rakyat yang tertindas dan tereksploitasi bertindak akan pasti akan mendorong kaum burjuis nasional ke dalam blok dengan para imperialis. Bentrokan kelas antara kaum burjuis dan para pekerja dan petani tidak akan diperlemah, tetapi sebaliknya akan diperkuat oleh penidasan imperialis, sampai ke perang saudara pada setiap ketegangan serius. (Trotsky, Problems of the Chinese Revolution, New Park 1969 p5).
Peranan kriminal PKI dalam mengikat rakyat Indonesia ke rejim burjuis Sukarno membuat analisa Trotsky bersifat ramalan secara tragis.
Tugas-tugas untuk mengadakan kemerdekaan nasional yang sejati, pembagian kembali tanah, demokrasi dan perkembangan ekonomi yang tak terselesaikan di Indonesia dan negeri-negeri lain yang tertindas menurut sejarah, hanya dapat dilaksanakan dengan kelas pekerja memimpin para petani dalam revolusi sosialis. Yaitu, penentuan nasib sendiri hanya akan terjadi sebagai hasil tambahan dari revolusi sosialis yang dipimpin oleh kaum proletar.
Kemenangan perjuangan ini terikat erat dengan perkembangan revolusi sosialis dunia untuk menggulingkan imperialisme sedunia.
Ini adalah dasar dari teori Marxis Revolusi Permanen yang dikembangkan oleh Leon Trotsky dan dibuktikan oleh kemenangan Revolusi Rusia Oktober 1917.
BAB KEEMPAT
Antek-Antek Kontra Revolusi Pablois
Antek-Antek Kontra Revolusi Pablois
Dalam bulan-bulan setelah kudeta militer
yang diatur oleh CIA tanggal 1-2 Oktober 1965, semua anggota dan pendukung PKI,
semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani
Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi untuk
disiksa dan diinterogasi.
Pemusnahan sistematis dan penindasan yang kejam oposisi kelas buruh ini semakin bertambah setelah 11 Maret 1966 waktu Sukarno, pemimpin nasionalis burjuis yang dipertahankan oleh aparat militer sebagai presiden, memberi Jendral Suharto kekuasaan tak terbatas.
Pengkhianatan pergerakan besar revolusioner rakyat Indonesia oleh kepemimpinan Stalinis PKI adalah sebuah kekalahan yang mendalam dengan implikasi-implikasi besar untuk kelas pekerja seluruh dunia.
PKI berkali-kali menahan usaha-usaha para pekerja dan petani untuk menduduki pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan. Mereka mengikat pergerakan ini dengan rejim burjuis Sukarno dan pada akhirnya bergabung dengan aparat-aparat tingkat atas militer yang didukung AS, calon-calon tukang jagal massa, dalam kabinet Sukarno. Setelah kudeta itu, para Stalinis memerintah kader mereka untuk menjalankan imbauan Sukarno untuk menciptakan "persatuan" dengan para aparat militer dan untuk mencegah segala perlawanan terhadap pembantaian yang sedang dilaksanakan.
Pukulan terhadap revolusi Indonesia bergema di seluruh Asia dan dunia. Khususnya itu memudahkan dan memungkinkan peningkatan penyerangan Vietnam oleh AS, menghancurkan harapan dan semangat revolusi rakyat di Malaysia, Thailand, Filipina dan memperkuat rejim-rejim burjuis yang sedang goyah di anak benua India.
Pemusnahan sistematis dan penindasan yang kejam oposisi kelas buruh ini semakin bertambah setelah 11 Maret 1966 waktu Sukarno, pemimpin nasionalis burjuis yang dipertahankan oleh aparat militer sebagai presiden, memberi Jendral Suharto kekuasaan tak terbatas.
Pengkhianatan pergerakan besar revolusioner rakyat Indonesia oleh kepemimpinan Stalinis PKI adalah sebuah kekalahan yang mendalam dengan implikasi-implikasi besar untuk kelas pekerja seluruh dunia.
PKI berkali-kali menahan usaha-usaha para pekerja dan petani untuk menduduki pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan. Mereka mengikat pergerakan ini dengan rejim burjuis Sukarno dan pada akhirnya bergabung dengan aparat-aparat tingkat atas militer yang didukung AS, calon-calon tukang jagal massa, dalam kabinet Sukarno. Setelah kudeta itu, para Stalinis memerintah kader mereka untuk menjalankan imbauan Sukarno untuk menciptakan "persatuan" dengan para aparat militer dan untuk mencegah segala perlawanan terhadap pembantaian yang sedang dilaksanakan.
Pukulan terhadap revolusi Indonesia bergema di seluruh Asia dan dunia. Khususnya itu memudahkan dan memungkinkan peningkatan penyerangan Vietnam oleh AS, menghancurkan harapan dan semangat revolusi rakyat di Malaysia, Thailand, Filipina dan memperkuat rejim-rejim burjuis yang sedang goyah di anak benua India.
Mandel
dan Hansen menutupi pengkhianatan Stalinis
Tetapi jawaban para revisionis Pablois
dalam "Sekretariat Tergabung" (United Secretariat) yang dipimpin oleh
Ernest Mandel dan Joseph Hansen, adalah untuk meremehkan akibat dari
pengkhianatan di Indonesia itu, menutupi peran kontra-revolusioner para Stalinis
dan, yang terpenting, menutupi tanggung-jawab mereka sendiri dalam pertumpahan
darah ini.
Pada saat rakyat Indonesia sedang mengalami pembunuhan massa, Profesor Mandel berusaha untuk menggambarkan prospek-prospek yang cerah untuk revolusi Indonesia, untuk menumpulkan kesadaran kelas pekerja internasional.
"Tentu saja perjuangan di Indonesia masih belum berhenti," tulisnya di dalam keenakkan kursi universitas Belgia-nya dalam artikel yang dicetak dalam jurnal Pablois "World Outlook" tanggal 11 Maret 1966.
"Sebagian dari kader komunis telah berhasil bersembunyi di bawah-tanah," dia teruskan. "Kemarahan rakyat yang kelaparan tumbuh setiap hari; perut-perut para pekerja dan petani yang kosong tidak akan terisi oleh pembunuhan-pembunuhan itu. Pemberontakan itu akan menyebar-luas melawan rejim yang korup itu. Sukarno mengerti masalah ini dan akan memulai pengimbangannya lagi; dia baru saja membasmi jendral-jendral yang paling ganas dari kabinetnya. Para rakyat akan kembali mendapat giliran mereka untuk beraksi."
Penutupan pengkhianatan besar rakyat Indonesia ini menunjukkan konsekuensi kontra-revolusioner oportunisme Pablois, yang muncul dalam jajaran gerakan Trotskyis mulai dari tahun-tahun 1940-an ke 1950-an.
Dipimpin oleh Michel Pablo, elemen-elemen seperti Mandel berusaha menyesuaikan diri dengan stabilisasi kapitalisme setelah Perang Dunia Kedua dan keadaan dimana birokrasi-birokrasi Stalinis yang menekan pergerakan revolusioner kaum pekerja internasional tidak lama setelah akhir Perang Dunia Kedua, kelihatannya makin kuat. Mereka meninggalkan perjuangan Trotsky untuk mendirikan Internasional Keempat sebagai partai dunia revolusi sosialis dan mangajukan bahwa para birokrasi Stalinis seperti di Moskow dan Bejing akan didorong oleh rakyat untuk melakukan peranan progresif. Dengan dasar ini, mereka berusaha melikuidasi Internasional Keempat ke dalam segala bentuk Stalinis atau Demokrat sosial yang sedang memegang kendali pergerakan pekerja dalam tiap negara, mengatakan bahwa jalan ke sosialisme terdiri dari pendirian dari negara-negara pekerja yang cacat sejak lahir, seperti yang didirikan di Eropa Timur dan Cina, yang berlangsung selama beberapa abad.
Pada tahun 1953 arah likuidasi ini dilawan dengan pembentukan Komite Internasional Internasional Keempat (International Committee of the Fourth International) sebagai jawaban kepada sebuah Surat Terbuka yang ditulis oleh pemimpin Partai Pekerja Sosialis (Socialist Workers Party) Amerika James P Cannon yang memanggil untuk pemertahanan "Trotskyisme ortodox". Bagaimanapun juga, pada permulaan tahun 1960-an para pemimpin PPS sendiri mulai terpengaruh oleh berkepanjangannya pertumbuhan ekonomi setelah perang. Mereka menganjungkan elemen-elemen burjuis dan petit-burjuis nasional seperti Castro di Kuba yang kelihatannya dapat meraih sukses, sebagai pengganti pengambilan kekuasaan oleh kelas pekerja yang dipimpin oleh partai-partai Marxis revolusioner. Mereka mengajukan bahwa sosialisme dapat dicapai dengan "senjata tumpul". Ini adalah arah yang menyatukan mereka kembali dengan para Pablois di tahun 1963 yang menjadi "Sekretariat Tergabung".
Dasar dari penolakan para Pablois kepada revolusi kaum proletar adalah metoda obyektifis yang bersifat reaksioner ywng menggambarkan perjuangan sosialisme sebagai "proses sejarah" quasi-otomatis yang dicapai dengan pergerakan massa spontan yang dipimpin oleh pergerakan politik apa saja, tidak penting apa program dan komposisi kelasnya.
Dengan begitu "rakyat" Indonesia akan menang bagaimanapun buruknya krisis pimpinan yang telah diakibatkan oleh kebusukan partai Stalinis itu. Sukarno, yang diperalat oleh Jendral Suharto tanpa perlawanan, dianggap telah mengontrol jendral-jendral yang paling ganas. Dan setelah pengkhianatan yang tak tertanding itu, Mandel masih memanggil PKI partai "komunis".
Penipuan oleh Mandel ini disahkan oleh "Sekretariat Tergabung" dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan tanggal 20 Maret 1966. Pernyataan itu menyimpulkan bahwa kenaikan Suharto sebagai "orang kuat" dari gerakan kontra-revolusi tidak berarti banyak, karena "Itu adalah kemungkinan yang sangat kecil bahwa para kontra-revolusionis yang berkuasa di Jakarta sekarang akan dapat menciptakan kestabilan yang dapat tahan lama."
Duapuluh lima tahun setelah itu, dengan junta militer Suharto masih duduk tanpa kasihan di atas punggung jutaan rakyat Indonesia yang tertindas, itu sangatlah penting untuk mempelajari bagaimana para oportunis Pablois memberikan PKI dan Sukarno kerudung politik yang sangat mereka perlukan.
Pernyataan "Sekretariat Tergabung" itu menciptakan ilusi yang berbahaya yang mengatakan bahwa pembunuh-pembunuh dibawah Suharto pun, yang dilatih oleh AS, akan terdorong untuk melaksanakan kepentingan rakyat Indonesia dalam "konfrontasi" palsu Sukarno dengan Malaysia, negara yang pada saat itu baru dibentuk: "Para pemimpin militer sendiri tidak akan menanggalkan ke-anti-imperialisme-an dan ke-nasionalis-an mereka yang menunjukkan konflik kepentingan yang nyata dengan imperialisme Inggris dan kaum burjuis komprador dan tuan tanah semi-feodal yang berkuasa di Malaysia.
Ketika rakyat Indonesia tidak punya pemimpin dalam menghadapi penjagalan keji Suharto, para Pablois menyatakan dengan angkuh bahwa entah bagaimana rakyat akan menang.
"Rakyat, walaupun tanpa pemimpin dan tergoncang secara mendalam, belum kehilangan semua potensi perlawanan, khususnya di desa-desa. Mengusir para pemogok dari perkebunan-perkebunan milik imperialis atau yang sudah "dinasionalisasi" dan dijalankan oleh perwira-perwira militer yang korup, atau memaksa para pekerja perusahaan minyak bumi dan perkebunan untuk menerima kembali kondisi kerja jaman kolonial akan terbukti sulit terjadi."
Yang terpenting, para Pablois terus bersikeras bahwa rakyat harus percaya kepada para pemimpin Stalinis PKI, mengajukan bahwa mereka dapat dipengaruhi untuk memainkan peranan revolusioner, meskipun mereka sudah menahan setiap pergerakan massa terhadap rejim Sukarno.
"Jika mereka berhasil bergabung kembali dan mendapat kembali dukungan massa di beberapa daerah pedesaan dengan mengimbau para petani untuk segera menyita tanah milik para tuan-tanah, perkebunan dan adminstrasi militer, mereka dapat mencapai keuntungan secara bertahap karena ketidak-mampuan dari reaksi Indonesia untuk memecahkan nasib ekonomi dasar negara dan karena perselisihan dalam jajaran angkatan bersenjata yang tanpa ragu akan dibangkitkan oleh ketidak-mampuan itu."
Di tahun 1957, dan sekali lagi di tahun 1964-65, PKI telah mengarahkan para pekerja dan petani untuk menyerahkan pabrik-pabrik, bank-bank, instalasi-instalasi minyak, perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan lain yang mereka duduki, yang membantu kedudukan Sukarno dan kaum burjuis Indonesia. Sekarang, para Pablois mengatakan bahwa mereka dapat memainkan peranan progresif.
Artikel Mandel dan pernyataan "Sekretariat Tergabung" dicetak bersama dengan artikel oleh seorang anggota PKI Pablois, oleh Partai Pekerja Sosialis AS dalam sebuah pamflet bernama "Bencana di Indonesia" tertanggal Desember 1966. Lengkap dengan sebuah kata awal oleh Joseph Hansen, seorang pemimpin PPS yang memainkan peranan busuk dalam pergabungan kembali dengan para Pablois. Hansen, yang setelah itu diungkapkan sebagai agen Stalinis yang menjadi alat FBI dalam PPS, merupakan penghasut utama dalam perpecahan PPS dari KIIK di tahun 1963. Hansen berusaha untuk menenangkan para pembaca pamflet ini bahwa "salah satu ciri politik dunia sekarang" adalah "kecepatan rakyat untuk dapat memulihkan diri dari kekalahan-kekalahan yang dulunya akan membuat mereka tunduk selama puluhan tahun."
Ketidakperdulian para Pablois kepada nasib rakyat Indonesia bukan hanya hasil dari ketebalan kulit dan sikap merendahkan kelas pekerja mereka, yang merupakan ciri-ciri golongan petit-burjuis, tetapi juga merupakan usaha mereka untuk menutupi faktor kritis dalam pengkhianatan di Indonesia - peranan yang dimainkan oleh para Pablois dan wakil-wakil mereka di Indonesia sendiri.
Itu adalah ukuran dari sinisme para Pablois dan sikap tunduk mereka kepada para Stalinis dan kaum burjuis nasional bahwa tidak satupun dari artikel-artikel dan pernyataan-pernyataan yang dicetak dalam pamflet mereka di tahun 1966 menyebut keberadaan sebuah badan anggota dari "Sekretariat Tergabung" di Indonesia, apalagi menerangkan peranan badan itu dalam kejadian-kejadian sebelum kudeta.
Hanya ada satu pernyataan pendek untuk pelegalisasian dan pembebasan semua anggota PKI, Partai Murbah dan Partai Acoma, meskipun Partai Akoma mempunyai hubungan dengan para Pablois sedikitnya mulai tahun 1953 dan disahkan sebagai seksi "Sekretariat Tergabung" di tahun 1960, ketika PPS Amerika sedang meningkatkan manuver-manuver tak berprinsip mereka untuk bergabung kembali dengan para Pablois.
Penyebutan pendek tentang anggota-anggota mereka ini adalah pernyataan bersalah oleh para Pablois untuk menyembunyikan peranan yang mereka dan anak-anak didik mereka mainkan dalam memberi Stalinis-Stalinis PKI kepercayaan yang sangat mereka perlukan di tahun-tahun 1950an dan 1960an.
Pada saat rakyat Indonesia sedang mengalami pembunuhan massa, Profesor Mandel berusaha untuk menggambarkan prospek-prospek yang cerah untuk revolusi Indonesia, untuk menumpulkan kesadaran kelas pekerja internasional.
"Tentu saja perjuangan di Indonesia masih belum berhenti," tulisnya di dalam keenakkan kursi universitas Belgia-nya dalam artikel yang dicetak dalam jurnal Pablois "World Outlook" tanggal 11 Maret 1966.
"Sebagian dari kader komunis telah berhasil bersembunyi di bawah-tanah," dia teruskan. "Kemarahan rakyat yang kelaparan tumbuh setiap hari; perut-perut para pekerja dan petani yang kosong tidak akan terisi oleh pembunuhan-pembunuhan itu. Pemberontakan itu akan menyebar-luas melawan rejim yang korup itu. Sukarno mengerti masalah ini dan akan memulai pengimbangannya lagi; dia baru saja membasmi jendral-jendral yang paling ganas dari kabinetnya. Para rakyat akan kembali mendapat giliran mereka untuk beraksi."
Penutupan pengkhianatan besar rakyat Indonesia ini menunjukkan konsekuensi kontra-revolusioner oportunisme Pablois, yang muncul dalam jajaran gerakan Trotskyis mulai dari tahun-tahun 1940-an ke 1950-an.
Dipimpin oleh Michel Pablo, elemen-elemen seperti Mandel berusaha menyesuaikan diri dengan stabilisasi kapitalisme setelah Perang Dunia Kedua dan keadaan dimana birokrasi-birokrasi Stalinis yang menekan pergerakan revolusioner kaum pekerja internasional tidak lama setelah akhir Perang Dunia Kedua, kelihatannya makin kuat. Mereka meninggalkan perjuangan Trotsky untuk mendirikan Internasional Keempat sebagai partai dunia revolusi sosialis dan mangajukan bahwa para birokrasi Stalinis seperti di Moskow dan Bejing akan didorong oleh rakyat untuk melakukan peranan progresif. Dengan dasar ini, mereka berusaha melikuidasi Internasional Keempat ke dalam segala bentuk Stalinis atau Demokrat sosial yang sedang memegang kendali pergerakan pekerja dalam tiap negara, mengatakan bahwa jalan ke sosialisme terdiri dari pendirian dari negara-negara pekerja yang cacat sejak lahir, seperti yang didirikan di Eropa Timur dan Cina, yang berlangsung selama beberapa abad.
Pada tahun 1953 arah likuidasi ini dilawan dengan pembentukan Komite Internasional Internasional Keempat (International Committee of the Fourth International) sebagai jawaban kepada sebuah Surat Terbuka yang ditulis oleh pemimpin Partai Pekerja Sosialis (Socialist Workers Party) Amerika James P Cannon yang memanggil untuk pemertahanan "Trotskyisme ortodox". Bagaimanapun juga, pada permulaan tahun 1960-an para pemimpin PPS sendiri mulai terpengaruh oleh berkepanjangannya pertumbuhan ekonomi setelah perang. Mereka menganjungkan elemen-elemen burjuis dan petit-burjuis nasional seperti Castro di Kuba yang kelihatannya dapat meraih sukses, sebagai pengganti pengambilan kekuasaan oleh kelas pekerja yang dipimpin oleh partai-partai Marxis revolusioner. Mereka mengajukan bahwa sosialisme dapat dicapai dengan "senjata tumpul". Ini adalah arah yang menyatukan mereka kembali dengan para Pablois di tahun 1963 yang menjadi "Sekretariat Tergabung".
Dasar dari penolakan para Pablois kepada revolusi kaum proletar adalah metoda obyektifis yang bersifat reaksioner ywng menggambarkan perjuangan sosialisme sebagai "proses sejarah" quasi-otomatis yang dicapai dengan pergerakan massa spontan yang dipimpin oleh pergerakan politik apa saja, tidak penting apa program dan komposisi kelasnya.
Dengan begitu "rakyat" Indonesia akan menang bagaimanapun buruknya krisis pimpinan yang telah diakibatkan oleh kebusukan partai Stalinis itu. Sukarno, yang diperalat oleh Jendral Suharto tanpa perlawanan, dianggap telah mengontrol jendral-jendral yang paling ganas. Dan setelah pengkhianatan yang tak tertanding itu, Mandel masih memanggil PKI partai "komunis".
Penipuan oleh Mandel ini disahkan oleh "Sekretariat Tergabung" dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan tanggal 20 Maret 1966. Pernyataan itu menyimpulkan bahwa kenaikan Suharto sebagai "orang kuat" dari gerakan kontra-revolusi tidak berarti banyak, karena "Itu adalah kemungkinan yang sangat kecil bahwa para kontra-revolusionis yang berkuasa di Jakarta sekarang akan dapat menciptakan kestabilan yang dapat tahan lama."
Duapuluh lima tahun setelah itu, dengan junta militer Suharto masih duduk tanpa kasihan di atas punggung jutaan rakyat Indonesia yang tertindas, itu sangatlah penting untuk mempelajari bagaimana para oportunis Pablois memberikan PKI dan Sukarno kerudung politik yang sangat mereka perlukan.
Pernyataan "Sekretariat Tergabung" itu menciptakan ilusi yang berbahaya yang mengatakan bahwa pembunuh-pembunuh dibawah Suharto pun, yang dilatih oleh AS, akan terdorong untuk melaksanakan kepentingan rakyat Indonesia dalam "konfrontasi" palsu Sukarno dengan Malaysia, negara yang pada saat itu baru dibentuk: "Para pemimpin militer sendiri tidak akan menanggalkan ke-anti-imperialisme-an dan ke-nasionalis-an mereka yang menunjukkan konflik kepentingan yang nyata dengan imperialisme Inggris dan kaum burjuis komprador dan tuan tanah semi-feodal yang berkuasa di Malaysia.
Ketika rakyat Indonesia tidak punya pemimpin dalam menghadapi penjagalan keji Suharto, para Pablois menyatakan dengan angkuh bahwa entah bagaimana rakyat akan menang.
"Rakyat, walaupun tanpa pemimpin dan tergoncang secara mendalam, belum kehilangan semua potensi perlawanan, khususnya di desa-desa. Mengusir para pemogok dari perkebunan-perkebunan milik imperialis atau yang sudah "dinasionalisasi" dan dijalankan oleh perwira-perwira militer yang korup, atau memaksa para pekerja perusahaan minyak bumi dan perkebunan untuk menerima kembali kondisi kerja jaman kolonial akan terbukti sulit terjadi."
Yang terpenting, para Pablois terus bersikeras bahwa rakyat harus percaya kepada para pemimpin Stalinis PKI, mengajukan bahwa mereka dapat dipengaruhi untuk memainkan peranan revolusioner, meskipun mereka sudah menahan setiap pergerakan massa terhadap rejim Sukarno.
"Jika mereka berhasil bergabung kembali dan mendapat kembali dukungan massa di beberapa daerah pedesaan dengan mengimbau para petani untuk segera menyita tanah milik para tuan-tanah, perkebunan dan adminstrasi militer, mereka dapat mencapai keuntungan secara bertahap karena ketidak-mampuan dari reaksi Indonesia untuk memecahkan nasib ekonomi dasar negara dan karena perselisihan dalam jajaran angkatan bersenjata yang tanpa ragu akan dibangkitkan oleh ketidak-mampuan itu."
Di tahun 1957, dan sekali lagi di tahun 1964-65, PKI telah mengarahkan para pekerja dan petani untuk menyerahkan pabrik-pabrik, bank-bank, instalasi-instalasi minyak, perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan lain yang mereka duduki, yang membantu kedudukan Sukarno dan kaum burjuis Indonesia. Sekarang, para Pablois mengatakan bahwa mereka dapat memainkan peranan progresif.
Artikel Mandel dan pernyataan "Sekretariat Tergabung" dicetak bersama dengan artikel oleh seorang anggota PKI Pablois, oleh Partai Pekerja Sosialis AS dalam sebuah pamflet bernama "Bencana di Indonesia" tertanggal Desember 1966. Lengkap dengan sebuah kata awal oleh Joseph Hansen, seorang pemimpin PPS yang memainkan peranan busuk dalam pergabungan kembali dengan para Pablois. Hansen, yang setelah itu diungkapkan sebagai agen Stalinis yang menjadi alat FBI dalam PPS, merupakan penghasut utama dalam perpecahan PPS dari KIIK di tahun 1963. Hansen berusaha untuk menenangkan para pembaca pamflet ini bahwa "salah satu ciri politik dunia sekarang" adalah "kecepatan rakyat untuk dapat memulihkan diri dari kekalahan-kekalahan yang dulunya akan membuat mereka tunduk selama puluhan tahun."
Ketidakperdulian para Pablois kepada nasib rakyat Indonesia bukan hanya hasil dari ketebalan kulit dan sikap merendahkan kelas pekerja mereka, yang merupakan ciri-ciri golongan petit-burjuis, tetapi juga merupakan usaha mereka untuk menutupi faktor kritis dalam pengkhianatan di Indonesia - peranan yang dimainkan oleh para Pablois dan wakil-wakil mereka di Indonesia sendiri.
Itu adalah ukuran dari sinisme para Pablois dan sikap tunduk mereka kepada para Stalinis dan kaum burjuis nasional bahwa tidak satupun dari artikel-artikel dan pernyataan-pernyataan yang dicetak dalam pamflet mereka di tahun 1966 menyebut keberadaan sebuah badan anggota dari "Sekretariat Tergabung" di Indonesia, apalagi menerangkan peranan badan itu dalam kejadian-kejadian sebelum kudeta.
Hanya ada satu pernyataan pendek untuk pelegalisasian dan pembebasan semua anggota PKI, Partai Murbah dan Partai Acoma, meskipun Partai Akoma mempunyai hubungan dengan para Pablois sedikitnya mulai tahun 1953 dan disahkan sebagai seksi "Sekretariat Tergabung" di tahun 1960, ketika PPS Amerika sedang meningkatkan manuver-manuver tak berprinsip mereka untuk bergabung kembali dengan para Pablois.
Penyebutan pendek tentang anggota-anggota mereka ini adalah pernyataan bersalah oleh para Pablois untuk menyembunyikan peranan yang mereka dan anak-anak didik mereka mainkan dalam memberi Stalinis-Stalinis PKI kepercayaan yang sangat mereka perlukan di tahun-tahun 1950an dan 1960an.
Bagaimana
Munculnya Pabloisme di Indonesia
Partai Acoma berasal sebagai pecahan dari
PKI di tahun 1948. Dengan memanggil diri mereka Trotsyis tanpa kebenaran,
mereka menjadi pengalih dan penjebak oposisi kelas pekerja dan para petani
terhadap dukungan yang diberikan PKI untuk rejim burjuis nasional Sukarno.
Dipimpin oleh seorang anggota parlemen bernama Ibnu Parna, dokumen-dokumen
program mereka menggambarkan PKI sebagai sebuah partai "Marxis-Leninis
seperti kita." Sebagai kita akan tunjukkan, ini adalah sebuah kebohongan
dalam hal PKI dan Partai Acoma.
Kebutuhan atas sebuah katup pengaman "Trotskyis" palsu seperti itu, ditunjukkan oleh kejadian-kejadian di tahun 1948.
Keterlibatan PKI di dalam administrasi Sukarno setelah akhir Perang Dunia Kedua dan dukungan mereka untuk perjanjian-perjanjian busuk kaum burjuis Indonesia dan para kolonialis Belanda menimbulkan oposisi kuat di kalangan kelas pekerja.
Dari 5 Juli 1947 sampai 23 January 1948 administrasi Republik di bawah Sukarno dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang berjabatan Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. Syarifuddin adalah anggota rahasia PKI, juga Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Tambahan pula, dua menteri lain adalah anggota PKI secara terbuka. Administrasi ini menandatangani Perjanjian Renville dengan Belanda yang menetapkan kekuasaan Belanda atas sebagian besar dari industri gula, karet, kopi, teh dan minyak bumi; menentukan pengunduran semua kesatuan-kesatuan perang gerilya dari semua daerah yang dikuasai Belanda dan melikuidasikan kesatuan-kesatuan rakyat bersenjata yang dipimpin PKI ke dalam ABRI yang di bawah Sukarno dan jendral-jendralnya.
Begitu kuatnya oposisi terhadap penandatanganan pakta yang diadakan oleh AS ini sampai pemerintah turun dan diganti oleh pemerintahan sayap-kanan yang dipimpin oleh Wakil Presiden Hatta sebagai Perdana Menteri.
Aksi-aksi pemogokan meletus, menuntut pemerintahan parlemen. Kepemimpinan PKI mendukung penekanan pergerakan ini oleh Sukarno, yang mengimbau untuk pengadaan "kesatuan nasional". Ketika pengkhianatan ini dilawan oleh sebuah bagian PKI, pemimpin-pemimpin PKI menjawab dengan kejam, mengeksekusi pemimpin-pemimpin dari faksi oposisi ini.
Partai Acoma muncul dari grup yang menentang ini. Walaupun mereka tidak menyetujui tindakan kepemimpinan PKI, Partai Acoma tetap berpendapat bahwa revolusi Indonesia harus dilakukan oleh PKI sebagai sebuah "partai Marxis-Leninis". Selanjutnya pemimpin-pemimpin Partai Acoma menjalin hubungan dengan "Sekretariat Tergabung" yang mendorong posisi pro-Stalinis dan ilusi-ilusi tentang Maoisme mereka.
Itu jelas bahwa Partai Acoma mengarahkan para pekerja dan petani yang mencari jalan lain ke program kolaborasi antar-kelas PKI.
Dari tahun 1953 sampai 1955 misalnya, kekuatan pengaruh Acoma dalam SAKTI, Asosiasi Petani Indonesia yang beranggotakan 200,000 orang, membuat kepemimpinan PKI menunda sampai dua tahun rencana mereka untuk menggabungkan SAKTI dengan dua organisasi petani lainnya yang di bawah pengaruh PKI, RTI dan BTI.
Kebutuhan atas sebuah katup pengaman "Trotskyis" palsu seperti itu, ditunjukkan oleh kejadian-kejadian di tahun 1948.
Keterlibatan PKI di dalam administrasi Sukarno setelah akhir Perang Dunia Kedua dan dukungan mereka untuk perjanjian-perjanjian busuk kaum burjuis Indonesia dan para kolonialis Belanda menimbulkan oposisi kuat di kalangan kelas pekerja.
Dari 5 Juli 1947 sampai 23 January 1948 administrasi Republik di bawah Sukarno dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang berjabatan Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. Syarifuddin adalah anggota rahasia PKI, juga Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Tambahan pula, dua menteri lain adalah anggota PKI secara terbuka. Administrasi ini menandatangani Perjanjian Renville dengan Belanda yang menetapkan kekuasaan Belanda atas sebagian besar dari industri gula, karet, kopi, teh dan minyak bumi; menentukan pengunduran semua kesatuan-kesatuan perang gerilya dari semua daerah yang dikuasai Belanda dan melikuidasikan kesatuan-kesatuan rakyat bersenjata yang dipimpin PKI ke dalam ABRI yang di bawah Sukarno dan jendral-jendralnya.
Begitu kuatnya oposisi terhadap penandatanganan pakta yang diadakan oleh AS ini sampai pemerintah turun dan diganti oleh pemerintahan sayap-kanan yang dipimpin oleh Wakil Presiden Hatta sebagai Perdana Menteri.
Aksi-aksi pemogokan meletus, menuntut pemerintahan parlemen. Kepemimpinan PKI mendukung penekanan pergerakan ini oleh Sukarno, yang mengimbau untuk pengadaan "kesatuan nasional". Ketika pengkhianatan ini dilawan oleh sebuah bagian PKI, pemimpin-pemimpin PKI menjawab dengan kejam, mengeksekusi pemimpin-pemimpin dari faksi oposisi ini.
Partai Acoma muncul dari grup yang menentang ini. Walaupun mereka tidak menyetujui tindakan kepemimpinan PKI, Partai Acoma tetap berpendapat bahwa revolusi Indonesia harus dilakukan oleh PKI sebagai sebuah "partai Marxis-Leninis". Selanjutnya pemimpin-pemimpin Partai Acoma menjalin hubungan dengan "Sekretariat Tergabung" yang mendorong posisi pro-Stalinis dan ilusi-ilusi tentang Maoisme mereka.
Itu jelas bahwa Partai Acoma mengarahkan para pekerja dan petani yang mencari jalan lain ke program kolaborasi antar-kelas PKI.
Dari tahun 1953 sampai 1955 misalnya, kekuatan pengaruh Acoma dalam SAKTI, Asosiasi Petani Indonesia yang beranggotakan 200,000 orang, membuat kepemimpinan PKI menunda sampai dua tahun rencana mereka untuk menggabungkan SAKTI dengan dua organisasi petani lainnya yang di bawah pengaruh PKI, RTI dan BTI.
Para
Pablois mempersiapkan pengkhianatan
Sebuah artikel yang dicetak bulan Februari 1958
dalam jurnal Pablois "Quatrieme International" mengajukan sebuah
tuduhan yang jelas atas peranan yang dimainkan oleh Pabloisme dalam melawan
perjuangan untuk sebuah kepemimpinan Marxis Revolusioner dalam kelas pekerja.
Artikel itu,"Revolusi Indonesia Bergerak Maju", oleh Sal Santen, seorang kolega dekat Pablo, ditulis pada puncak pergerakan-pergerakan revolusi di bulan Desember 1957, ketika para pekerja dan petani merampas perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan milik Belanda dan negara imperialis lainnya.
Artikel itu merupakan kerudung kriminal untuk peranan-peranan kontra-revolusioner PKI, yang memerintahkan rakyat untuk mengembalikan rampasan-rampasan mereka kepada angkatan bersenjata untuk mendukung pemerintahan Sukarno.
Menurut Santen:"Itu mesti ditambahkan bahwa para pejuang komunis, kader dasar dan biasa PKI dan SOBSI, organisasi besar pekerja Indonesia, tidak memiliki sifat birokratis Aidit dan kawan-kawan. Mereka ada di garis depan; mereka adalah yang mengambil alih inisiatip dalam menduduki pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank dan kapal-kapal laut. Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa yang paling sadar-kelas antara mereka terbakar oleh api keberanian revolusioner Tan Malaka, oleh ide-ide revolusi permanen Leon Trotsky."
Bertindak menurut arah ini, para Pablois Indonesia melucuti secara politis puluhan ribu pekerja dan petani yang bergerak maju untuk berjuang, hanya untuk menyadari bahwa jalan mereka dilintangi oleh PKI. Pada saat di mana tugas yang paling penting adalah mendidik para pekerja yang paling sadar-kelas dalam pentingnya sebuah perjuangan tanpa kompromi melawan teori "dua tahap" dan "blok empat kelas" Stalinis PKI, dan pentingnya sebuah penguatan mendalam teori Revolusi Pemanen, para Pablois bekerja sebaliknya.
Oportunis secara mendalam, mereka menyamakan Trotsky dengan Tan Malakka, pemimpin PKI yang menentang rencana untuk sebuah pemberontakan di tahun 1926 dan meninggalkan PKI untuk mendirikan organisasinya sendiri. Mereka memalsukan teori Revolusi Permanen Marxis, mengubah itu dari sebuah strategi sadar untuk memandu perjuangan-perjuangan untuk diktatur kaum proletar menjadi sebuah perspektif yang terjadi secara spontan.
Ajaran utama teori Revolusi Permanen Trostky adalah kekhianatan kaum burjuis nasional dan ketidakmampuannya untuk memimpin perjuangan sejati melawan imperialisme. Hanya kelas pekerjalah yang dapat membebaskan rakyat dari penekanan atas kelasnya dan penekanan nasional, dengan mengadakan revolusi sosialis dan menyatukan diri mereka dengan saudara-saudara sekelas di seluruh dunia dalam sebuah perjuangan untuk menggulingkan imperialisme secara internasional.
Perjuangan itu hanya dapat dilakukan secara sadar di bawah panji-panji Internasional Keempat dalam sebuah perjuangan tanpa kompromi melawan para Stalinis dan kekuatan-kekuatan petit-burjuis, seperti para Pablois, yang mencoba melucuti kelas pekerja secara politis dan mengikat kepada kaum burjuis mereka.
Di tangan para Pablois, program Revolusi Permanen menjadi alasan untuk penyesuaian diri mereka kepada kaum burjuis nasional dan para Stalinis. Kelas pekerja tidak memerlukan partai revolusioner mereka sendiri untuk mengambil-alih kekuasaan karena PKI sedang merupakan instrumen melalui apa Revolusi Permanen itu sedang dinyatakan, walaupun secara tidak sadar.
Dengan demikian, Santen, berbicara untuk Pablo dan Mandel, menyatakan: "Bagaimanapun juga itu adalah jelas bahwa Indonesia secara menyeluruh sedang bergerak. Pergerakan rakyat sudah tidak bisa dimundurkan -- walaupun proses itu tetap bertentangan -- dan sudah mencapai tahap kekuasaan rangkap di sebagian besar Indonesia, terutama di Jawa. Pendudukan perusahaan-perusahaan, perkebunan-perkebunan, armada dan bank-bank oleh rakyat hanya berarti satu: Itu adalah tentang permulaan klasik revolusi proletar. Revolusi Indonesia sedang dalam proses membobol batas-batas revolusi nasional di bawah pimpinan kaum burjuis nasional. Itu berkembang menurut hukum-hukum revolusi permanen." (Tekanan di dalam dokumen asli).
Para Pablois mengulurkan prospek sebuah perubahan secara damai ke "kekuasaan pekerja dan petani":
"Sebuah kemenangan yang damai dan cepat revolusi itu ke kekuasaan pekerja dan petani (terutama di Jawa) dapat dicapai, bila PKI, pada saat pertama terdorong semangat rakyat, tidak berusaha mengebiri aksi rakyat dengan meletakkannya di bawah kontrol pemerintah."
Apa yang dimaksudkan oleh para Pablois dengan "kekuasaan pekerja dan petani" adalah bertentangan dengan perjuangan untuk diktatur kaum proletar. Para Pablois berjajar sebagai penyorak untuk perspektif kontra-revolusioner Stalinis "dua-tahap" yang menuntut kaum proletar untuk menghentikan perjuangan untuk revolusi sosialis.
Untuk menghalalkan pertentangan mereka terhadap penggerakan mandiri kelas pekerja dan penempaan sebuah kepemimpinan revolusioner proletar, yaitu, partai Trotskyis, para Pablois bersikeras bahwa PKI, meskipun sudah mengkhianati aksi-aksi pendudukan di bulan Desember 1957, akan terdorong ke kiri oleh rakyat:
"Pada saat yang sama, pada setiap perkembangan situasi, rakyat mempunyai kecenderungan untuk mendorong SOBSI dan PKI lebih jauh. Banyaklah yang sekarang tergantung pada keberanian, pada pengertian Marxis revolusioner, kader-kader Komunis. Kita merasa solider sepenuhnya dengan mereka, terilhami dan terantusiasi oleh inisiatip mereka, keberanian mereka yang -- kita harap dengan penuh semangat -- tidak akan berhenti karena tabu-tabu para Aidit. Kita memberi hormat untuk kader-kader Trotskyis Indonesia yang menggabung ke dalam PKI dengan perspektif revolusioner yang benar bahwa radikalisasi rakyat akan terjadi terutama melalui PKI dan SOBSI."
Ini adalah kejahatan terbesar Pabloisme -- pelikuidasian kader Trotskyis, dan semua yang tertarik ke Trotskysime, ke dalam kamp Stalinisme.
Santen menambahkan sebuah catatan untuk menekankan bahwa sikap khianat ini dinyatakan dalam pertentangan secara langsung terhadap perjuangan yang dilakukan oleh Komite Sedunia Internasional Keempat sejak pembentukannya di tahun 1953 untuk mempertahankan Trotskysime terhadap likuidasionisme Pablois. Santen secara khusus mencela perjuangan KSIK untuk pendirian badan-badan bagian Internasional Keempat untuk mengalahkan Stalinisme kontra-revolusioner:
"Bertentangan dengan beberapa orang `ortodoks` yang picik, Internasional ini tidak membiarkan dirinya untuk terpesona oleh politik reaksioner Stalinisme, tetapi mengarahkan dirinya, terutama ke dinamisme situasi itu sendiri, sebuah dinamisme yang mendorong rakyat dan melalui rakyat, PKI sendiri ke dalam pertentangan dengan keadaan di Indonesia saat ini."
Kata-kata ini perlu dicapkan di pikiran setiap pekerja sebagai ringkasan dari pekerjaan licik pro-Stalinis Pabloisme. Dalam pertentangan langsung dengan KSIK, para Pablois secara sadar mendorong ilusi-ilusi fatal dalam Stalinis-Stalinis PKI, tepat pada saat di mana masalah yang sangat penting saat itu adalah untuk membeberkan peranan kriminal para Stalinis dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan rakyat secara mantap dari PKI untuk mendirikan sebuah kepemimpinan Trotskyis revolusioner.
Perjuangan yang berkepanjangan dan yang berkeras Komite Internasional Internasional Keempat (International Committee of the Fourth International) melawan para oportunis Pablois, yang bertahun-tahun tampak sebagai perjuangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil terpencil dalam Internasional Keempat, menjadi masalah hidup mati untuk jutaan buruh dan petani Indonesia.
Artikel itu,"Revolusi Indonesia Bergerak Maju", oleh Sal Santen, seorang kolega dekat Pablo, ditulis pada puncak pergerakan-pergerakan revolusi di bulan Desember 1957, ketika para pekerja dan petani merampas perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan milik Belanda dan negara imperialis lainnya.
Artikel itu merupakan kerudung kriminal untuk peranan-peranan kontra-revolusioner PKI, yang memerintahkan rakyat untuk mengembalikan rampasan-rampasan mereka kepada angkatan bersenjata untuk mendukung pemerintahan Sukarno.
Menurut Santen:"Itu mesti ditambahkan bahwa para pejuang komunis, kader dasar dan biasa PKI dan SOBSI, organisasi besar pekerja Indonesia, tidak memiliki sifat birokratis Aidit dan kawan-kawan. Mereka ada di garis depan; mereka adalah yang mengambil alih inisiatip dalam menduduki pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank dan kapal-kapal laut. Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa yang paling sadar-kelas antara mereka terbakar oleh api keberanian revolusioner Tan Malaka, oleh ide-ide revolusi permanen Leon Trotsky."
Bertindak menurut arah ini, para Pablois Indonesia melucuti secara politis puluhan ribu pekerja dan petani yang bergerak maju untuk berjuang, hanya untuk menyadari bahwa jalan mereka dilintangi oleh PKI. Pada saat di mana tugas yang paling penting adalah mendidik para pekerja yang paling sadar-kelas dalam pentingnya sebuah perjuangan tanpa kompromi melawan teori "dua tahap" dan "blok empat kelas" Stalinis PKI, dan pentingnya sebuah penguatan mendalam teori Revolusi Pemanen, para Pablois bekerja sebaliknya.
Oportunis secara mendalam, mereka menyamakan Trotsky dengan Tan Malakka, pemimpin PKI yang menentang rencana untuk sebuah pemberontakan di tahun 1926 dan meninggalkan PKI untuk mendirikan organisasinya sendiri. Mereka memalsukan teori Revolusi Permanen Marxis, mengubah itu dari sebuah strategi sadar untuk memandu perjuangan-perjuangan untuk diktatur kaum proletar menjadi sebuah perspektif yang terjadi secara spontan.
Ajaran utama teori Revolusi Permanen Trostky adalah kekhianatan kaum burjuis nasional dan ketidakmampuannya untuk memimpin perjuangan sejati melawan imperialisme. Hanya kelas pekerjalah yang dapat membebaskan rakyat dari penekanan atas kelasnya dan penekanan nasional, dengan mengadakan revolusi sosialis dan menyatukan diri mereka dengan saudara-saudara sekelas di seluruh dunia dalam sebuah perjuangan untuk menggulingkan imperialisme secara internasional.
Perjuangan itu hanya dapat dilakukan secara sadar di bawah panji-panji Internasional Keempat dalam sebuah perjuangan tanpa kompromi melawan para Stalinis dan kekuatan-kekuatan petit-burjuis, seperti para Pablois, yang mencoba melucuti kelas pekerja secara politis dan mengikat kepada kaum burjuis mereka.
Di tangan para Pablois, program Revolusi Permanen menjadi alasan untuk penyesuaian diri mereka kepada kaum burjuis nasional dan para Stalinis. Kelas pekerja tidak memerlukan partai revolusioner mereka sendiri untuk mengambil-alih kekuasaan karena PKI sedang merupakan instrumen melalui apa Revolusi Permanen itu sedang dinyatakan, walaupun secara tidak sadar.
Dengan demikian, Santen, berbicara untuk Pablo dan Mandel, menyatakan: "Bagaimanapun juga itu adalah jelas bahwa Indonesia secara menyeluruh sedang bergerak. Pergerakan rakyat sudah tidak bisa dimundurkan -- walaupun proses itu tetap bertentangan -- dan sudah mencapai tahap kekuasaan rangkap di sebagian besar Indonesia, terutama di Jawa. Pendudukan perusahaan-perusahaan, perkebunan-perkebunan, armada dan bank-bank oleh rakyat hanya berarti satu: Itu adalah tentang permulaan klasik revolusi proletar. Revolusi Indonesia sedang dalam proses membobol batas-batas revolusi nasional di bawah pimpinan kaum burjuis nasional. Itu berkembang menurut hukum-hukum revolusi permanen." (Tekanan di dalam dokumen asli).
Para Pablois mengulurkan prospek sebuah perubahan secara damai ke "kekuasaan pekerja dan petani":
"Sebuah kemenangan yang damai dan cepat revolusi itu ke kekuasaan pekerja dan petani (terutama di Jawa) dapat dicapai, bila PKI, pada saat pertama terdorong semangat rakyat, tidak berusaha mengebiri aksi rakyat dengan meletakkannya di bawah kontrol pemerintah."
Apa yang dimaksudkan oleh para Pablois dengan "kekuasaan pekerja dan petani" adalah bertentangan dengan perjuangan untuk diktatur kaum proletar. Para Pablois berjajar sebagai penyorak untuk perspektif kontra-revolusioner Stalinis "dua-tahap" yang menuntut kaum proletar untuk menghentikan perjuangan untuk revolusi sosialis.
Untuk menghalalkan pertentangan mereka terhadap penggerakan mandiri kelas pekerja dan penempaan sebuah kepemimpinan revolusioner proletar, yaitu, partai Trotskyis, para Pablois bersikeras bahwa PKI, meskipun sudah mengkhianati aksi-aksi pendudukan di bulan Desember 1957, akan terdorong ke kiri oleh rakyat:
"Pada saat yang sama, pada setiap perkembangan situasi, rakyat mempunyai kecenderungan untuk mendorong SOBSI dan PKI lebih jauh. Banyaklah yang sekarang tergantung pada keberanian, pada pengertian Marxis revolusioner, kader-kader Komunis. Kita merasa solider sepenuhnya dengan mereka, terilhami dan terantusiasi oleh inisiatip mereka, keberanian mereka yang -- kita harap dengan penuh semangat -- tidak akan berhenti karena tabu-tabu para Aidit. Kita memberi hormat untuk kader-kader Trotskyis Indonesia yang menggabung ke dalam PKI dengan perspektif revolusioner yang benar bahwa radikalisasi rakyat akan terjadi terutama melalui PKI dan SOBSI."
Ini adalah kejahatan terbesar Pabloisme -- pelikuidasian kader Trotskyis, dan semua yang tertarik ke Trotskysime, ke dalam kamp Stalinisme.
Santen menambahkan sebuah catatan untuk menekankan bahwa sikap khianat ini dinyatakan dalam pertentangan secara langsung terhadap perjuangan yang dilakukan oleh Komite Sedunia Internasional Keempat sejak pembentukannya di tahun 1953 untuk mempertahankan Trotskysime terhadap likuidasionisme Pablois. Santen secara khusus mencela perjuangan KSIK untuk pendirian badan-badan bagian Internasional Keempat untuk mengalahkan Stalinisme kontra-revolusioner:
"Bertentangan dengan beberapa orang `ortodoks` yang picik, Internasional ini tidak membiarkan dirinya untuk terpesona oleh politik reaksioner Stalinisme, tetapi mengarahkan dirinya, terutama ke dinamisme situasi itu sendiri, sebuah dinamisme yang mendorong rakyat dan melalui rakyat, PKI sendiri ke dalam pertentangan dengan keadaan di Indonesia saat ini."
Kata-kata ini perlu dicapkan di pikiran setiap pekerja sebagai ringkasan dari pekerjaan licik pro-Stalinis Pabloisme. Dalam pertentangan langsung dengan KSIK, para Pablois secara sadar mendorong ilusi-ilusi fatal dalam Stalinis-Stalinis PKI, tepat pada saat di mana masalah yang sangat penting saat itu adalah untuk membeberkan peranan kriminal para Stalinis dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan rakyat secara mantap dari PKI untuk mendirikan sebuah kepemimpinan Trotskyis revolusioner.
Perjuangan yang berkepanjangan dan yang berkeras Komite Internasional Internasional Keempat (International Committee of the Fourth International) melawan para oportunis Pablois, yang bertahun-tahun tampak sebagai perjuangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil terpencil dalam Internasional Keempat, menjadi masalah hidup mati untuk jutaan buruh dan petani Indonesia.
Pembantu-pembantu
kontra-revolusioner
Dalam waktu beberapa minggu dari penulisan
kata-kata Santen, buah-buah busuk dari pengkhianatan PKI atas pergerakan di
bulan Desember 1957 mulai muncul. Sebuah pemerintah kontra-revolusioner
dibentuk di Sumatra Tengah di bulan Februari 1958 oleh pemimpin kudeta Kolonel
Achmed Hussein dan dipimpin oleh Dr Syafruddin Prawiranegara. Operasi yang
didukung CIA ini, yang dimungkinkan oleh pengebirian pergerakan Desember 1957
oleh PKI, merupakan percobaan untuk kudeta yang akan terjadi tujuh tahun
setelah itu.
Mengerti bahwa ini adalah percobaan untuk kontra-revolusi, tanggapan para Pablois adalah untuk menambah pembesaran mereka atas PKI. Editor Quatrieme International menambahkan sebuah catatan yang berklimaks dengan kata-kata ungu berikut:
Karena tujuan utama para `pemberontak` adalah untuk menghancurkan 'demokrasi' terpimpin Sukarno, dalam mana PKI termasuk, maka kompromi akan merugikan PKI. Dalam kasus ini, arahan jangka-pendek adalah PKI di bawah tekanan rakyat, akan terpaksa melakukan pemutaran-balik politik besar, seperti yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina dalam situasi yang mirip di tahun 1949, dan untuk melewati tahap nasionalis-burjuis dan langsung ke tahap sosialis kekuasaan pekerja. Ini, sesungguhnya, tetapi sekali lagi tanpa pemberitahuan, bergerak menurut dan membuktikan teori revolusi permanen Trotskyis."
Di situ, PKI, tukang gantung revolusi Indonesia digambarkan sebagai instrumen tak sadar Revolusi Permanen!
Ditambahkan di situ, adalah kebohongan bahwa para Stalinis Cina, guru Aidit dan pemimpin PKI yang lain, telah melakukan "tahap sosialis dari kekuasaan pekerja" di tahun 1949. Kenyataanya tentara-tentara petani para Maois menekan secara brutal pergerakan proletar di tahun 1949, membunuh semua oposisi Trotskyis, dan mendirikan sebuah negara pekerja yang cacat sejak lahir yang berdasarkan atas perspektif Stalinis pengadaan kerjasama dengan kaum burjuis nasional, kaum petit-burjuis urban dan para petani. Ini adalah model yang merupakan dasar bagi kepemimpinan PKI sendiri.
Tidak puas dengan menganjungkan para Stalinis, catatan spesial editor itu kemudian menunjukkan kemungkinan kelas burjuis-nasional merubah diri secara progresif juga. Itu mengusulkan senario lain yang berdasarkan atas pemerintah Sukarno memimpin perjuangan melawan "pemberontak-pemberontak" yang diatur oleh CIA.
Dalam kemungkinan lainnya dimana pemerintah Sukarno memberikan perlawanan dan pertahanan yang lebih kuat terhadap `para pemberontak`, pemisahan yang lebih jauh antara kekuatan-kekuatan burjuis dan kontra-revolusioner semi-feodal akan tampak; menghadapi sebuah pemerintah bayangan nasionalis-burjuis dan rakyat. Konfrontasi antara rakyat dan pemberontakan `pemilik budak` baru ini, `Kornilov putsch` baru ini, akan menimbulkan gejolak baru revolusi, dan pengalaman dari aksi revolusi semacam ini akan meninggalkan kemungkinan kecil untuk sebuah rejim nasionalis-burjuis untuk kembali ke stabilitas."
Peristiwa-peristiwa Oktober 1965 akan membuktikan bahwa rejim Sukarno tidaklah kurang ramah terhadap tukang-tukang jagal Suharto dibandingkan dengan pemerintahan Kerensky terhadap kudeta Jendral Kornilov di tahun 1917. Sukarno menunjukkan intisari nasionalisme burjuis dengan mengakhiri karir politisnya sebagai presiden bonekanya junta militer Suharto.
Kesimpulan dari catatan editor itu seharusnya ditulis di batu nisan Pabloisme:"Dalam kasus yang mana saja, arahan optimistis kita adalah benar. Revolusi Indonesia sedang maju! Kemenangannya sebagai sebuah revolusi sosialis sedang terjadi.(Tekanan dalam dokumen asli)
Dari tahun 1957 sampai 1965 para Pablois di seluruh dunia melakukan penutupan obyektivis ini atas bahaya-bahaya yang menghadapi revolusi Indonesia.
Pekerjaan dari organisasi bagian Pablois di Indonesia adalah sangat penting untuk seluruh perspektif sedunia Pablois. Itu dibicarakan secara intensif di yang dinamakan Kongres Dunia Kelima dari "Sekretariat Tergabung" di tahun 1957.
"Kongres Dunia Kelima kita, dalam membicarakan kemajuan dan jalur revolusi kolonial sedunia, memberikan perhatian serius terhadap perkembangan-perkembangan di Indonesia. Mengenali situasi Indonesia sebagai pra-revolusi, itu mengharapkan sebuah ledakan revolusioner sebentar lagi." Kata artikel Santen.
Seluruh "Sekretariat Tergabung" Pablois mempunyai tangan berdarah. Mereka membantu pengkhianatan Stalinis terhadap pekerja-pekerja dan petani-petani Indonesia.
Mengerti bahwa ini adalah percobaan untuk kontra-revolusi, tanggapan para Pablois adalah untuk menambah pembesaran mereka atas PKI. Editor Quatrieme International menambahkan sebuah catatan yang berklimaks dengan kata-kata ungu berikut:
Karena tujuan utama para `pemberontak` adalah untuk menghancurkan 'demokrasi' terpimpin Sukarno, dalam mana PKI termasuk, maka kompromi akan merugikan PKI. Dalam kasus ini, arahan jangka-pendek adalah PKI di bawah tekanan rakyat, akan terpaksa melakukan pemutaran-balik politik besar, seperti yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina dalam situasi yang mirip di tahun 1949, dan untuk melewati tahap nasionalis-burjuis dan langsung ke tahap sosialis kekuasaan pekerja. Ini, sesungguhnya, tetapi sekali lagi tanpa pemberitahuan, bergerak menurut dan membuktikan teori revolusi permanen Trotskyis."
Di situ, PKI, tukang gantung revolusi Indonesia digambarkan sebagai instrumen tak sadar Revolusi Permanen!
Ditambahkan di situ, adalah kebohongan bahwa para Stalinis Cina, guru Aidit dan pemimpin PKI yang lain, telah melakukan "tahap sosialis dari kekuasaan pekerja" di tahun 1949. Kenyataanya tentara-tentara petani para Maois menekan secara brutal pergerakan proletar di tahun 1949, membunuh semua oposisi Trotskyis, dan mendirikan sebuah negara pekerja yang cacat sejak lahir yang berdasarkan atas perspektif Stalinis pengadaan kerjasama dengan kaum burjuis nasional, kaum petit-burjuis urban dan para petani. Ini adalah model yang merupakan dasar bagi kepemimpinan PKI sendiri.
Tidak puas dengan menganjungkan para Stalinis, catatan spesial editor itu kemudian menunjukkan kemungkinan kelas burjuis-nasional merubah diri secara progresif juga. Itu mengusulkan senario lain yang berdasarkan atas pemerintah Sukarno memimpin perjuangan melawan "pemberontak-pemberontak" yang diatur oleh CIA.
Dalam kemungkinan lainnya dimana pemerintah Sukarno memberikan perlawanan dan pertahanan yang lebih kuat terhadap `para pemberontak`, pemisahan yang lebih jauh antara kekuatan-kekuatan burjuis dan kontra-revolusioner semi-feodal akan tampak; menghadapi sebuah pemerintah bayangan nasionalis-burjuis dan rakyat. Konfrontasi antara rakyat dan pemberontakan `pemilik budak` baru ini, `Kornilov putsch` baru ini, akan menimbulkan gejolak baru revolusi, dan pengalaman dari aksi revolusi semacam ini akan meninggalkan kemungkinan kecil untuk sebuah rejim nasionalis-burjuis untuk kembali ke stabilitas."
Peristiwa-peristiwa Oktober 1965 akan membuktikan bahwa rejim Sukarno tidaklah kurang ramah terhadap tukang-tukang jagal Suharto dibandingkan dengan pemerintahan Kerensky terhadap kudeta Jendral Kornilov di tahun 1917. Sukarno menunjukkan intisari nasionalisme burjuis dengan mengakhiri karir politisnya sebagai presiden bonekanya junta militer Suharto.
Kesimpulan dari catatan editor itu seharusnya ditulis di batu nisan Pabloisme:"Dalam kasus yang mana saja, arahan optimistis kita adalah benar. Revolusi Indonesia sedang maju! Kemenangannya sebagai sebuah revolusi sosialis sedang terjadi.(Tekanan dalam dokumen asli)
Dari tahun 1957 sampai 1965 para Pablois di seluruh dunia melakukan penutupan obyektivis ini atas bahaya-bahaya yang menghadapi revolusi Indonesia.
Pekerjaan dari organisasi bagian Pablois di Indonesia adalah sangat penting untuk seluruh perspektif sedunia Pablois. Itu dibicarakan secara intensif di yang dinamakan Kongres Dunia Kelima dari "Sekretariat Tergabung" di tahun 1957.
"Kongres Dunia Kelima kita, dalam membicarakan kemajuan dan jalur revolusi kolonial sedunia, memberikan perhatian serius terhadap perkembangan-perkembangan di Indonesia. Mengenali situasi Indonesia sebagai pra-revolusi, itu mengharapkan sebuah ledakan revolusioner sebentar lagi." Kata artikel Santen.
Seluruh "Sekretariat Tergabung" Pablois mempunyai tangan berdarah. Mereka membantu pengkhianatan Stalinis terhadap pekerja-pekerja dan petani-petani Indonesia.
BAB KELIMA
Para Pablois menutupi kekhianatan Stalinis
Para Pablois menutupi kekhianatan Stalinis
Krisis kepemimpinan kelas pekerja tidak
pernah terungkap setajam seperti di Indonesia antara tahun 1963 dan 1965.
Nasib para buruh dan petani Indonesia tergantung kepada penanggulangan dan pengalahan arah kontra-revolusioner PKI yang mengikat kelas pekerja ke rejim nasionalis-burjuis Sukarno ketika angkatan bersenjata, dengan dukungan AS, mempersiapkan sebuah kudeta berdarah.
Stalinis-Stalinis PKI, dipimpin oleh sekretaris-jendral Aidit, berulang-ulang menuntut para pekerja dan petani untuk mengembalikan pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan yang telah mereka sita. Mereka kemudian bergabung dengan jendral-jendral angkatan bersenjata duduk dalam kabinet pemerintah Sukarno dan mendukung pelarangan aksi-aksi mogok kerja.
Bertambah jelas kalau para jendral sedang mempersiapkan sebuah kudeta berdarah, bertambah keras pemimpin-pemimpin PKI bekerja untuk menenangkan kelas burjuis dan angkatan bersenjata bahwa PKI menentang mobilisasi revolusioner rakyat.
Aidit berulang-ulang menyatakan bahwa aparatus negara di Indonesia tidak perlu dihancurkan tetapi dapat dirubah dari dalam untuk memperkuat "elemen-elemen pro-rakyat," yang termasuk presiden Sukarno. Pemimpin PKI ini memberi ceramah-ceramah di sekolah-sekolah militer di mana dia menggembar-gemborkan "perasaan kebersamaan dan persatuan yang setiap hari bertambah kuat antara seluruh angkatan bersenjata republik Indonesia dan kelompok-kelompok lain rakyat Indonesia, termasuk para komunis."
Kepemimpinan PKI hanya dapat mengajukan posisi-posisi ini karena para Pablois Indonesia bekerja sama kerasnya untuk mencegah para pekerja memisahkan diri dari para Stalinis. Mereka menentang keras pendirian sebuah kepemimpinan revolusioner yang baru.
Tanggung jawab untuk akibat kontra-revolusioner berdarah arahan ini dapat diusut secara langsung ke Kongres Reunifikasi Pablois di mana Partai Sosialis Pekerja (SWP) Amerika melakukan pemutusan dengan Komite Internasional Internasional Keempat dan bergabung dengan "Sekretariat Tergabung" Pablois Ernest Mandel.
Setelah memimpin perjuangan melawan likuidasionisme Pablois di tahun 1953, para pemimpin SWP di akhir 1950an makin lama makin menyerah ke tekanan perkembangan ekonomi cepat setelah Perang Dunia Kedua yang berlangsung dan tampak ketenangan kaum buruh. Mereka meninggalkan perjuangan untuk revolusi proletar yang dipimpin oleh partai macam Bolshevik dan mencari "persatuan kembali" dengan para radikal petit-burjuis dan Stalinis yang tidak puas. Di tahun 1963 mereka bergandeng tangan dengan para Pablois dalam menyatakan bahwa bukan saja partai-partai Stalinis, seperti PKI, tetapi juga kekuatan-kekuatan nasionalis-burjuis di negara-negara berkembang, seperti Castro di Kuba dan Sukarno di Indonesia dapat menjadi sarana penyataan sosialisme.
Resolusi pemersatuan kembali ini menyatakan bahwa tidak ada krisis kepemimpinan revolusioner di negara-negara tertindas: "Di negara-negara kolonial dan semi-kolonial...kelemahan kapitalisme, seluruh struktur sosio-ekonomis yang aneh yang dihasilkan oleh imperialisme, kesengsaraan permanen sebagian besar populasi dalam ketidakadaanya revolusi radikal agraris, stagnasi dan malah menurunnya standar kehidupan sementara industrialisasi berjalan dengan cepat secara relatip, menciptakan situasi-situasi di mana kejatuhan satu gejolak revolusi tidak secara otomatik menciptakan stabilisasi ekonomis dan sosial yang relatip atau sementara. Sebuah rentetan perjuangan-perjuangan rakyat yang tampaknya tak ada habisnya terus berlangsung, seperti dialami Bolivia selama 10 tahun."
Dalam kata lain, bagaimanapun menghancurkannya kekalahan-kekalahan dan pengkhiatan-pengkhianatan yang dibebankan kepada rakyat, mereka akan bangkit kembali. Tidak ada perlu untuk partai Trotskyis. Sifat kriminal dari kepuasan diri oportunis ini akan segera ditunjukkan dalam darah rakyat Indonesia.
Konperensi tahun 1963 ini didasarkan atas penolakan kepentingan bersejarah pembangunan seksi-seksi pergerakan Trotskyis di negeri-negeri terbelakang. Resolusi Pablois mengatakan:"Kelemahan musuh di negeri-negeri terbelakang telah menciptakan kemungkinan untuk merebut kekuasaan meskipun dengan instrumen tumpul."
Di Indonesia, "instrumen tumpul" ini adalah PKI.
Nasib para buruh dan petani Indonesia tergantung kepada penanggulangan dan pengalahan arah kontra-revolusioner PKI yang mengikat kelas pekerja ke rejim nasionalis-burjuis Sukarno ketika angkatan bersenjata, dengan dukungan AS, mempersiapkan sebuah kudeta berdarah.
Stalinis-Stalinis PKI, dipimpin oleh sekretaris-jendral Aidit, berulang-ulang menuntut para pekerja dan petani untuk mengembalikan pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan yang telah mereka sita. Mereka kemudian bergabung dengan jendral-jendral angkatan bersenjata duduk dalam kabinet pemerintah Sukarno dan mendukung pelarangan aksi-aksi mogok kerja.
Bertambah jelas kalau para jendral sedang mempersiapkan sebuah kudeta berdarah, bertambah keras pemimpin-pemimpin PKI bekerja untuk menenangkan kelas burjuis dan angkatan bersenjata bahwa PKI menentang mobilisasi revolusioner rakyat.
Aidit berulang-ulang menyatakan bahwa aparatus negara di Indonesia tidak perlu dihancurkan tetapi dapat dirubah dari dalam untuk memperkuat "elemen-elemen pro-rakyat," yang termasuk presiden Sukarno. Pemimpin PKI ini memberi ceramah-ceramah di sekolah-sekolah militer di mana dia menggembar-gemborkan "perasaan kebersamaan dan persatuan yang setiap hari bertambah kuat antara seluruh angkatan bersenjata republik Indonesia dan kelompok-kelompok lain rakyat Indonesia, termasuk para komunis."
Kepemimpinan PKI hanya dapat mengajukan posisi-posisi ini karena para Pablois Indonesia bekerja sama kerasnya untuk mencegah para pekerja memisahkan diri dari para Stalinis. Mereka menentang keras pendirian sebuah kepemimpinan revolusioner yang baru.
Tanggung jawab untuk akibat kontra-revolusioner berdarah arahan ini dapat diusut secara langsung ke Kongres Reunifikasi Pablois di mana Partai Sosialis Pekerja (SWP) Amerika melakukan pemutusan dengan Komite Internasional Internasional Keempat dan bergabung dengan "Sekretariat Tergabung" Pablois Ernest Mandel.
Setelah memimpin perjuangan melawan likuidasionisme Pablois di tahun 1953, para pemimpin SWP di akhir 1950an makin lama makin menyerah ke tekanan perkembangan ekonomi cepat setelah Perang Dunia Kedua yang berlangsung dan tampak ketenangan kaum buruh. Mereka meninggalkan perjuangan untuk revolusi proletar yang dipimpin oleh partai macam Bolshevik dan mencari "persatuan kembali" dengan para radikal petit-burjuis dan Stalinis yang tidak puas. Di tahun 1963 mereka bergandeng tangan dengan para Pablois dalam menyatakan bahwa bukan saja partai-partai Stalinis, seperti PKI, tetapi juga kekuatan-kekuatan nasionalis-burjuis di negara-negara berkembang, seperti Castro di Kuba dan Sukarno di Indonesia dapat menjadi sarana penyataan sosialisme.
Resolusi pemersatuan kembali ini menyatakan bahwa tidak ada krisis kepemimpinan revolusioner di negara-negara tertindas: "Di negara-negara kolonial dan semi-kolonial...kelemahan kapitalisme, seluruh struktur sosio-ekonomis yang aneh yang dihasilkan oleh imperialisme, kesengsaraan permanen sebagian besar populasi dalam ketidakadaanya revolusi radikal agraris, stagnasi dan malah menurunnya standar kehidupan sementara industrialisasi berjalan dengan cepat secara relatip, menciptakan situasi-situasi di mana kejatuhan satu gejolak revolusi tidak secara otomatik menciptakan stabilisasi ekonomis dan sosial yang relatip atau sementara. Sebuah rentetan perjuangan-perjuangan rakyat yang tampaknya tak ada habisnya terus berlangsung, seperti dialami Bolivia selama 10 tahun."
Dalam kata lain, bagaimanapun menghancurkannya kekalahan-kekalahan dan pengkhiatan-pengkhianatan yang dibebankan kepada rakyat, mereka akan bangkit kembali. Tidak ada perlu untuk partai Trotskyis. Sifat kriminal dari kepuasan diri oportunis ini akan segera ditunjukkan dalam darah rakyat Indonesia.
Konperensi tahun 1963 ini didasarkan atas penolakan kepentingan bersejarah pembangunan seksi-seksi pergerakan Trotskyis di negeri-negeri terbelakang. Resolusi Pablois mengatakan:"Kelemahan musuh di negeri-negeri terbelakang telah menciptakan kemungkinan untuk merebut kekuasaan meskipun dengan instrumen tumpul."
Di Indonesia, "instrumen tumpul" ini adalah PKI.
Pengkhianatan
besar di Sri Lanka
Kekhianatan Pablois di Indonesia adalah
sangat berhubungan dengan pengkhianatan besar di Sri Lanka di tahun 1964 ketika
Partai Lanka Sama Samaja (LSSP), organisasi Pablois, memasuki koalisi burjuis
Ibu Bandaranaike, bersama dengan para Stalinis Partai Komunis Sri Lanka, untuk
memenggal pergerakan massa kaum buruh melawan kekuasaan kapitalis.
LSSP telah menentang pembentukan Komite Internasional di tahun 1953 dan mengikuti itu memainkan peranan penting dalam mempersiapkan persatuan kembali SWP Amerika dengan para Pablois. Pertentangan mereka terhadap perjuangan menentang oportunisme dalam Internasional Keempat berakar di orientasi mereka yang makin bertambah nasionalis dan peninggalan program dan prinsip-prinsip Trotskyis untuk mengakomodasi para Stalinis dan partai kapitalis Bandaranaike SLFP di Ceylon (Sri Lanka).
Konggres Reunifikasi Pablois di tahun 1963 menutupi oportunisme nasional LSSP dengan mengajukan:"Seksi Ceylon kita sudah perlahan-lahan membetulkan orientasi salah yang diadopsi di tahun 1960 yang mendukung pemerintahan burjuis-liberal SLFP. Sejak rakyat mulai beraksi, mereka tidak ragu-ragu untuk menaruh diri mereka di kepala pergerakan ini melawan sekutu elektoral mereka yang kemarin." Hanya setahun setelah itu aling-aling "Trotskyis" palsu yang diberikan oleh para Pablois digunakan oleh LSSP untuk memasuki pemerintahan kapitalis.
Pengkhianatan oleh sebuah partai yang dianjung-anjungkan oleh para Pablois sebagai "partai Trotskyis terbesar di dunia" ini mempunyai akibat yang membawa bencana di seluruh dunia, yang pertama di Indonesia. Itu memperkuat tangan partai-partai Stalinis dan Maois, seperti PKI, yang kemampuannya untuk menekan dan melucuti kaum buruh akan sudah hancur bila LSSP berpegang ke program revolusi permanen dan berjuang untuk penggulingan kekuasaan burjuis di Sri Lanka.
LSSP telah menentang pembentukan Komite Internasional di tahun 1953 dan mengikuti itu memainkan peranan penting dalam mempersiapkan persatuan kembali SWP Amerika dengan para Pablois. Pertentangan mereka terhadap perjuangan menentang oportunisme dalam Internasional Keempat berakar di orientasi mereka yang makin bertambah nasionalis dan peninggalan program dan prinsip-prinsip Trotskyis untuk mengakomodasi para Stalinis dan partai kapitalis Bandaranaike SLFP di Ceylon (Sri Lanka).
Konggres Reunifikasi Pablois di tahun 1963 menutupi oportunisme nasional LSSP dengan mengajukan:"Seksi Ceylon kita sudah perlahan-lahan membetulkan orientasi salah yang diadopsi di tahun 1960 yang mendukung pemerintahan burjuis-liberal SLFP. Sejak rakyat mulai beraksi, mereka tidak ragu-ragu untuk menaruh diri mereka di kepala pergerakan ini melawan sekutu elektoral mereka yang kemarin." Hanya setahun setelah itu aling-aling "Trotskyis" palsu yang diberikan oleh para Pablois digunakan oleh LSSP untuk memasuki pemerintahan kapitalis.
Pengkhianatan oleh sebuah partai yang dianjung-anjungkan oleh para Pablois sebagai "partai Trotskyis terbesar di dunia" ini mempunyai akibat yang membawa bencana di seluruh dunia, yang pertama di Indonesia. Itu memperkuat tangan partai-partai Stalinis dan Maois, seperti PKI, yang kemampuannya untuk menekan dan melucuti kaum buruh akan sudah hancur bila LSSP berpegang ke program revolusi permanen dan berjuang untuk penggulingan kekuasaan burjuis di Sri Lanka.
Pablois
memperkuat PKI
Setelah masuknya seksi Sri Lanka mereka ke
dalam pemerintahan kapitalis itu, dengan para Stalinis, para Pablois terus
mengikuti arahan pro-Stalinis dan pro-burjuis-nasional yang sangat mirip di
Indonesia.
Pamflet Pablois "Bencana di Indonesia" bukan saja menutupi peranan yang dimainkan oleh seksi Pablois Indonesia, Partai Acoma, seperti kita ungkapkan di bagian terakhir seri ini. Meskipun setelah kudeta berdarah di Indonesia, pamflet ini terus mengajukan kemungkinan kelas burjuis-nasional dan PKI dapat memainkan peranan progresif.
Itu termasuk sebuah artikel oleh T Soedarso, yang digambarkan oleh pemimpin SWP AS Joseph Hansen dalam kata depan pamflet ini sebagai "anggota muda PKI yang berhasil mengasingkan diri". Hansen memuji secara bersemangat artikel Soedarso sebagai "tanda dari tekad sebuah sektor penting dalam PKI untuk mempelajari apa yang terjadi dan menggunakan pelajaran-pelajaran sehingga dapat menjamin kemenangan bila rakyat bergejolak maju lagi, yang pasti akan terjadi."
Artikel Soedarso melihat program kontra-revolusioner kepemimpinan PKI sebagai sejumlah "kesalahan" termasuk "kekeliruan-kekeliruan...mencoba mendirikan sosialisme dengan jalan damai" dan untuk mengikuti "politik" teori revolusi dua tahap dan front tergabung dengan kelas burjuis-nasional.
Soedarso tidak mengutarakan perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan para Stalinis, setuju, contohnya, bahwa "Pergerakan revolusioner dapat dan sebaiknya mendukung sikap-sikap atau aksi-aksi progresif kelas burjuis nasional." Kalau bukti pernah diperlukan bahwa kelas burjuis semi-kolonial, dilambangkan oleh Sukarno, adalah pada dasarnya tidak mampu untuk melakukan program "progresif" tetapi akan mendukung pembantaian kelas pekerja, pertumpahan darah itu memberikannya. Selama 18 bulan Sukarno menjadi presiden boneka diktatur Jendral Suharto, dan setelah itu, mulai dari Maret 1967, dia dipertahankan sebagai "presiden tanpa kekuasaan".
Para Pablois juga meremehkan pentingnya pemasukan PKI ke dalam koalisi NASAKOM Sukarno dengan para tukang jagal militer. Soedarso mengimbau PKI untuk membalik arahan ini, sepertinya itu hanyalah sebuah kesalahan kecil.
Peminta maafan Soedarso untuk kekhianatan kelas mendasar ini bukanlah kebetulan. Inti dari Pabloisme adalah pembalikan perjuangan Trotsky melawan Stalinisme. Evolusi Stalinisme menjadi sebuah birokrasi kontra-revolusioner ditetapkan tanpa keraguan di tahun 1933 ketika Komintern (Internasional Komunis) Stalinis menyetujui tanpa ada suara perlawanan satu pun kekhianatan Partai Komunis Jerman yang menyerahkan kelas buruh Jerman kepada Hitler tanpa adanya peluru melayang. Mulai dari saat itu Trotsky bersikeras bahwa Internasional Ketiga telah secara pasti menyeberang ke kamp burjuis, dan bahwa Internasional Keempat harus dibangun sebagai partai dunia revolusi sosialis untuk memastikan kelangsungan Marxisme.
Artikel Soedarso adalah sebuah penutupan secara sadar, yang diatur oleh Mandel dan Hansen, atas peranan reaksioner Stalinisme. Artikel itu secara sadar tidak menggunakan kata "Stalinisme", tetapi secara curang memanggil PKI "Komunis". Dan kemudian untuk membuat posisinya sangat jelas, Soedarso menyimpulkan:"Kecaman di atas tidaklah dimaksudkan untuk merusak peranan PKI atau untuk membangkitkan ketidakpercayaan kepada Komunisme Indonesia."
Demikian, setahun setelah kudeta militer itu, pada saat mana satu juta pekerja dan petani sudah binasa, para Pablois sedang menutupi pelajaran-pelajaran tahun 1965 dan masih menganjurkan para pekerja dan petani Indonesia untuk tetap mempercayai PKI.
Pamflet Pablois "Bencana di Indonesia" bukan saja menutupi peranan yang dimainkan oleh seksi Pablois Indonesia, Partai Acoma, seperti kita ungkapkan di bagian terakhir seri ini. Meskipun setelah kudeta berdarah di Indonesia, pamflet ini terus mengajukan kemungkinan kelas burjuis-nasional dan PKI dapat memainkan peranan progresif.
Itu termasuk sebuah artikel oleh T Soedarso, yang digambarkan oleh pemimpin SWP AS Joseph Hansen dalam kata depan pamflet ini sebagai "anggota muda PKI yang berhasil mengasingkan diri". Hansen memuji secara bersemangat artikel Soedarso sebagai "tanda dari tekad sebuah sektor penting dalam PKI untuk mempelajari apa yang terjadi dan menggunakan pelajaran-pelajaran sehingga dapat menjamin kemenangan bila rakyat bergejolak maju lagi, yang pasti akan terjadi."
Artikel Soedarso melihat program kontra-revolusioner kepemimpinan PKI sebagai sejumlah "kesalahan" termasuk "kekeliruan-kekeliruan...mencoba mendirikan sosialisme dengan jalan damai" dan untuk mengikuti "politik" teori revolusi dua tahap dan front tergabung dengan kelas burjuis-nasional.
Soedarso tidak mengutarakan perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan para Stalinis, setuju, contohnya, bahwa "Pergerakan revolusioner dapat dan sebaiknya mendukung sikap-sikap atau aksi-aksi progresif kelas burjuis nasional." Kalau bukti pernah diperlukan bahwa kelas burjuis semi-kolonial, dilambangkan oleh Sukarno, adalah pada dasarnya tidak mampu untuk melakukan program "progresif" tetapi akan mendukung pembantaian kelas pekerja, pertumpahan darah itu memberikannya. Selama 18 bulan Sukarno menjadi presiden boneka diktatur Jendral Suharto, dan setelah itu, mulai dari Maret 1967, dia dipertahankan sebagai "presiden tanpa kekuasaan".
Para Pablois juga meremehkan pentingnya pemasukan PKI ke dalam koalisi NASAKOM Sukarno dengan para tukang jagal militer. Soedarso mengimbau PKI untuk membalik arahan ini, sepertinya itu hanyalah sebuah kesalahan kecil.
Peminta maafan Soedarso untuk kekhianatan kelas mendasar ini bukanlah kebetulan. Inti dari Pabloisme adalah pembalikan perjuangan Trotsky melawan Stalinisme. Evolusi Stalinisme menjadi sebuah birokrasi kontra-revolusioner ditetapkan tanpa keraguan di tahun 1933 ketika Komintern (Internasional Komunis) Stalinis menyetujui tanpa ada suara perlawanan satu pun kekhianatan Partai Komunis Jerman yang menyerahkan kelas buruh Jerman kepada Hitler tanpa adanya peluru melayang. Mulai dari saat itu Trotsky bersikeras bahwa Internasional Ketiga telah secara pasti menyeberang ke kamp burjuis, dan bahwa Internasional Keempat harus dibangun sebagai partai dunia revolusi sosialis untuk memastikan kelangsungan Marxisme.
Artikel Soedarso adalah sebuah penutupan secara sadar, yang diatur oleh Mandel dan Hansen, atas peranan reaksioner Stalinisme. Artikel itu secara sadar tidak menggunakan kata "Stalinisme", tetapi secara curang memanggil PKI "Komunis". Dan kemudian untuk membuat posisinya sangat jelas, Soedarso menyimpulkan:"Kecaman di atas tidaklah dimaksudkan untuk merusak peranan PKI atau untuk membangkitkan ketidakpercayaan kepada Komunisme Indonesia."
Demikian, setahun setelah kudeta militer itu, pada saat mana satu juta pekerja dan petani sudah binasa, para Pablois sedang menutupi pelajaran-pelajaran tahun 1965 dan masih menganjurkan para pekerja dan petani Indonesia untuk tetap mempercayai PKI.
`Pelajaran-Pelajaran`
Pablois Indonesia
Artikel Soedarso bukanlah sebuah contoh
terisolasi. Kenyataannya arah yang diajukan di artikel itu memberikan tema-tema
penting sebuah pernyataan yang diterbitkan tanggal 20 Maret 1966 oleh
"Sekretariat Tergabung" Pablois. Berjudul "Pelajaran-Pelajaran
Indonesia", itu menentang segala pemisahan dari PKI dan tidak mengeluarkan
panggilan untuk pembangunan sebuah seksi Internasional Keempat. Sebaliknya, itu
menyatakan bahwa "Komunis-Komunis Indonesia" dapat
"menanggulangi akibat dari kekalahan saat ini" dengan mengasimilasi
pelajaran-pelajaran tertentu.
"Pelajaran" pertama diajukan secara berikut:"Walaupun itu benar dan penting untuk mendukung semua pergerakan-pergerakan rakyat anti-imperialis, dan bahkan mendukung secara kritis semua tindakan-tindakan yang dilakukan oleh wakil-wakil kelas burjuis kolonial seperti Sukarno, untuk sebuah revolusi kolonial mendapat kemenangan, itu adalah sangat penting untuk mempertahankan kemandirian organisasi-organisasi proletar secara politis maupun secara keorganisasian dari kelas burjuis nasional."
Para Pablois bukan hanya mendorong ilusi-ilusi berbahaya tentang kepura-puraan "anti-imperialis" kelas burjuis nasional, kata-kata mereka tentang "kemandirian" politis organisasi-organisasi proletar adalah penuh dengan kepalsuan. Kemandirian politis kelas pekerja hanyalah dapat ditetapkan dengan membangun sebuah partai Trotskyis dalam perjuangan yang berani dan tak mengenal kasihan melawan para Stalinis yang sedang dicoba untuk disadarkan oleh para Pablois.
"Pelajaran" Pablois kedua mengajukan bahwa: "Meskipun itu benar dan penting dalam fase-fase pertama revolusi di negara-negara terbelakang untuk menekankan masalah pemenangan kemerdekaan nasional, mempersatukan negara dan menyelesaikan masalah agraris (yaitu, tugas-tugas bersejarah dari revolusi demokratis burjuis yang merupakan masalah yang paling penting di mata 80 percent sampai 90 percent populasi), itu adalah sangat penting untuk mengerti bahwa penyelesaian tugas-tugas ini hanyalah mungkin bila kelas buruh, dalam persekutuan dengan para petani miskin, telah memenangkan kepemimpinan revolusi, mendirikan diktatur proletar dan petani miskin dan mendorong revolusi itu ke fase sosialisnya."
Dengan arah oportunis "dua fase", para Pablois mencoba untuk menghidupkan kembali teori "dua-tahap" Stalinis yang telah kehilangan kepercayaan, yang menuntut "fase sosialis" revolusi ditunda sampai selesainya revolusi demokratis dan nasional. Arahan para Pablois adalah kebalikan dari teori Revolusi Permanen Trotsky yang didasarkan atas sifat internasional revolusi sosialis dan peranan revolusioner proletariat internasional. Trotsky menekankan pelajaran inti dari Revolusi Rusia bahwa, dalam jaman ini, tugas-tugas demokratis dan nasional di negara-negara terbelakang dan tertindas hanya dapat dicapai melalui revolusi proletar dan penyebarannya ke seluruh dunia.
Seruan para Pablois untuk "diktatur proletar dan para petani miskin" mencoba untuk menghidupkan kembali formula "Bolshevik Lama" tentang "diktatur demokratis proletar dan petani" yang diganti oleh Lenin di tahun 1917. Lenin mengadopsi posisi Trotsky yang tegas bahwa proletariat adalah kelas revolusioner satu-satunya yang dapat memimpin para petani dan melaksanakan tugas-tugas demokratis dan sosialis negara-negara terbelakang sebagai bagian dari perjuangan kelas buruh seluruh dunia.
"Pelajaran" ketiga yang diajukan oleh para Pablois adalah:"Meskipun itu adalah penting untuk memenangkan basis rakyat seluas mungkin di desa-desa, sebuahpartai revolusioner yang dapat melaksanakan politik ini haruslah berdasarkan atas kader proletar kuat yang dididik secara menyeluruh dalam teori dan praktek revolusioner Marxis."
Sifat ganda dari "pelajaran" ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa itu ditujukan kepada para Stalinis. Penyebutan-penyebutan "kader proletar kuat" dan "teori Marxis" adalah palsu.
Kenyataannya, "Sekretariat Tergabung" menasehatkan anggota-anggota kepemimpinan PKI yang selamat untuk mengambil jalan perang gerilya di daerah pedesaan.
Pernyataan mereka menunjukkan harapan bahwa "apa yang tertinggal dari kepemimpinan dengan kader-kader partai yang selamat -- terutama yang berpendidikan terbaik, mereka yang dikuatkan oleh pengalaman mengerikan yang mereka alami dalam enam bulan terakhir -- akan mengambil jalan perang gerilya, jika hanya untuk pertahanan diri.
Mereka menganjurkan para Stalinis untuk berbelok ke perang gerilya yang menggunakan para petani, meniru para Maois di Cina. Maoisme adalah semacam Stalinisme, berdasar atas permusuhan para petani terhadap kekuasaan kelas buruh. Berasal dari kekalahan revolusi Cina dan penghancuran keanggotaan buruh Partai Komunis Cina di tahun 1926-27, pembelokan Mao ke arah para petani menghasilkan aborsi di tahun 1949 revolusi Cina. Itu menghasilkan negara buruh yang sangat cacat di kelahirannya yang berdasarkan atas "blok empat kelas" Mao -- kelas burjuis nasional, kelas petit-burjuis urban, petani dan kelas buruh.
Itu adalah doktrin ini yang memandu kebulatan tekad Aidit dari kepemimpinan PKI untuk mencegah sebuah revolusi sosialis proletar di Indonesia. Dalam kata-kata Aidit: "Kelas buruh, petani dan kelas petit-burjuis dan kelas burjuis nasional haruslah bergabung dalam satu front nasional".
Pamflet para Pablois adalah percobaan sinis untuk mengalihkan para buruh yang sadar akan kelasnya dari pelajaran yang paling penting dari pengkhianatan di Indonesia -- pentingnya untuk sebuah partai Trotskyis untuk mengalahkan para Stalinis dan pembantu-pembantu Pablois mereka yang berfungsi sebagai agen-agen petit-burjuis kontra-revolusioner dalam pergerakan rakyat. Hanya ada satu partai revolusioner, dulu dan sekarang, yang dapat membalas pengkhianatan di tahun 1965 dengan membimbing kelas buruh Indonesia ke kekuasaan -- sebuah seksi Indonesia Komite Internasional Internasional Keempat.
"Pelajaran" pertama diajukan secara berikut:"Walaupun itu benar dan penting untuk mendukung semua pergerakan-pergerakan rakyat anti-imperialis, dan bahkan mendukung secara kritis semua tindakan-tindakan yang dilakukan oleh wakil-wakil kelas burjuis kolonial seperti Sukarno, untuk sebuah revolusi kolonial mendapat kemenangan, itu adalah sangat penting untuk mempertahankan kemandirian organisasi-organisasi proletar secara politis maupun secara keorganisasian dari kelas burjuis nasional."
Para Pablois bukan hanya mendorong ilusi-ilusi berbahaya tentang kepura-puraan "anti-imperialis" kelas burjuis nasional, kata-kata mereka tentang "kemandirian" politis organisasi-organisasi proletar adalah penuh dengan kepalsuan. Kemandirian politis kelas pekerja hanyalah dapat ditetapkan dengan membangun sebuah partai Trotskyis dalam perjuangan yang berani dan tak mengenal kasihan melawan para Stalinis yang sedang dicoba untuk disadarkan oleh para Pablois.
"Pelajaran" Pablois kedua mengajukan bahwa: "Meskipun itu benar dan penting dalam fase-fase pertama revolusi di negara-negara terbelakang untuk menekankan masalah pemenangan kemerdekaan nasional, mempersatukan negara dan menyelesaikan masalah agraris (yaitu, tugas-tugas bersejarah dari revolusi demokratis burjuis yang merupakan masalah yang paling penting di mata 80 percent sampai 90 percent populasi), itu adalah sangat penting untuk mengerti bahwa penyelesaian tugas-tugas ini hanyalah mungkin bila kelas buruh, dalam persekutuan dengan para petani miskin, telah memenangkan kepemimpinan revolusi, mendirikan diktatur proletar dan petani miskin dan mendorong revolusi itu ke fase sosialisnya."
Dengan arah oportunis "dua fase", para Pablois mencoba untuk menghidupkan kembali teori "dua-tahap" Stalinis yang telah kehilangan kepercayaan, yang menuntut "fase sosialis" revolusi ditunda sampai selesainya revolusi demokratis dan nasional. Arahan para Pablois adalah kebalikan dari teori Revolusi Permanen Trotsky yang didasarkan atas sifat internasional revolusi sosialis dan peranan revolusioner proletariat internasional. Trotsky menekankan pelajaran inti dari Revolusi Rusia bahwa, dalam jaman ini, tugas-tugas demokratis dan nasional di negara-negara terbelakang dan tertindas hanya dapat dicapai melalui revolusi proletar dan penyebarannya ke seluruh dunia.
Seruan para Pablois untuk "diktatur proletar dan para petani miskin" mencoba untuk menghidupkan kembali formula "Bolshevik Lama" tentang "diktatur demokratis proletar dan petani" yang diganti oleh Lenin di tahun 1917. Lenin mengadopsi posisi Trotsky yang tegas bahwa proletariat adalah kelas revolusioner satu-satunya yang dapat memimpin para petani dan melaksanakan tugas-tugas demokratis dan sosialis negara-negara terbelakang sebagai bagian dari perjuangan kelas buruh seluruh dunia.
"Pelajaran" ketiga yang diajukan oleh para Pablois adalah:"Meskipun itu adalah penting untuk memenangkan basis rakyat seluas mungkin di desa-desa, sebuahpartai revolusioner yang dapat melaksanakan politik ini haruslah berdasarkan atas kader proletar kuat yang dididik secara menyeluruh dalam teori dan praktek revolusioner Marxis."
Sifat ganda dari "pelajaran" ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa itu ditujukan kepada para Stalinis. Penyebutan-penyebutan "kader proletar kuat" dan "teori Marxis" adalah palsu.
Kenyataannya, "Sekretariat Tergabung" menasehatkan anggota-anggota kepemimpinan PKI yang selamat untuk mengambil jalan perang gerilya di daerah pedesaan.
Pernyataan mereka menunjukkan harapan bahwa "apa yang tertinggal dari kepemimpinan dengan kader-kader partai yang selamat -- terutama yang berpendidikan terbaik, mereka yang dikuatkan oleh pengalaman mengerikan yang mereka alami dalam enam bulan terakhir -- akan mengambil jalan perang gerilya, jika hanya untuk pertahanan diri.
Mereka menganjurkan para Stalinis untuk berbelok ke perang gerilya yang menggunakan para petani, meniru para Maois di Cina. Maoisme adalah semacam Stalinisme, berdasar atas permusuhan para petani terhadap kekuasaan kelas buruh. Berasal dari kekalahan revolusi Cina dan penghancuran keanggotaan buruh Partai Komunis Cina di tahun 1926-27, pembelokan Mao ke arah para petani menghasilkan aborsi di tahun 1949 revolusi Cina. Itu menghasilkan negara buruh yang sangat cacat di kelahirannya yang berdasarkan atas "blok empat kelas" Mao -- kelas burjuis nasional, kelas petit-burjuis urban, petani dan kelas buruh.
Itu adalah doktrin ini yang memandu kebulatan tekad Aidit dari kepemimpinan PKI untuk mencegah sebuah revolusi sosialis proletar di Indonesia. Dalam kata-kata Aidit: "Kelas buruh, petani dan kelas petit-burjuis dan kelas burjuis nasional haruslah bergabung dalam satu front nasional".
Pamflet para Pablois adalah percobaan sinis untuk mengalihkan para buruh yang sadar akan kelasnya dari pelajaran yang paling penting dari pengkhianatan di Indonesia -- pentingnya untuk sebuah partai Trotskyis untuk mengalahkan para Stalinis dan pembantu-pembantu Pablois mereka yang berfungsi sebagai agen-agen petit-burjuis kontra-revolusioner dalam pergerakan rakyat. Hanya ada satu partai revolusioner, dulu dan sekarang, yang dapat membalas pengkhianatan di tahun 1965 dengan membimbing kelas buruh Indonesia ke kekuasaan -- sebuah seksi Indonesia Komite Internasional Internasional Keempat.
Simpulan
Di tahun 1951 kepemimpinan PKI telah
menggambarkan secara jelas jalan pengkhianatan yang akan diikutinya.
"Dalam perjuangan untuk menyatakan pendapat politis mereka, para komunis
tidak akan menggunakan kekerasan sementara kelas penguasa masih membiarkan
jalan damai, keparlemenan terbuka. Bila ada penggunaan kekerasan, pertumpahan
darah, perang saudara, itu bukan para komunis yang memulai, tetapi kelas
penguasa sendiri."
Arahan kontra-revolusioner ini hanya dapat dibebankan kepada rakyat Indonesia karena para Pablois mengikat seksi-seksi yang paling sadar akan kelasnya ke panji-panji dan program PKI.
Pengkhianatan-pengkhianatan para Pablois di Sri Lanka dan Indonesia menunjukkan sifat kontra-revolusioner Pabloisme. Seperti Komite Internasional Internasional Keempat menyatakan dalam Arahan-arahan resolusi 1988-nya, Krisis Kapitalis Sedunia dan Tugas-Tugas Internasional Keempat:
"Dalam bantuan yang mereka berikan kepada Stalinisme, sosial-demokrat dan nasionalisme burjuis, oportunisme para Pablois sentris memainkan peranan vital dalam memperbolehkan imperialisme menjalani tahun-tahun penting antara 1968 dan 1975 ketika orde dunia sedang tergoncang oleh gejolak ekonomi dan pergerakan internasional kaum buruh dan rakyat yang tertindas di negara-negara terbelakang. Ini membuktikan taksiran Trotsky tentang sentrisme sebagai agen sekunder imperialisme. Para pengalah petit-burjuis yang mengajar tentang nasib proletar yang akan selalu berakhir dengan bencana dan sementara itu menemukan pandangan-pandangan baru tentang kelas burjuis, tidak pernah menganalisa secara konkrit bagaimana kapitalisme yang sudah jompo dapat hidup sampai dekade 1980an. Para Pablois adalah yang paling tidak peduli untuk mempelajari hasil-hasil politik-politik mereka. Sebanyak-banyaknya semua persaudaraan petit-burjuis sentris, para radikal dan cendekiawan yang tidak berkelas menolak a priori kemampuan revolusioner kelas pekerja dan menerima kekalahan-kekalahannya sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan, mereka tidak pernah memikirkan bagaimana konsekuensi-konsekuensi sebuah politik Marxis yang benar akan bekerja di Sri Lanka di tahun 1964, di Perancis di tahun 1968, di Chili di tahun 1973, dan di Yunani dan Portugis di tahun 1974.
"Komite Internasional, sebaliknya, mengambil pengalaman-pengalaman strategis proletar dalam periode setelah Perang Dunia Kedua pelajaran-pelajaran penting yang akan menjadi dasar dari persiapan mereka untuk pergejolakan revolusioner yang akan datang: pembangunan Internasional Keempat sebagai Partai Dunia Revolusi Sosialis untuk memastikan kemenangan kelas buruh internasional memerlukan sebuah perjuangan yang tanpa henti dan tanpa kompromi melawan oportunisme dan sentrisme.
Sebuah kepemimpinan revolusioner yang baru harus didirikan kepemimpinan rakyat Indonesia untuk menghancurkan diktator Suharto, menggulingkan kelas burjuis dan menghentikan pemerasan imperialis dalam perjuangan untuk revolusi sosialis sedunia. Menentang para Stalinis dan Pablois yang sedang mempersiapkan jebakan berdarah satu lagi untuk rakyat, seksi Indonesia dari Komite Internasional Internasional Keempat (ICFI) harus dibangun untuk memimpin perjuangan ini.
Edisi bahasa Inggris: Lessons of 1965 Indonesian Coup
Arahan kontra-revolusioner ini hanya dapat dibebankan kepada rakyat Indonesia karena para Pablois mengikat seksi-seksi yang paling sadar akan kelasnya ke panji-panji dan program PKI.
Pengkhianatan-pengkhianatan para Pablois di Sri Lanka dan Indonesia menunjukkan sifat kontra-revolusioner Pabloisme. Seperti Komite Internasional Internasional Keempat menyatakan dalam Arahan-arahan resolusi 1988-nya, Krisis Kapitalis Sedunia dan Tugas-Tugas Internasional Keempat:
"Dalam bantuan yang mereka berikan kepada Stalinisme, sosial-demokrat dan nasionalisme burjuis, oportunisme para Pablois sentris memainkan peranan vital dalam memperbolehkan imperialisme menjalani tahun-tahun penting antara 1968 dan 1975 ketika orde dunia sedang tergoncang oleh gejolak ekonomi dan pergerakan internasional kaum buruh dan rakyat yang tertindas di negara-negara terbelakang. Ini membuktikan taksiran Trotsky tentang sentrisme sebagai agen sekunder imperialisme. Para pengalah petit-burjuis yang mengajar tentang nasib proletar yang akan selalu berakhir dengan bencana dan sementara itu menemukan pandangan-pandangan baru tentang kelas burjuis, tidak pernah menganalisa secara konkrit bagaimana kapitalisme yang sudah jompo dapat hidup sampai dekade 1980an. Para Pablois adalah yang paling tidak peduli untuk mempelajari hasil-hasil politik-politik mereka. Sebanyak-banyaknya semua persaudaraan petit-burjuis sentris, para radikal dan cendekiawan yang tidak berkelas menolak a priori kemampuan revolusioner kelas pekerja dan menerima kekalahan-kekalahannya sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan, mereka tidak pernah memikirkan bagaimana konsekuensi-konsekuensi sebuah politik Marxis yang benar akan bekerja di Sri Lanka di tahun 1964, di Perancis di tahun 1968, di Chili di tahun 1973, dan di Yunani dan Portugis di tahun 1974.
"Komite Internasional, sebaliknya, mengambil pengalaman-pengalaman strategis proletar dalam periode setelah Perang Dunia Kedua pelajaran-pelajaran penting yang akan menjadi dasar dari persiapan mereka untuk pergejolakan revolusioner yang akan datang: pembangunan Internasional Keempat sebagai Partai Dunia Revolusi Sosialis untuk memastikan kemenangan kelas buruh internasional memerlukan sebuah perjuangan yang tanpa henti dan tanpa kompromi melawan oportunisme dan sentrisme.
Sebuah kepemimpinan revolusioner yang baru harus didirikan kepemimpinan rakyat Indonesia untuk menghancurkan diktator Suharto, menggulingkan kelas burjuis dan menghentikan pemerasan imperialis dalam perjuangan untuk revolusi sosialis sedunia. Menentang para Stalinis dan Pablois yang sedang mempersiapkan jebakan berdarah satu lagi untuk rakyat, seksi Indonesia dari Komite Internasional Internasional Keempat (ICFI) harus dibangun untuk memimpin perjuangan ini.
Edisi bahasa Inggris: Lessons of 1965 Indonesian Coup
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat!