Monday 13 December 2010

SBY vs Sultan Terkait 'Matahari Kembar'?

Sabtu, 11/12/2010 | 08:29 WIB 















SBY versus Sultan Terkait 'Matahari Kembar'?
Oleh: Tubagus Januar Soemawinata (Universitas Nasional)


KINI, sejak Presiden SBY menggulirkan polemik monarki versus demokrasi terkait kehendak merubah dari penetapan menjadi pemilihan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam Rancangan Undang Undang Keistimewaan (RUUK) DIY, berbagai penilaian dan tudingan menyeruak. Sejumlah pihak menilai SBY tidak paham atas sejarah Kesultanan DIY yang sudah merdeka sejak dulu sebelum Republik Indonesia merdeka. Maka dengan sikap SBY yang ingin ’menghilangkan’ penetapan Gubernur DIY sekarang ini, tak heran jika ada yang menuding bahwa SBY ingin dianggap sebagai ’Raja’ Jawa sehingga harus menyingkirkan Sri Sultan dari kursi Kesultanan dulu. Artinya, SBY tidak mau ada ’matahari kembar’ untuk melanggengkan kekuasaannya, terutama menghadapi Pilpres 2014. Padahal, yang lebih tepat seharusnya SBY malah merangkul dengan memberi otonomi ’khusus’ kepada raja-raja yang berada di wilayah ’kekuasaan’-nya, bukan malah SBY terkesan arogan dengan ‘mengabaikan’ Kesultanan Yogyakarta.

Pihak penjajah Belanda saja mengakui tetap adanya Kesultanan di Indonesia, dengan tidak mengutak-atik para Raja meski Belanda menjajah Indonesia. Presiden Soeharto maupun Soekarno pun lebih pintar menghargai Kesultanan. Bahkan, Soeharto mengangkat Sri Sultan Hanegku Buwono IX (ayah Sri Sultan HB X) menjadi Wakil Presiden RI. Ini sikap Soeharto mikul nduwur mendem njero. Kini, Presiden ke-6 RI tidak hanya merangkul sejengkal pun terhadap Sri Sultan HB X, melainkan justru meremehkan Kesultanan dan menyakitinya dengan melontarkan polemik monarki versus demokrasi dalam pernyataan SBY. Terlebih lagi, prestasi Presiden sekarang ini sedang ’jeblok’ apabila diukur dari penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi yang tebang pilih dan plintat-plintut, serta janji kampanye yang belum terwujud seperti masih banyaknya pengangguran, kemiskinan dan melonjaknya harga barang & kebutuhan pokok serta mahalnya pendidikan dan kesehatan.

Apalagi, statement SBY itu digulirkan di saat timingnya yang tidak tepat, yakni rakyat warga DIY sedang dilanda bencana alam letusan Gunung Merapi, masih juga ditambah ’pukulan’ oleh SBY yang ’memaksa’ agar Gubernur DIY dipilih DPRD dan bukan ditetapkan seperti selama ini sejak Negara Republik Indonesia merdeka. Ibarat pepatah, warga DIY sudah jatuh tertimpa tangga pula. Akibatnya, banyak caci maki dan kecaman terhadap SBY, dan simpati pun mengalir bak bola salju kepada Sri Sultan. Ini seperti mengulang sejarah ketika dulu SBY dizalimi aatau diledek Taufiq Kiemas (suami Megawati Soekarnoputri) yang mengatakan ”Jenderal kok kayak anak kecil” dan akhirnya SBY pun dibela publik.

Kini, gantian SBY seolah menzalimi Sri Sultan dengan ancaman memangkas penetapan jabatan Gubernur DIY, sehingga SBY dinilai melakukan kesalahan oleh kalangan pengamat. Adik Sri Sultan, GBPH Prabukusumo bahkan mengatakan sikap pemerintah SBY yang ’memaksakan’ penetapan Gubernur DIY sama saja telah melakukan penghinaan terhadap harkat dan martabat ayahnya yaitu Sri Sultan HB IX maupun Sri Paduka Paku Alam VIII. Akhirnya, Prabukusumo yang juga Ketua DPD Partai Demokrat DIY ini mundur dari jabatannya sekaligus mengembalikan Kartu Tanda Anggota (KTA) Partai besutan SBY tersebut terhitung sejak hari Kamis (9/12/2010), pukul 10.00 WIB.

Lebih sinis lagi adalah komentar dari istri Sri Sultan HB X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas terhadap draf Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY versi pemerintah pusat yang mencantumkan posisi Sultan sebagai Gubernur Utama DIY yang terpisah dari jabatan Gubernur, yakni Gubernur Utama ditetapkan dan Gubernur ditentukan berdasarkan pemilihan. "Adanya Gubernur Utama seolah-olah mau bikin perusahaan saja -- seperti Direktur Utama," kecam Hemas yang juga Senator asal Yogyakarta atau Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ini, menyindir bocoran draf RUUK DIY yang sempat dibeberkan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, minggu lalu.

Rakyat Yogyakarta sendiri sudah menantang untuk referendum terhadap opsisi penetapan atau pemilihan Gubernur DIY. Kalau pemerintah terus menerus berupaya dengan segala macam cara untuk ’menaklukkan’ penetapan untuk menjadi pemilihan. Sebaliknya, gerakan warga Yogyakarta dengan berbagai spanduk  dan pampletnya menyatakan bahwa penetapan Gubernur DIY adalah harga mati. Dari dua sudut pandang yang berbeda ini, tentunya tidak akan ada titik temu. Tapi fatalnya, pemerintah SBY tetap nekat dan ngotot untuk menggolkan penetapan Gubernur DIY dan kabarnya diakali dengan tawaran Sri Sultan Hamengku Buwono akan dijadikan sebagai Gubernur Utama, sedangkan Gubernurnya dilakukan pemilihan oleh DPRD.
Nampaknya, sekarang ini pasti tidak akan ada pihak yang menang ataupun terjadi ’perdamaian’ antara dua kubu, kubu pemerintah yang ngotot ’pemilihan’ dan kubu rakyat Yogya yang pro ’penetapan’. Nampaknya, kali ini SBY akan sulit memenangkan kehendaknya untuk ’memaksa’ penetapan Gubernur DIY. Pasalnya, posisi SBY sekarang ini sedang terpuruk akibat janji-janji menterengnya dalam kampanye lalu belum direalisasikan hingga sudah 6 tahun dia menjadi Presiden. Hanya citra dan pencitraan yang menonjol. Ekonomi dan kesejahteraan rakyat masih begini-begini saja, penegakan hukum di era SBY dinilai tebang pilih dan terkesan hanya lip service alias NATO (No Action, Talk Only).

Wacana penetapan Gubernur DIY akan lain tanggapannya apabila Presiden yang menggulirkannya bukan SBY, melainkan Presiden terpilih mendatang yang mungkin figur yang jujur, bijaksana dan tegas serta relatif bersih dari KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme) di kalangan keluarga dna kerabatnya. Sehingga, tak ada resistansi atau perlawanan dari pihak rakyat seperti sekarang ini. Pasalnya, selama diri kita masih ’kotor’ maka jangan coba-coba menggurui orang lain, seperti mengajari bahwa ’pemilihan’ Gubernur DIY itu lebih baik dari ’penetapan’ yang bahkan disindir dengan istilah ’monarki’. Kenyataannya, biar dikatakan monarkhi atau tidak, mayoritas warga Yogya masih menghendaki sistem pemerintahan Kesultanan. Bahkan, survei DPD Partai Golkar DIY menunjukkan, 86 persen rakyat DIY menginginkan penetapan Sultan dan Paku Alam, seperti dikutip Ketua DPD Golkar Bantul, Drs Agus Subagyo, Rabu (8/12), di jakartapress.com.

Paham NKRI (Negara Kesatuan republik Indonesia) bukan berarti harus menyeragamkan semua budaya aset negara, melainkan justeru memelihara keragaman budaya dan aset yang dimiliki negara, termasuk budaya Kesultanan harus dipelihara oleh negara. Maka, harus kita jaga keberadaan aset perangkat Kasultanan Ing Ngajogjakarto Hadiningrat sebagai situs kebanggaan Ibu Pertiwi Republik Indonesia dan juga Dunia yang abadi tidak serta merta dengan mudah dapat diganggu gugat oleh siapa pun sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

Mendiang Presiden Soeharto yang berkuasa di Indonesia 32 tahun saja tidak pernah ada niat mengutak-atik Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kerena memang dia paham dan mengerti sejarah. Namun, SBY yang baru menjadi Presiden 6 tahun dan belum menghasilkan sesuatu yang terlihat ada manfaatnya untuk bangsa, sudah berani mengecewakan rakyat Kraton Kesultanan yang sarat sejarah perjuangan negeri ini. Kalau saja sejarah yang sangat berharga bisa dengan mudah dapat digadaikan, lantas bagaimana dengan keberadaan situs-situs lainnya yang tidak dipimpin seorang Kesultanan yang resmi. Kualatlah pemimpin bangsa ini! (*)

1 comments:

Unknown said...

S*B*Y = SOSLOW BIMBANG YOUDONTKNOW..

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat!